Mengenang KH Ma'mun Muhammad Mura'i, Santri Aktivis dan Akademisi
Jumat, 28 Maret 2025 | 18:00 WIB
Ajie Najmuddin
Kontributor
Suatu hari menjelang Zuhur pada 12 November 2020, saya berkesempatan untuk sowan ke kediaman KH Ma'mun Muhammad Mura'i di Sleman, Yogyakarta. Sebetulnya kala itu, saya merasa kurang siap untuk mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Kiai Ma'mun, mengingat minimnya data. Namun, saya berpikir kapan lagi bisa sowan Kiai Ma'mun. Mumpung saya juga ada kegiatan di dekat kediamannya.
Kiai Ma'mun menyambut baik sowan saya. Satu per satu pertanyaan random saya dijawabnya dengan runtut dan sabar. Seperti seorang kakek yang bercerita kepada cucu. Di usianya kala itu, 83 tahun, KH Ma'mun masih dapat mengingat dengan baik dan menceritakan kembali berbagai kenangan peristiwa demi peristiwa di masa lampau.
Untuk mencairkan suasana, saya mulai memperkenalkan diri, sebagai wartawan NU yang kini tinggal di Solo dan kelahiran dari Kranji Pekalongan, dengan menyebut nama Allahyarham KH Muhammadun R Jundi (pernah menjadi Rais Syuriah PCNU Pekalongan), sebagai seorang tokoh di kampung kelahiranku.
"Muhammadun itu dulu pas kecil saya pernah ikut momong, saat itu zaman perang, keluarganya ikut mengungsi ke Lumpur," kenang Kiai Ma'mun.
Nama Lumpur yang Kiai Ma'mun Sebut merupakan sebuah kampung yang terletak di Desa Limbangan, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes. Keluarga Kiai Muhammadun mengungsi ketika terjadi perang pada masa revolusi ke Lumpur, sebab ibunya berasal dari sana.
Antara Kiai Muhammadun dan Kiai Ma'mun tersambung silsilah pada KH Idris Lumpur. Pada tahun 2023, saya pernah berziarah ke makam KH Idris Lumpur. Di kompleks makam terpampang silsilah Mbah Idris bin Mbah Sholeh yang dapat menjelaskan jalur nasab Kiai Muhammadun dan Kiai Ma'mun.
Kiai Muhammadun merupakan keturunan KH Idris dari jalur Nyai Nuriyah binti KH Amir Simbang Kulon Pekalongan. Sementara nenek Kiai Ma'mun, yakni Nyai Sabtoni (Nyai Mura'i) binti KH Idris merupakan adik dari KH Amir.
Jadi nama yang tersemat pada namanya, yakni Muhammad dan Mura'i, dinisbatkan kepada nama ayah dan kakeknya.
"Nama beliau Ma'mun. Kemudian ditambah nama ayahnya (Muhammad) dan nama kakeknya (Mura'i) untuk kebutuhan paspor waktu kuliah di Al-Azhar," kata salah satu putra Kiai Ma'mun, Syafawi Ahmad Qadzafi.
Bila diurutkan sampai kepada Kiai Idris Lumpur, maka jalur silsilah Kiai Ma'mun sebagai berikut: KH Ma'mun bin Nyai Fathimah (istri KH Muhammad) binti Nyai Sabtoni (KH Muro'i) binti KH Idris.
Santri aktivis
Semasa muda, Kiai Ma'mun nyantri ke Solo, berguru kepada Allahyarham KH Ahmad Umar Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan. Sebelumnya, ia juga pernah mengaji di beberapa pesantren. Belakangan saudaranya bernama Badawi juga ikut menyusul untuk mondok di Mangkuyudan.
Pada tahun 1960-an, Ma'mun muda nyantri di Mangkuyudan sekaligus kuliah di PTINU / UNNU Surakarta. Ia termasuk menjadi mahasiswa angkatan pertama kampus yang berdiri pada tahun 1958 tersebut. Termasuk satu angkatan dengannya, yakni Allahyarham KH Nuril Huda, salah satu pendiri PMII, yang juga nyantri di Mangkuyudan.
