YLBHI Nilai Masalah Kepolisian adalah Cara Pandang Militeristik yang Mengakar
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 23:00 WIB
Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. Barikade polisi sedang mengamankan jalannya sebuah demonstrasi di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai masalah kepolisian di Indonesia tidak berhenti pada soal struktur organisasi atau penempatan personel, melainkan berakar jauh pada cara pandang dasar militeristik yang membentuk posisi dan peran kepolisian dalam negara.
“Perdebatan yang sering muncul seolah-olah ini soal penempatan atau mengubah otak-atik penempatan. Ternyata problemnya jauh lebih dari itu. Dia ada di root-nya, ada di dasar nilai atau dasar pijakannya,” kata Isnur dalam Seri Diskusi FKPReformasi Kelembagaan Polri Konsistensi Fungsi, Pembatasan Kewenangan, dan Penguatan Pengawasan Eksternal dikutip NU Online, Selasa (16/12/2025), melalui Youtube PSHK Indonesia.
Menurut Isnur, cara pandang tersebut melahirkan klaim bahwa kepolisian harus hadir di hampir seluruh sektor kehidupan publik. Karena itu, agenda reformasi kepolisian seharusnya tidak berhenti pada perbaikan teknis, tetapi menggugat secara mendasar posisi kepolisian itu sendiri.
“Maka tuntutannya jadi sangat dalam. Menggugat, apakah mereka perlu ada di semua sektor ini,” ujarnya.
Reformasi kepolisian tak sentuh akar masalah
Isnur menegaskan bahwa kritik tersebut sejalan dengan agenda masyarakat sipil yang tengah mendorong reformasi kepolisian secara menyeluruh. Ia menyebut YLBHI bersama berbagai organisasi sipil tengah mengadvokasi pembentukan koalisi reformasi kepolisian.
“Ini seiring dan sejalan dengan juga kita sedang mengadvokasi koalisi reformasi kepolisian,” katanya.
Ia menilai dokumen kajian reformasi kepolisian yang disusun masyarakat sipil seharusnya menjadi rujukan utama negara.
“Dokumen ini harusnya menjadi dokumen utama bagi Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian. Baru nanti setelah dari situ, turunan-turunannya merujuk ke dokumen ini,” tegas Isnur.
Menurutnya, tanpa pijakan konseptual yang jelas, reformasi kepolisian hanya akan bersifat tambal sulam.
Isnur mengingatkan bahwa perdebatan mengenai superioritas kepolisian dalam sistem ketatanegaraan sudah berlangsung lama. Ia mengisahkan pengalamannya saat dilibatkan dalam pembahasan rancangan undang-undang kepolisian pada 2024.
“Di RUU Polri tahun 2004 itu mengerikan sekali. Yang sebagian kemudian isinya diserap oleh RUU KUHAP,” ujarnya.
Dalam forum tersebut, Isnur menyebut muncul pandangan dari seorang profesor hukum yang menempatkan kepolisian sebagai lembaga paling dominan secara konstitusional.
“Di forum itu dia bilang begini, kepolisian itu adalah satu-satunya lembaga yang dimandatkan oleh undang-undang dasar dalam pendekatan hukum. Bayangkan, ini profesornya,” kata Isnur.
Menurut Isnur, tafsir tersebut mengabaikan prinsip pemisahan kekuasaan dan peran lembaga peradilan.
“Dia lupa ada Pasal 24. Ketika saya menjelaskan Pasal 24, dia ngilang dari ruangan,” ujarnya.
Pandangan serupa, lanjut Isnur, kembali muncul dalam pembahasan legislasi di DPR. “Pendapat ini muncul kembali di Komisi 3 DPR, bahwa polisi adalah lembaga yang dimandatkan konstitusi, maka yang lainnya adalah derivasi,” katanya.
Isnur menilai cara pandang tersebut berdampak langsung pada kecenderungan memperluas kewenangan kepolisian dalam berbagai rancangan undang-undang.
“Di RUU Polri lebih parah. Bukan hanya penyidik harus berkoordinasi, tapi rekrutmen dan pengangkatan penyidik harus persetujuan. Ini jauh lagi hendak menambah kewenangan,” ujarnya.
