Opini

Agama Pelangi, Bukan Agama Serdadu

Kamis, 25 Juni 2015 | 13:01 WIB

Oleh Ahmad Lukman Fahmi

--Berawal dari acara Kongkow Bersama Lesbumi NU Sudan beberapa waktu lalu –esai ringan nan pendek ini ditulis. Kongkow mengangkat sebuah tema “Tradisi Ramadhan di Nusantara” dimana setelah pemateri menyampaikan apa yang semestinya disampaikan, setiap peserta yang hadirmenceritakan bermacam tradisi berislam pada bulan suci Ramadhan di daerah masing-masing. Sangat menarik!<>

Berbicara tradisi Ramadhan di Indonesia, artinya berbicara tradisi islam Nusantara, yang dalam skala lebih besar berkait-erat dengan Islam Nusantara, term yang menjadi polemik akhir-akhir ini oleh berbagai kalangan, ada sebagian yang ‘meragukan’ –kalau tidak menolak- ada pula yang bersikukuh dengan ke-otentikannya. Ada banyak definisi terkait Islam Nusantara yang dikemukakan, dari yang menolak, yang sekedar mengkritisi, dan yang mengukuhkannya, -dapat dilacak di google.

Sejatinya, definisi-definisi dari berbagai kalangan itu terdapat persamaan persepsi yang mendasar bahwa islam nusantara adalah hasil daripada proses akulturasi antara nilai keislaman (syariat) dengan tradisi lokal setempat.Tetapi kemudian terhadap hasil dari proses itulah perbedaan sikap atas tradisi dimulai.

Ulama-ulama nusantara –diawali para wali songo- sebelum sampai kepada kesimpulankolektif terhadap tradisi lokal setempat, telah melakukan Istiqra’ (penelitian)panjanguntuk mendialogkan sekaligus mendamaikan syariat dan tradisi dengan memakai berbagai perangkat otoritatif dalam Islam, ada yang disebut dengan Maqoshid al Syari’ah (tujuan-tujuan syariat), Ushul al Fiqh (pokok-pokok teori fikih), danQowaid al Fiqh (kaidah-kaidah fikih). Berkat kecemerlangan mereka, hasil dari akulturasi (syariat dan tradisi) itu dengan mudah diterima oleh masyarakat tanpa terjadi benturan dengan nilai keislaman yang baku, yang itu tidak sebatas bentuk ‘sinkretisme’ antara islam dan budaya, dan tidak pula hasil dari pemaksaan atas tradisi lokal untuk kemudian diberi label islam; tradisi islam.

Landasan teori atas keberhasilan mendialogkan tradisi dan syariat itu dalam pendekatan Maqoshid al Syariah, disebut dengan Ma’alat al Af’al (konsekuensi logis atas perbuatan), yang (memang) mendapat perhatian lebih oleh para ulama Nusantara dari berbagai teori yang ada. Yaitu sebuah teori fikih yang digagas oleh al Syatibi dalam bukunya al Muwafaqot, yang kemudian melalui Abdullah bin Bayyah teori ini lebih dikenal dengan Fiqh al Tawaqqu’ (fikih antisipasi/fikih ramalan). Teori ini lebih menitik-beratkan pada konsekuensi logis yang diterima dari setiap perbuatan atau tindakan, atau lebih jelasnya konsekuensi atau implikasi baik dan buruk yang akan diterima apabila suatu sikap-hukum diterapkan terhadap suatu perkara.

Bukan seperti ‘pepesan kosong’, teori diatas memiliki banyak acuan Nash dari al Quran dan al Hadits, diantaranya sebagaimana dalam surah al An’am ayat 108, tentang pelarangan menyela sesembahan selain Allah, karena konsekuensi logis yang akan diterima, orang-orang yang sesembahannya dicela oleh seorang muslim, maka orang-orang tersebut pasti akan balik mencela sesembahan seorang muslim, yaitu Allah SWT, kemudian dari sini teori Ma’alat al Af’al atau Fiqh al Tawaqqu’ itu mendapat posisinya. Dan masih banyak lagi status hukum dalam sebuah Nash (quran maupun hadits) yang lahir dari pertimbangan Syara’terhadap konsekuensi logis yang akan diterima, untuk keterangan lebih jelasnya dapat dilihat dalam al Muwafaqot, karya al Syatibi.

