Opini

3 Transformasi agar NU Tetap Relevan dan Bermakna

Senin, 27 Januari 2025 | 21:00 WIB

3 Transformasi agar NU Tetap Relevan dan Bermakna

Logo Nahdlatul Ulama

Pada tahun 2025, Nahdlatul Ulama (NU) merayakan usianya ke-102 menurut kalender Hijriah dan 99 tahun menurut kalender Masehi. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, NU telah memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari pendidikan, keagamaan, sosial, hingga politik.


Didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari dan para ulama lainnya, NU lahir sebagai respons terhadap dinamika keagamaan dan politik pada masa penjajahan Belanda. NU didirikan salah satunya bertujuan untuk menjaga ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah, memperkuat tradisi keagamaan, dan menjawab berbagai tantangan zaman kala itu. Dengan jaringan pesantren dan lembaga pendidikan formal, NU telah berperan besar dalam mencetak generasi intelektual Muslim yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama sekaligus adaptif terhadap perkembangan modernitas.


Pendidikan menjadi salah satu pilar utama perjuangan NU. Jaringan pesantren seperti Tebuireng dan Lirboyo telah melahirkan banyak tokoh nasional yang tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga memahami dinamika sosial dan politik. Kehadiran madrasah dari tingkat dasar hingga menengah atas, serta ma’had aly dan perguruan tinggi mempertegas komitmen NU dalam mencetak generasi intelektual yang mampu bersaing di panggung global tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi keislaman yang moderat. NU memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berdaya saing.


Dalam bidang sosial, NU menunjukkan kepekaannya terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Lewat Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), organisasi ini aktif memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Program-program pemberdayaan ekonomi, bantuan bencana, dan pendidikan anak-anak kurang mampu menjadi bukti nyata kontribusi NU dalam menyejahterakan masyarakat. NU juga memainkan peran strategis dalam mempromosikan toleransi dan harmoni antarumat beragama. 


Peran NU dalam sejarah politik Indonesia juga tidak bisa diabaikan. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy'ari pada tahun 1945 menegaskan bagaimana NU berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di era Reformasi, keterlibatan NU dalam politik kembali menonjol, baik melalui kader-kadernya di pemerintahan maupun melalui pengaruhnya dalam kebijakan nasional. Meskipun pernah memutuskan untuk kembali ke khittah sebagai organisasi sosial-keagamaan pada 1984, NU tetap memiliki daya tarik politik yang kuat sebagai salah satu kekuatan sipil terbesar di Indonesia.


Berbagai survei yang dilakukan oleh banyak lembaga menunjukkan dominasi NU sebagai ormas dengan jumlah pengikut paling besar. Hasil survei tahun 2023 oleh Lembaga Survei Indonesia menyatakan bahwa orang yang mengaku NU ini sudah 56,9%, hasil serupa didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center pada bulan September 2024 yang menyebutkan mereka yang terafiliasi dengan NU sebesar 57,6%. 


Angka ini bisa jadi lebih besar jika dikaitkan dengan ritual keagamaan yang dilakukan Muslim Indonesia adalah ritual tradisi keagamaan yang biasa dilakukan oleh Nahdliyin. 82,2% umat Islam Indonesia melakukan tradisi tahlilan, 91,0% melakukan perayaan Maulid Nabi, dan 76,7% melakukan qunut saat Shalat Subuh.


Angka ini tentu saja mencerminkan luasnya pengaruh NU di seluruh penjuru negeri, dari kota-kota besar hingga pelosok desa. Dengan jaringan yang sangat kuat, NU tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga pusat kehidupan sosial dan budaya bagi jutaan orang. Keberadaan NU yang merata di hampir semua wilayah Indonesia memberikan kekuatan besar bagi organisasi ini untuk menjalankan berbagai program dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.


Namun, di abad keduanya ini, NU menghadapi tantangan yang lebih kompleks yang memerlukan strategi baru yang lebih adaptif dan inovatif. Salah satu tantangan utama adalah era digital yang semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan. Media sosial, di satu sisi, menawarkan peluang besar untuk menyebarkan nilai-nilai NU kepada generasi muda. Di sisi lain, platform ini juga menjadi arena pertempuran ideologi yang bisa menggerus nilai-nilai beragama yang inklusif dan toleran, jika tidak dikelola dengan bijak. 


Ketimpangan ekonomi adalah isu lain yang membutuhkan perhatian serius. Warga NU yang sebagian besar hidup di pedesaan termasuk salah satu yang terdampak. NU sebetulnya juga memiliki potensi besar untuk mendorong pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan koperasi, UMKM, dan program kewirausahaan yang berbasis komunitas. Dengan mengoptimalkan kekuatan jejaringnya, NU dapat menciptakan model ekonomi berbasis komunitas yang bisa menjadi jembatan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan mempromosikan kemandirian ekonomi umat.


