Nasional

Tantangan Berdakwah di Era Media Sosial

Kamis, 1 November 2018 | 11:55 WIB

Jakarta, NU Online
Sekretaris Jendral PBNU, H Helmy Faisal Zaini mengatakan bahwa tantangan berdakwah di era media sosial lebih kompleks dari sebelumnya. Sebab anak muda yang mendominasi pengguna media sosial lebih mengandalkan gawainya untuk mencari referensi keagamaan dari pada mendatangi forum pengajian.

“Usia kelompok millennial pengguna media sosial sangat besar, dan mereka kerap mencari informasi dari media sosial termasuk informasi seputar keagamaan,” ujar Helmy Faisal Zaini di PBNU. Ia mengungkapkan bahwa pengguna internet dari kalangan usia millennial mencapai 143 juta orang pada tahun 2018. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 132 juta jiwa. 

Menurut Helmy Faisal, angka ini merupakan tantangan tersendiri bagi Nahdlatul Ulama. Kelompok Nahdliyin tidak bisa membiarkan jutaan orang yang secara aktif 'hidup' di media sosial mengakses informasi keagamaan yang tidak valid sumber dan asal usulnya. 

Bagaimanapun, lanjutnya, di saat era media sosial membawa bermacam-macam jenis informasi, ia juga memuat konten yang sumbernya tidak jelas datangnya, atau yang kerap disebut berita hoaks. Akibatnya, alih-alih mencerahkan, infromasi tersebut justru menjerumuskan pembacanya.

Lebih lanjut, Helmy Faisal mengatakan, arus informasi ini juga tak jarang yang dimanfaatkan oleh gerakan radikalisme terorisme yang menggunakan media internet untuk menyebarkan pengaruhnya. ISIS misalnya. Kelompok kekerasan ini menggunakan fasilitas internet untuk menyebarkan ajarannya melalui media kampanyenya yang bernama Dabiq yang dirilis secara online yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi kelompok pengikutnya di berbagai negara.

Kekhawatiran senada juga disampaikan Pengamat Politik dan Pakar Komunikasi Hendri Satrio. Ia menyebut bahwa selain bermanfaat, media sosial juga memberi sumbangsih pada ‘kegaduhan’ di dunia maya, terutama di musim politik seperti sekarang ini. Kegaduhan ini tidak hanya membuat keresahan dalam masyarakat, tapi juga terkadang hingga melahirkan ancaman terhadap keutuhan NKRI.
 
“Medsos sangat sensitif, terutama saat kebebasan berpendapat itu dilontarkan seperti propaganda, hoaks, ujaran kebencian, bahkan kampanye hitam,” Hendri Satrio di Jakarta.

Hendri menilai, medsos seharusnya bisa digunakan hal-hal positif yang bisa merekatkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Semua pihak memiliki tanggung jawab untuk menanggulangi sisi negatif medsos ini dengan melakukan cek-ricek, berpikir cerdas, dan bertanggungjawab dalam mengelola akun medsos masing-masing.
 
Intinya, pendiri Lembaga Survei Kedai Kopi ini menekankan, medsos bukan hanya sebagai tempat sharing, tapi juga tempat edukasi bagi masyarakat. Karena itu, medsos harus dikelola secara benar dan santun.
 
“Medsos ini dunia bebas. Artinya setiap pemilik akun boleh menyampaikan hal-hal yang menurut dia penting. Makanya akun medsos menjadi tanggung jawab pemilik akun masing-masing,” papar dosen komunikasi politik Universitas Paramadina ini.
 
Menurutnya, narasi kebencian yang tersebar di medsos tidak hanya berimbas pada si pembuat, tapi secara luas di masyarakat. Ia menilai medsos di Indonesia berkembang pesat karena adanya kebutuhan eksistensi individu pemilik akun medsos itu.
 
“Tapi eksistensi ini harus digunakan dalam langkah-langkah positif, jangan sampai eksistensi dimunculkan melalui pemberitaan negatif, apalagi ujaran kebencian,” tukasnya.
 
Hendri juga mengingatkan bahwa di zama kerajaan Nusantara dulu banyak negara (kerajaan) besar terpecah belah oleh politik adu domba atau berita hoaks. Maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia yang baru berumur 70 tahun bisa terpecah belah akibat paham negatif di medsos ini.
 
“Ini harus sama-sama kita jaga. Jangan sampai medsos ini menjadi alat meretakkan hubungan baik kita. Jangan sampai medsos kemudian menyebabkan Indonesia pecah. Maka bila menemukan akun yang memunculkan akun ujaran kebencian, hoaks, kampanye hitam, ada baiknya tinggalkan akun itu. Tidak perlu dibaca, apalagi di-share,” ajak Hendri. 

Untuk menghindari perpecahan akibat konten di media sosial, Helmy Faisal mengingatkan untuk tetap menggunakan kata yang santun. "Islam mengajarkan kita untuk berkata santun. Islam itu mengajak, buka mengejek. Islam itu agama ramah, bukan marah. Maka ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan penuh rahmah dan kasih sayang, itulah pesan dalam Islam," pungkasnya. (Ahmad Rozali)