Bersama Nuril Huda, Laily Mansur, Mustahal Ahmad, dan kawan-kawan lainnya, Ma'mun ikut terlibat saat mendirikan PMII di Kota Solo pada tahun 1960. Di tahun yang sama, ia juga menjadi pengurus Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Surakarta yang diketuai Nuril Huda. Bersama Imam Muftaroch Abdul Muid (ayah Ketua MUI Surakarta saat ini, KH Abdul Aziz), Ma'mun dipercaya di bagian Pendidikan dan Pengaderan.
"Waktu itu yang banyak membimbing saya Pak Mustahal kemudian Pak Niam Zuhri (cucu Kiai Asnawi Kudus, yang pernah menjadi Ketua PC GP Ansor Solo)," kata Kiai Ma'mun.
Saat aktif di PMII, ia mengaku ikut terlibat dalam sejumlah agenda besar seperti Kongres (Muktamar) ke I PMII yang diselenggarakan di Tawangmangu, Karanganyar pada tahun 1961. Kemudian juga Training Course (TC) ke I PMII di Ponorogo pada tahun 1962.
Pada tahun 1963, jalan hidup membawanya kuliah ke Universitas Al-Azhar Mesir, melalui jalur beasiswa PMII yang kala itu dipercaya oleh Departemen Agama. Ma'mun berangkat bersama kawan-kawannya dari PMII yang lain seperti Moh Sanusi (Makassar), Harus Zaini (Malang), Arief Al Mahfudz (Yogyakarta), Abdul Gafar Umar (Ciputat), dan Tubagus Abbas Makmun (Bandung). Di Mesir, ia juga sezaman dengan Gus Dur.
"Saya dan Gus Dur itu seangkatan. Kemudian setelah saya ada Gus Mus. Ya akrab, kan asrama bareng. kemudian juga kadang nonton bareng," ucap Kiai Ma'mun, mengenang momen waktu ia kuliah di Mesir.
Singkat cerita, selesai kuliah di Mesir, ia kembali ke Indonesia dengan menyandang gelar LML dan haji. Kemudian pada tahun 1968, ia menikah dengan Mariyah, putri dari KH Ahmad Shofawi, salah satu pendiri Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan.
H Ma'mun juga kembali aktif di NU. Selesai pengabdian di IPNU, pernah juga ia menjadi Ketua Cabang GP Ansor Solo. Tak jarang, namanya juga muncul di Buletin Lensa Peladjar yang dikelola oleh PC IPNU-IPPNU Surakarta.
Semisal pada buletin Lensa Peladjar edisi Januari 1970, memuat salah satu artikelnya yang berjudul: Harapan dan Teka-teki NU Sala dalam Memenangkan Pemilu jang akan Datang. Dalam tulisan tersebut, secara panjang lebar, H Ma'mun memberikan analisis potensi dan peluang Partai NU Sala (Surakarta) yang sebentar lagi akan menghadapi perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 1971.
Pemilu 1971, merupakan yang kali kedua diikuti oleh NU, setelah Pemilu pertama di tahun 1955. Pada Pemilu kali ini, praktis hanya NU, sebagai partai besar yang masih tersisa. Mengapa demikian? Kondisi kala itu adalah sebagai berikut.
PNI, sebagai pemenang Pemilu 1955, telah merosot drastis kekuatannya, seiring dengan lengsernya Bung Karno. Kemudian dua partai lain, yang masuk dalam empat besar, yakni PKI dan Masyumi, telah dibubarkan. Masyumi kemudian bertransformasi menjadi Parmusi. Sedangkan PKI kita semua tahu bagaimana nasibnya setelah peristiwa G30S di tahun 1965. Maka NU dengan dukungan penuh dari puluhan juta anggotanya, bersiap untuk mengikuti Pemilu.
Ma'mun terlebih dulu menyoroti persoalan UU Pemilu yang telah disahkan DPRGR pada akhir November 1969. NU sendiri ikut memperjuangkan lahirnya UU Pemilu ini, meskipun akhirnya hasil yang dirasa kurang memuaskan, karena materi di dalamnya dirasa tidak membawa negara demokrasi sebenarnya. Namun, sekali lagi NU merasa telah yakin akan menang dalam Pemilu 1971, dilihat dari survei yang dilakukan di daerah-daerah, di mana kekuatan NU terus bertambah besar.
"Djikalau PBNU berkejakinan akan menang dalam Pemilu 1971, bagaimana NU Tjabang Solo? Apakah mempunjai kejakinan kedudukannja sekarang, baik dalam DPRD maupun dalam BPH akan bertambah dan lebih banjak dari sekarang setelah Pemilu jang akan datang?" tanya Ma'mun dalam artikel tersebut.