Kembali ke pembicaraan awal, berkat kecerdasan para ulama Nusantara itu, benturan antara tradisi dan syariat dapat dihindari, bahkan berkat sikap kolektif mereka (ulama) terhadap tradisi setempat, masyarakat dapat dengan mudah menjalankan tradisi yang telah berlaku tanpa‘terusik’dengan status hukumnya.

Ada banyak sekali tradisi-tradisi keislaman menjelang atau ketika memasuki bulan Ramadhan di banyak daerah di Indonesia, bahkan di Jawa sendiri meski ada persamaan ‘teritorial’, terdapat bermacam tradisi yang berbedasatu sama lain, -seperti yang diceritakan peserta kongkow waktu itu. Tradisi-tradisi seputar Ramadhan di Jawa yang hampir dikenal semua masyarakat secara umum diantaranya Kenduri, Nyekar, Mbesik dan lain sebagainya. Bukan berarti bebas status hukumnya, tradisi-tradisi tersebut telah mendapat ‘polesan’ dari para ulama, sehingga pembiaran atas eksistensi tradisi itu mendapat justifikasinya, tentu saja dengan menggunakan perangkat otoritatif dalam islam seperti yang penulis sebut diatas.

Tidak hanya memoles tradisi sehingga menjadi ‘legal’status hukumnya, tidak jarang tradisi-tradisi non-islami itu oleh ulama nusantara kemduian digunakan sebagai wasilah dakwah; sebuah perantara untuk mengenalkan masyarakat kepada ajaran luhur islam, sebagaimana yang dilakukan sunan kalijaga ketika menjadikan pementasan wayang sebagai sarana islamisasi.

Sikap kolektif-persuasif ulama terhadap tradisi setempat seperti ini membuat Islam sebagai agama baru –dalam tradisi keberagamaan nusantara- mudah diterima, dan dapat menempati posisi kokoh dalam sanubari masyarakatnya. Inilah ciri khas (tradisi) islam yang ada di nusantara, agama yang diwarnai banyak tradisi, tentu saja tradisi yang telah dilegalkan status hukumnya, yang tidak bertentangan dengan hal-hal Ushul (pokok) dalam agama. Meminjam istilah yang dipakai Azyumardi Azra, Islam Nusantara itu adalah Islam yang berbunga-bunga, islam yang penuh dengan berbagai macam tradisi. Menurut penulis, justru lebih dari sekedar berbunga-bunga yang terbatas macamnya, tetapi lebih dari pada itu, islam di Indonesia adalah agama yang penuh dengan warna (tradisi), yang warnanya dapat dikombinasikan satu sama lain dengan sangat indah, oleh karenanya islam di Indonesia pantas disebut sebagai agama pelangi; agama yang penuh warna.

Ihwal semacam ini tentu berbeda dengan corak Islam yang terkesan penuh paksaan dari sekelompok ‘ektremis’ pengimpor tradisi badui dari padang pasir, corak islam yang cenderung ‘kaku’, sehingga mudah mem-purifikasi setiap tradisi –yang tidak memiliki dalil shorih-nya dalam Qur’an maupun Hadits- tanpa pandang bulu. Hal ini ber-implikasi terhadap kesan bahwa islam bukan sebagai agama normatif yang dipeluk secara suka rela dengan penuh tanggung jawab, tetapi tidak lebih seperti doktrin yang dipaksakan kepada serdadu perang sebagai sebuah aturan-aturan yang tidak boleh diterjang.

Khartoum, 7 Ramadhan 1436 H

Ahmad Lukman Fahmi, Aktifis PCINU Sudan