Opini

Ath-Thowaf: Harmonisasi Seni dan Agama

Sabtu, 12 Mei 2018 | 01:00 WIB

Oleh Deni Hermawan

Fenomena berpasang-pasangan yang merupakan dikotomi atau yang bersifat paradoks sungguh merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dalam keikusertaannya mengatur mekanisme alam semesta serta kehidupan manusia dan budayanya. Fenomena dikotomis ini termanifestasikan dalam berbagai hal meliputi berbagai macam aspek, seperti adanya siang-malam, terang-gelap, panas-dingin, baik-buruk, laki-laki-perempuan, pria-wanita, tua-muda, kiri-kanan, atas-bawah, barat-timur, utara-selatan, dan lain lain.

Fenomena dikotomis dimaksud tampaknya hadir pula dalam budaya (kesenian—musik) dan agama (Islam). Di satu sisi, agama Islam merupakan wahyu Allah yang pada dasarnya berisi petunjuk tentang bagaimana agar hidup selamat di dunia dan di akhirat nanti, terkait dengan berbagai perangkat, di antaranya kaum ulama yang berperan sebagai penyampai dakwah kepada masyarakat. Isi dakwah ini berkaitan dengan nilai-nilai spiritual keagamaan Islam seperti: keimanan, etika, moral, norma, hukum, kebaikan, dll. Di sisi lain, kesenian (musik) sebagai salah satu bentuk ekspresi dari budaya manusia terkait dengan pelaku seni atau seniman yang pada umumnya terkesan jauh dari perilaku islami, bahkan sebaliknya lebih berdekatan dengan hal-hal yang dilarang oleh agama. Seni (musik) terkesan berdekatan dengan aurat, perempuan, minuman keras, dan lain-lain.

Berangkaian dengan fenomena dikotomis antara agama dan seni (musik), Lorraine Sakata menyatakan bahwa menurut pandangan Islam di Timur Tengah, musik dan musisi merupakan dua hal yang paradoks dalam kehidupan masyarakat Islam. Kenyataan ini ditunjukkan oleh ketidaksesuaian antara pandangan/sikap negatif Islam terhadap musik dan praktik musik sebagai bagian yang hampir tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Sifat paradoks ini bersumber dari beberapa keterangan berkaitan dengan musik yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis, yang sebenarnya tidak memberikan gambaran yang jelas apakah musik itu dilarang atau diperbolehkan. 

Keterangan-keterangan dalam Al-Qur’an yang seolah-olah melarang musik di antaranya: Surah Asy-Syuara: 224–226, “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat; Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah; dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?.” 

Kemudian Surah Luqman: 6 menyatakan: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” 

Sikap demikian ini ditemukan juga dalam hadis, antara lain: Hadis Riwayat Bukhari, no. 5590 yang menyatakan “Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” Kemudian Hadis Riwayat Hakim 4/40, Baihaqi 4/69 yang menyatakan “Aku tidak melarang kalian menangis, namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.” 

Akan tetapi hadis lainnya justru tidak menunjukkan sikap negatif terhadap musik. Misalnya, dalam suatu hadis diterangkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad melihat beberapa orang wanita memainkan tamburin (alat tepuk bermuka satu). Fatimah, putrinya yang berusia 9 tahun naik ke pundak beliau dan menyaksikannya, dan Muhammad tidak berkata apa-apa. Pada kesempatan lain, Muhammad juga memerintahkan: “Rayakan pernikahan, dan pukullah ghirba (semacam tamburin berbentuk bulat.” Kemudian, pernikahannya dengan Khadijah dirayakan dengan musik, demikian pula perayaan pernikahan putrinya, Fatimah.

Uraian di atas, sekali lagi, membuktikan bahwa, baik Al-Qur’an maupun hadis, tidak secara jelas mengharamkan musik. Kenyataannya, hingga sekarang ini musik tidak pernah terlepas dari aktivitas kehidupan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Ritual Islam juga sering melibatkan aktivitas musikal seperti azan dan melagukan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Secara konseptual menurut pandangan masyarakat Islam Timur Tengah, azan dan melagukan ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah musik (tidak dianggap musik), tetapi dilihat dari unsur-unsur musik yang terlibat di dalamnya seperti nada, melodi, dan ritme, kedua hal tersebut secara musikal dianggap musik. 

Musik dan bahkan tarian ditemukan pula dalam acara-acara ritual kaum Sufi. Mereka menggunakan musik dan tarian untuk mencapai ekstasi (tingkatan kekhususan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah). Dalam zikir, misalnya, mereka menggunakan kata-kata atau suku kata tertentu untuk dinyanyikan agar senantiasa ingat akan kebesaran Tuhan.  

Bagaimanapun, musik telah lama tumbuh di kalangan masyarakat Timur Tengah sejak sebelum mereka menganut agama Islam. Kemudian setelah mereka menganut agama Islam, musiknya pun berkembang menjadi musik yang penuh dengan nuansa keislaman.

Permasalahan tentang adanya kesan dikotomi antara agama dan kebudayaan di Indonesia—khususnya di Jawa Barat, yakni dikotomi antara kaum agamawan dan budayawan/seniman, menjadi bahan pemikiran seniman/komposer Yus Wiradiredja. 

Hal ini kemudian menjadi landasan kreativitasnya di bidang musik yang diharapkan akan mampu memberikan kontribusi dalam upaya pemecahan masalah dimaksud. Dengan kreativitas musik etnik Sunda islaminya, Yus Wiradiredja mencoba untuk mendekatkan dua hal yang terkesan dokotomis ini menjadi dua hal yang berdampingan secara harmonis karena manusia pada hakikatnya merupakan insan kultural yang sekaligus juga merupakan insan  religius. 

Manusia dilahirkan dengan terlebih dahulu menyandang statusnya sebagai makhluk kultural daripada sebagai makhluk religius. Alam lingkungan serta budaya itulah yang kemudian mengarahkan manusia untuk berpikir dan mencari kekuatan yang dipercayai telah mampu menghidupkan dan menghidupi mereka di muka bumi ini. Dengan demikian, sangatlah logis apabila dua hal tersebut di atas (agama dan budaya) selaiknya hidup berdampingan, seiring-sejalan, dalam satu kesatuan hubungan yang harmonis.

Dengan menikmati rangkaian lagu-lagu Ath-Thawaf, sebagai hasil kreativitas seni yang sarat dengan nilai-nilai keislaman, diharapkan selain masyarakat merasa terhibur, juga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan tentang ajaran-ajaran agama Islam secara alamiah, tanpa merasa terpaksa.     


Penulis adalah Dekan Fakultas Budaya dan Media ISBI Bandung. Bisa dihubungi melalui denihermawan59@gmail.com