Setelah memberikan gambaran akan potensi NU Solo, ia memberikan sejumlah masukan untuk memperkuat posisi NU Solo, khususnya kepada para pemimpin. Pertama, kepemimpinan yang mendapat kepercayaan dari massa dan benar-benar berjuang untuk kepentingan umum. Kedua, Perlu dibentuk tim riset dan perencanaan, yang nantinya dijadikan pedoman dalam bergerak.
Ketiga, hilangkan gap komunikasi antara pemimpin dengan anggotanya. Keempat, pimpinan harus dapat melaksanakan taktik dan strategi perjuangan dengan konkrit. Kelima, pemimpin mesti bisa memobilisasi kekuatan organisasi. Keenam, pemimpin harus mempertebal kesadaran dan keikhlasan dalam berjuang.
"Marilah kita kembali ke djalan jang lurus, jang diridloi oleh Allah swt, untuk suksesnja tjita-tjita partai NU jang berasas Islam ahlus-sunnah waldjama'ah dengan mengikuti salah satu madhab empat!" tukasnya.
Rais syuriyah PCNU Sleman
H Ma'mun juga merintis pengabdian ataupun profesinya sebagai dosen pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang Universitas Islam Negeri, UIN) Sunan Kalijaga. Di sana, ia pernah dipercaya menjadi Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Periode 1992-1996. Di saat yang sama KH Ma'mun juga aktif di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sleman. Bahkan pernah mengemban sebagai rais syuriah PCNU Sleman yang berakhir pada Konfercab tahun 2005. Ia juga pernah menjadi Ketua MUI Kabupaten Sleman (hingga tahun 2018).
Dengan kapasitas keilmuannya, KH Ma'mun juga kerap masuk dalam ulama NU yang ikut dalam tim perumus Bahtsul Masail di tingkat Muktamar NU. Hal ini tampak dalam daftar Tim Perumus Bahtsul Masail ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar ke-30 NU di Lirboyo tahun 1999.
Sebagai seorang akademisi, KH Ma'mun Muhammad juga produktif dalam menghasilkan karya tulis mulai artikel opini di media massa, jurnal, hingga buku. Di antaranya pada tahun 1976 ia menulis artikel jurnal berjudul Abu Nasr Al Farabi (870 - 950 M) (Filsafat, Seniman, & Sufie) yang diterbitkan Al Jamiah, Vol.14 (13). Kemudian ia juga menerjemahkan karya Achmad El Ghandur dengan judul Perspektif Hukum Islam: Sebuah Pengantar yang diterbitkan oleh Pustaka Fahima, Yogyakarta, pada tahun 2006. Karya-karyanya tersebut menjadi banyak rujukan para mahasiswa dan pengajar.
Kiai Ma'mun mengaku, di masa lalu ia memiliki ketertarikan dengan tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi, salah satu tokoh PMII dan NU yang pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Ia juga memiliki kenangan akan ayah Mahbub, yakni KH Djunaidi, dalam konteks sebagai hakim agama. "Dulu para hakim di Mahkamah Islam Tinggi (MIT) saking hati-hatinya di pengadilan agama itu buka kitab, dalil mana yang paling kuat. Sekarang (ada yang) asal-asalan, bahkan tidak paham agama," kata Kiai Ma'mun.
Begitulah, sedikit catatan yang dapat saya kumpulkan mengenai KH Ma'mun Muhammad yang baru saja wafat, di usianya yang ke 88 tahun, pada 19 Maret 2025 atau 19 Ramadhan 1446 H, dan dimakamkan di Pekalongan. Lahul fatihah.
Terpopuler
1
Bacaan Takbiran Idul Fitri Arab, Latin, dan Artinya
2
Begini Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri
3
Lembaga Falakiyah PBNU Dorong Pelaksanaan Rukyatul Hilal Awal Syawal 1446 H
4
3 Amalan Sunnah Sebelum Berangkat Shalat Idul Fitri
5
Khutbah Idul Fitri 1446 H Bahasa Sunda: Takwa sareng Akhlak Mulya Janten Atikan Ramadhan
6
Khutbah Idul Fitri Bahasa Arab 2025: Menyambut Kemenangan dengan Kebahagiaan dan Syukur
Terkini
Lihat Semua