Ia menyebut kondisi ini sebagai kegagalan serius Reformasi.
“RUU Polri sudah kecelakaan sejarah. Kita harus melihat genealogi otoritarianismenya polisi sejak masa lalu,” tegasnya.
Menurut Isnur watak tersebut tidak bisa dilepaskan dari warisan ABRI pada masa Orde Baru.
“Polisi nempel di situ. Karakter kejiwaan kelembagaannya nempel, bahwa dia adalah solusi untuk semua,” katanya.
Negara terus memelihara watak militeristik
Isnur mengungkapkan cara pandang itu membuat kepolisian merasa berhak mengatur hampir seluruh aspek kehidupan warga.
“Makanya harus hadir di semua. Tidak boleh ada satu jengkal pun wilayah sipil yang tidak dikawal,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana berbagai aktivitas sipil berada dalam kontrol kepolisian.
“Orang mau konser harus izin, orang mau ibadah harus izin, orang mau demonstrasi harus pemberitahuan ke mereka,” kata Isnur.
Isnur juga menyoroti keterlibatan kepolisian dalam sektor jasa pengamanan swasta.
“Pelatihan, lisensi, sertifikasi satpam itu dari kepolisian. Bahkan warna seragamnya diatur oleh Perpol,” ujarnya.
Menurut Isnur meski secara formal telah terjadi pemisahan antara militer dan kepolisian pascareformasi, watak militeristik tersebut tidak pernah benar-benar berubah.
“Tidak terjadi demilitarisasi. Lembaganya dipisahkan dari militer, tapi jiwanya masih militer,” katanya.
Ia menilai kondisi ini berdampak serius pada akuntabilitas, pengawasan, serta meningkatnya praktik kekerasan, kriminalisasi, dan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian.
“Ini gugatan serius terhadap 23 tahun keberlangsungan undang-undang kepolisian,” pungkas Isnur.
Restorative justice
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Asfinawati menilai penerapan keadilan restoratif oleh kepolisian pada tahap penyelidikan menunjukkan pergeseran kewenangan yang serius.
“Kalau di penyelidikan, tindak pidana apa yang mau diselesaikan? Kan di penyelidikan belum ada tindak pidana,” kata Asfinawati.
Ia menjelaskan bahwa pada tahap tersebut, suatu perkara belum tentu berujung pada penuntutan karena jaksa masih memiliki kewenangan mengembalikan berkas perkara, baik karena kurang bukti maupun karena tidak layak diproses. Karena itu, penerapan keadilan restoratif di tahap penyelidikan dinilai bermasalah.
“Dulu yang bisa menggabungkan atau memisahkan perkara itu penuntut. Sekarang polisi. Jadi sebetulnya penyelidikan sudah masuk lebih jauh, mengambil sebagian kewenangan penuntut,” ujarnya.
Asfinawati juga mengingatkan bahaya ketika negara terlalu menekankan pendekatan keamanan tanpa kejelasan akuntabilitas.
Ia menegaskan bahwa secara teoritis semakin berat pendekatan keamanan dalam suatu negara, sehingga masyarakat justru berpotensi semakin tidak aman.
“Secara teori, semakin berat security di suatu negara, rakyat justru semakin tidak aman,” katanya.
Ia menekankan pentingnya membaca ancaman secara tepat agar postur dan kewenangan aparat tidak dibentuk berdasarkan asumsi yang keliru, yang pada akhirnya berpotensi melanggengkan praktik represif terhadap warga
Terpopuler
1
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
2
Penembakan Massal Terjadi di Australia, Seorang Muslim Berhasil Lucuti Pelaku Bersenjata
3
Majelis Tahkim Khusus, Solusi Memecahkan Sengketa untuk Persoalan di PBNU
4
Kronologi Persoalan di PBNU (7): Kelompok Sultan dan Kramat Saling Klaim Keabsahan
5
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
6
Prabowo soal Status Bencana Nasional untuk Aceh-Sumatra: Situasi Terkendali, Saya Monitor Terus
Terkini
Lihat Semua