Regenerasi keulamaan menjadi isu strategis yang tidak kalah penting. NU perlu memastikan bahwa kader-kader ulama mudanya memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi panutan dan tempat bertanya masyarakat tentang persoalan keagamaan. Ulama-ulama muda bisa menjadi jembatan antara nilai-nilai yang berpijak pada nilai-nilai tradisional dan sekaligus mampu menjawab tantangan kontemporer.


Di samping isu domestik, lanskap global saat ini  menjadi perhatian NU. Perkembangan geopolitik dan ekonomi yang sampai saat ini masih diliputi ketidakpastian dan dunia sedang mencari keseimbangan baru. Kawasan Timur Tengah yang masih terus bergolak menjadikan kawasan ini menjadi pusat konflik bertahun-tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump akan sangat berpengaruh bagi kebijakan luar negeri negara-negara lain termasuk Indonesia


Dengan melihat tantangan yang sedemikian komplek tadi NU memang membutuhkan sebuah desain dan orientasi organisasi yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Karena itu bisa dipahami jika PBNU di bawah kepemimpinan Rais Aam KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf dalam salah satu kebijakan strategis melakukan transformasi organisasi.


Transformasi organisasi itu diwujudkan melalui konsolidasi di tiga bidang. Pertama, Konsolidasi tata kelola organisasi yang mencakup segala hal tentang manajemen organisasi dari PBNU hingga ranting di desa dan kelurahan, termasuk di dalamnya lembaga dan banom NU. Transformasi digital secara perlahan namun pasti mulai diimplementasikan untuk administrasi manajemen keorganisasian.


Kedua, konsolidasi sumber daya, termasuk di dalamnya sumber daya manusia dan sumber daya pembiayaan organisasi. Kaderisasi menjadi urat nadi organisasi, NU melalui PDPKPNU di tingkat dasar, PMKNU di tingkat menengah, dan AKN NU di tingkat lanjut ditujukan untuk menyiapkan kader-kader NU memiliki kapasitas untuk menempati pos-pos penting baik di internal NU di setiap tingkatan maupun juga kepemimpinan di masyarakat dan negara.


Ketiga, konsolidasi agenda. Setiap agenda dan program NU harus bisa dipastikan sampai dan dirasakan manfaatnya oleh warga NU. Karena itu untuk pertama kali dalam sejarah, PBNU memiliki Perencanaan Strategis (Renstra PBNU) yang menjadi rencana induk semua agenda dan program yang menjadi acuan utama semua perangkat organisasi (PW, PC, Lembaga, dan banom).


Pendidikan dan keluarga menjadi fokus utama agenda NU. Sektor pendidikan dipilih karena NU memiliki modal dasar Pesantren yang tersebar penjuru pelosok Indonesia. Pesantren adalah soko guru utama pendidikan Islam di Indonesia. Di samping pesantren, ribuan madrasah dari tingkat dasar hingga menengah juga berafiliasi dengan NU. Pesantren dan madrasah ini melayani jutaan santri dan pelajar warga NU. Disamping itu NU sekarang ini menaruh perhatian besar untuk memperkuat Perguruan Tinggi NU.


Keluarga adalah ”institusi” paling bawah dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Di keluarga pula hampir semua kebutuhan dasar hidup manusia harus dipenuhi, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan masih banyak lagi. Melalui Gerakan Keluarga Maslahat NU (GKMNU), NU berikhtiar untuk semakin hadir dan mendekatkan layanannya bagi keluarga NU.


Transformasi dan konsolidasi ini bagi NU adalah sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Sebagai organisasi yang menaungi ratusan juta warga, organisasi NU sudah sewajarnya harus dikelola dengan sistem manajemen yang rapi, akuntabel, dan mengikuti prinsip-prinsip good corporate governance. Dengan harapan PBNU dan semua perangkat organisasinya akan bisa lebih lincah dan adaptif dalam merespon setiap perubahan dan mampu hadir melayani setiap kebutuhan warga NU.


Namun demikian, setiap transformasi dimanapun itu selalu dihadapkan pada jalan terjal dan berliku, setiap transformasi juga selalu menyakitkan bagi orang-orang yang tidak siap dengan perubahan. Sebuah studi yang dilakukan Jhon Kotter, Professor Emeritus Harvard Business School, tahun 1995 menemukan 70% perusahaan telah gagal dalam melalukan transformasi organisasi. Kunci utama transformasi organisasi merupakan kombinasi dari 3 aspek, yakni kepemimpinan yang kuat, visi yang jelas, enggagement dengan semua perangkat organisasi dan stakeholder.


Nahdlatul Ulama telah teruji dan berhasil melintasi berbagai gelombang peradaban Indonesia sejak sebelum era kemerdekaan hingga kini. NU tidak hanya mampu bertahan tapi NU berhasil menjadi salah satu pemain utama di atas panggung sejarah Indonesia. Melalui Transformasi organisasi ini NU kembali ingin menegaskan kepada publik bahwa NU terus berupaya beradaptasi dengan zaman kekinian agar NU tetap relevan dan bermakna bagi bangsa dan negara Indonesia.


Hasanuddin Ali, Ketua PBNU/CEO Alvara Research Center