Nasional

Ziarah Perempuan Muslim; Relasi Antara Sosial, Identitas, dan Struktur Kekuasaan

Ahad, 16 Maret 2025 | 22:00 WIB

Ziarah Perempuan Muslim; Relasi Antara Sosial, Identitas, dan Struktur Kekuasaan

Ilustrasi: Ziarah bukan hanya sebagai kewajiban agama, tetapi juga ekspresi religiusitas yang sangat mendalam (Foto: NU Online Jatim)

Jakarta, NU Online
Dosen Ilmu Hadits Universitas Negeri Islam (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Subkhani Kusuma Dewi menyampaikan bahwa ziarah bagi perempuan Muslim memiliki relasi antara sosial, identitasnya, dan struktur kekuasaan di lingkungan masyarakat.

 

Dewi menjelaskan bahwa ziarah merupakan bentuk perjalanan yang melibatkan aspek fisik dan spiritual seorang Muslim, seperti berziarah ke tempat suci Makkah dan Madinah.

 

“Ini bukan hanya dilihat sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai ekspresi religiusitas yang sangat mendalam,” ujarnya dalam Webinar Diskusi Serial Ramadhan dengan tema Antropologi Ziarah Muslim pada Sabtu (15/3/2025).


Ia menyampaikan bahwa ziarah bagi perempuan Muslim tidak hanya sekadar perjalanan keagamaan, tetapi sebagai bentuk afirmasi identitas dan kekuatan sosial.

 

“Dalam masyarakat, ziarah memberikan perempuan ruang untuk menyatakan eksistensinya dalam konteks agama dan sosial,” ujarnya.


“Mereka bisa merasa terhubung langsung dengan tempat-tempat suci, seperti makam para wali atau tokoh agama, yang sering kali menjadi simbol kekuatan spiritual atau keagamaan yang dapat menguatkan posisi mereka dalam struktur sosial,” lanjutnya.

 

Penulis buku Sekolahlah Tinggi-Tinggi itu menyampaikan bahwa identitas perempuan Muslim melalui ziarah dapat menguatan hubungannya dengan Allah swt, tokoh-tokoh ulama, dan keluarga yang telah mendahului.

 

"Melalui ziarah, perempuan dapat menguatkan hubungan mereka dengan Allah swt dan dengan tokoh-tokoh ulama. Namun, hal ini juga berkaitan dengan bagaimana mereka dipandang dalam konteks agama,” katanya.

 

"Misalnya, sebagian perempuan melakukan ziarah Muslimah yang taat, sementara yang lainnya mungkin terpengaruh oleh norma-norma sosial yang menuntut mereka untuk tampil sesuai dengan harapan agama,” lanjutnya.

 

Ia menyoroti bahwa praktik atau kegiatan ziarah bagi perempuan Muslim terdapat struktur kekuasaan di lingkungan masyarakat.


"Struktur kekuasaan dalam masyarakat seringkali menuntut agar perempuan melakukan ziarah dalam peran tradisional yang ada, seperti bersama keluarga atau suami,” katanya.

 

Dewi mengungkapkan walau struktur kekuasaan di lingkungan masyarakat masih membatasi stigma perempuan Muslim untuk berziarah.

 

“Struktur agama dan sosial di beberapa masyarakat masih membatasi kebebasan perempuan untuk mengakses atau bahkan menginterpretasi ziarah dengan cara yang lebih mandiri,” ucapnya.