Nasional

Suara Ibu Indonesia Desak Moratorium MBG karena Tak Sesuai dengan Standar Kelayakan Pangan

NU Online  ·  Rabu, 22 Oktober 2025 | 21:30 WIB

Suara Ibu Indonesia Desak Moratorium MBG karena Tak Sesuai dengan Standar Kelayakan Pangan

Ilustrasi. Anak-anak sekolah sedang membawa ompreng MBG. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Suara Ibu Indonesia (SII) mendesak pemerintah segera menghentikan sementara (moratorium) pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).


Program ini dinilai tidak sesuai dengan standar keamanan dan kelayakan pangan, serta menimbulkan banyak persoalan, mulai dari kasus keracunan massal, mobilisasi produksi pangan tanpa pengawasan, hingga minimnya akuntabilitas pelaksana.


Desakan tersebut disampaikan dalam diskusi daring bertajuk Bincang Carut-Marut MBG: Keracunan Massal, Keterlibatan Militer, Hingga Bias Gender melalui Space X, pada Rabu (22/10/2025).


Perwakilan Suara Ibu Indonesia, Ika Ardina, menyoroti lemahnya mekanisme pertanggungjawaban dalam program tersebut. Hingga kini, menurutnya, para korban keracunan tidak mengetahui kepada siapa harus menuntut keadilan atau kompensasi.


“Melihat kekacauan ini, kami menuntut agar proyek MBG dihentikan dan dikembalikan ke program yang benar. Harus ada audit total, evaluasi menyeluruh, serta keterlibatan ahli gizi agar program ini tepat sasaran dan aman bagi anak-anak,” tegas Ika.


“Jadi, kami menuntut agar MBG ini dihentikan sementara (moratorium) untuk kemudian dilakukan secara lebih baik lagi,” imbuhnya.


Ika juga memaparkan bahwa pelaksanaan MBG yang tergesa-gesa menunjukkan program tersebut lebih berorientasi pada kuantitas daripada kualitas.


“Para pengambil keputusan seolah melihat MBG sebagai proyek yang harus cepat mencapai target jumlah, bukan memastikan mutu dan keamanan makanan,” ujarnya.


“Banyak dapur baru dibangun demi memenuhi ribuan porsi dalam waktu singkat tanpa memenuhi standar kelayakan pangan, yang berujung pada kasus keracunan anak di berbagai daerah,” tambahnya.


Mewakili SII, Ika menuntut keterbukaan hasil investigasi kasus-kasus MBG. Dalam audiensi dengan pihak Badan Gizi Nasional (BGN), mereka telah menyerahkan laporan hasil laboratorium dan data lapangan untuk dijadikan bahan evaluasi. Namun, mereka menilai hingga kini belum ada langkah konkret dari pihak pemerintah.


Ika menegaskan bahwa penolakan SII bukan bentuk antipati terhadap pemenuhan gizi anak-anak, melainkan kritik terhadap cara pelaksanaan program yang dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Ia juga mengingatkan bahwa pemenuhan gizi adalah mandat konstitusi, bukan sekadar janji politik.


“Negara memang berkewajiban menyehatkan dan mencerdaskan anak bangsa. Tetapi, caranya harus melalui kajian mendalam, bukan proyek jangka pendek,” katanya.


Lebih lanjut, Ika menyarankan jika pemerintah sungguh ingin melanjutkan program MBG, pelaksanaannya perlu diarahkan ke daerah yang memang membutuhkan, khususnya di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) atau kawasan kumuh perkotaan.


Sementara itu, Rose Marry, Relawan Komunitas Anak Bumi Dwipantara, menambahkan bahwa kekhawatiran masyarakat semakin besar seiring bertambahnya kasus di lapangan, salah satunya di Yogyakarta (Jogja).


“Di Jogja sendiri, ada beberapa sekolah yang menolak menerima MBG karena mereka tidak berani mengambil risiko jika terjadi sesuatu,” ungkap Rose.


“Harapannya, jika ada ruang dialog, termasuk melibatkan anak-anak, mungkin itu juga mendorong mereka untuk berpartisipasi agar proses atau mekanisme MBG ini lebih aman, kemudian lebih nyaman, dan tidak menimbulkan trauma bagi anak-anak yang mendapatkan MBG,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang