Jakarta, NU Online
Program Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama untuk Diabetes Mellitus (LKNU for DM) yang diselenggarakan selama dua tahun secara resmi ditutup. Penutupan dilakukan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (3/9).
Penanggung Jawab Program LKNU for DM, Esti Febriani, menyatakan bahwa selama dua tahun itu timnya turun di lima kabupaten dan kota, yaitu Blitar, Jombang, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Depok.
Esti dan tim mempelajari bagaimana pendekatan yang harus dilakukan terhadap masyarakat dalam mengatasi persoalan DM. Untuk mensukseskan programnya, ia merekrut tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tenaga kesehatan dari puskesmas dan klinik NU setempat.
“Jadi yang pertama kita lakukan pelatihannya. Tokoh-tokohnya itu kita gunakan kader, tokoh agama, juga tokoh masyarakat,” kata Esti.
Ia menceritakan, pihaknya melatih kader-kader yang telah direkrut itu. Mereka diperkenalkan tentang tugas kader dan bagaimana melakukan pemeriksaan atau screening terhadap pengidap DM.
“Jadi misalnya berat badannya, lingkar pinggangnya, terus juga tes gula darah menggunakan stik untuk jari, dan juga tekanan darah. Jadi untuk tahu apakah dia hipertensi atau enggak,” ucapnya.
Setelah dilatih, kader-kader diminta untuk turun. Mereka dibekali dengan komunikasi, seperti leaflet untuk menjadi bahan edukasi kepada masyarakat. Mereka memeriksa orang-orang melalui berbagai kegiatan, seperti pengajian yang ada di majelis taklim dan posyandu.
“Dari hasilnya, kader itu melakukan screening terhadap 25 ribu anggota masyarakat. Dari 25 ribu itu ada sekitar 10 ribu orang yang dia berisiko untuk hipertensi atau dia juga beresiko untuk diabetes, karena 2 penyakit ini berdekatan ini. Kalau dia diabet dia bisa menjadi hipertensi juga atau sebaliknya,” terangnya.
Ia menyatakan bahwa dalam merekrut para kader tidak mengalami kendala yang berarti karena untuk di Blitar dan Jombang sendiri, kadernya berasal dari Nahdliyin, baik Fatayat maupun Muslimat NU. Sedangkan untuk di kota, kader yang direkrut berasal dari posyandu dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
“Gak kesulitan, justru tingkat keaktifan kadernya itu lebih dari 80. Jadi kalau pengalaman saya, ya kalau tingkat keaktifan kader di atas 80 persen itu biasanya sulit, tapi untuk diabetes ini umumnya mereka tetap aktif setelah 2 tahun,” ucapnya.
Menurut perempuan berusia 53 tahun ini, faktor yang membuat seseorang antusias menjadi kader, selain karena selama ini tidak ada perhatian tentang penanganan DM, juga karena risikonya DM sangat tinggi, terutama berkaitan dengan kemungkinan orang diabet juga terinfeksi penyakit lain, seperti tuberkolosis dan ginjal.
“Jadi diabet itu pintu masuk segala penyakit,” jelasnya.
Pewarta: Husni Sahal
Editor: Muiz