Opini

Bencana Sumatera: Negara Fasilitasi Perusakan Hutan?

NU Online  ·  Rabu, 3 Desember 2025 | 14:10 WIB

Bencana Sumatera: Negara Fasilitasi Perusakan Hutan?

Kejahatan kehutanan berupa pencucian kayu ilegal (Foto: .kehutanan.go.id/)

Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 kembali menggugah kesadaran publik bahwa Sumatera tengah berada dalam kondisi darurat ekologis. Arus air deras yang membawa lumpur, batu, dan kayu gelondongan merusak rumah, jembatan, sawah, serta berbagai fasilitas publik. Jutaan warga mengungsi, ratusan jiwa terenggut, dan kerusakan lingkungan meninggalkan luka panjang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Selasa (02/12/2025) hingga pukul 10.01 WIB melaporkan 631korban meninggal dunia dan 1 juta jiwa warga mengungsi atas bencana hidrometeorologi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: mengapa skala kerusakan terus meningkat dari tahun ke tahun?


Jawabannya tidak bisa sekadar dipasrahkan pada cuaca ekstrem. Banjir dan longsor adalah puncak dari kerusakan ekologis struktural yang telah berlangsung lama—deforestasi masif, degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), pembukaan konsesi tanpa kendali, lemahnya pengawasan, hingga penyalahgunaan skema perizinan. Hulu yang seharusnya menjadi benteng alam bagi masyarakat hilir kini kehilangan daya topangnya. Sungai-sungai menjadi lebih rentan, lereng mudah runtuh, dan tutupan hutan terus menyusut di bawah tekanan eksploitasi. Di titik inilah pertanyaan menemukan relevansinya: adakah kebijakan negara yang secara langsung maupun tidak langsung memfasilitasi kerusakan ini?


Deregulasi yang Membuka Pintu Bencana
Lompatan kebijakan terjadi sejak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 2020. Undang-undang ini mengubah secara fundamental tata kelola hutan dan lingkungan. Perizinan yang dulunya berlapis—melalui izin lingkungan, AMDAL, dan uji kesesuaian ekologis—dilebur menjadi perizinan berbasis risiko. Banyak kegiatan berisiko tinggi terhadap hutan dikategorikan sebagai risiko menengah atau rendah. Akibatnya, pengawasan melemah sejak di hulu: perusahaan tidak lagi diwajibkan menjalani prosedur ekologis ketat sebelum menggarap kawasan hutan.


Revisi berbagai aturan kehutanan juga memperluas ruang konsesi melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Skema ini mempercepat ekspansi izin HPH, HTI, dan izin-izin di hutan alam, termasuk di bentang hulu DAS yang sudah kritis. Proses evaluasi daya dukung menjadi proses administratif semata, bukan pertimbangan ekologis substantif.


Selain itu, kebijakan pemutihan sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui PP 24/2021 memperlihatkan bagaimana negara memilih mengakomodasi pelanggaran masif ketimbang menertibkan. Jutaan hektare sawit ilegal diberi jalan untuk dilegalkan melalui mekanisme “penyesuaian perizinan”, tanpa kewajiban pemulihan ekologi yang setara dengan kerusakan yang ditimbulkan. Di Sumatera—khususnya Sumut, Riau, dan Sumbar—pemutihan sawit memperkuat dominasi perkebunan besar dalam kawasan yang seharusnya tetap berfungsi sebagai penyangga ekologis.


Lebih jauh, berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti PLTA, PLTP, jalan akses, hingga tambang mineral kritis diberikan sejumlah dispensasi. Banyak PSN mendapatkan kemudahan izin meski berdiri di kawasan hutan lindung atau hutan primer. Dalam banyak kasus, proyek-proyek ini mendapat prioritas percepatan tanpa penapisan ekologis yang memadai. PLTA Batang Toru, PLTA Sipansihaporas, dan tambang emas Martabe merupakan contoh bagaimana PSN mendorong pembukaan ratusan hektare hutan bernilai konservasi tinggi.


Sementara itu, digitalisasi sistem perizinan seperti Sitem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUH) tidak diimbangi peningkatan pengawasan lapangan. Dengan jumlah polisi hutan yang sangat terbatas untuk mengawasi jutaan hektare kawasan, instrumen digital tidak cukup menghentikan pembalakan liar yang memanfaatkan celah legal dan teknologi dokumen. Kombinasi deregulasi dan pengawasan minim inilah yang memperlebar celah kriminal kehutanan. Semua perubahan kebijakan ini menciptakan pola yang sama: negara secara struktural membuka ruang eksploitasi hutan lebih cepat daripada upaya perlindungannya.


Ketika Negara Membiarkan Hulu yang Sekarat
Tumpukan kayu gelondongan pasca banjir—banyak dengan bekas potongan mesin—menjadi penanda paling jelas bahwa ada masalah besar di hulu. Publik wajar bertanya: apakah ini sekadar pohon tumbang alami, atau bukti pembalakan liar yang selama ini diabaikan? Kemenhut menyatakan kayu-kayu itu “bisa berasal dari berbagai sumber,” dari penebangan legal hingga penyalahgunaan izin, dan membuka penyelidikan dugaan keterlibatan jaringan illegal logging.


Yang lebih memprihatinkan, sejumlah kepala daerah mengungkapkan bahwa Kemenhut justru membuka kembali izin penebangan hutan pada Oktober 2025, di tengah kondisi ekologis Sumatera yang semakin rapuh. Memberi izin baru di kawasan hutan alam dan DAS kritis berarti memperbesar risiko bencana bagi masyarakat hilir. Ketika keputusan politik lebih mempertimbangkan ekspansi industri daripada keselamatan ekologis, banjir bandang menjadi konsekuensi yang dapat diprediksi.


Data memperkuat kekhawatiran itu. Global Forest Watch mencatat tiga provinsi terdampak mengalami kehilangan lebih dari 300 ribu hektare hutan primer pada 2022–2024; Sumatera Utara bahkan mencapai sekitar 390 ribu hektare. Kerusakan ini diperparah dengan ledakan izin industri ekstraktif: 1.907 izin tambang minerba aktif seluas 2,45 juta hektare, ditambah 271 izin PPKH yang menggerus fungsi lindung sebagaimana yang di laporkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Di banyak hulu DAS, proyek PLTA, PLTP, tambang emas, HTI, dan perkebunan besar terus membuka hutan—seperti PLTA Batang Toru, Sipansihaporas, dan tambang emas Martabe yang bersama-sama membuka ratusan hektare kawasan inti.


Kombinasi tekanan tambang, PLTA, sawit, PBPH, dan pembalakan liar menjadikan bentang pegunungan Sumatera terfragmentasi dan rapuh. Ketika hujan ekstrem turun beberapa hari berturut-turut, puluhan DAS tak lagi mampu menahan limpasan air, desa-desa tersapu lumpur dan kayu besar, fasilitas umum rusak, dan 13 kabupaten/kota di Sumatera Barat terpaksa menetapkan status darurat. Semua ini menunjukkan bahwa hutan meredup bukan hanya karena ulah pelaku ilegal, tetapi juga karena kebijakan negara yang terus memberi ruang bagi eksploitasi.


PHAT: Celah Legal yang Berubah Menjadi Mesin Cuci Kayu Ilegal
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari kerusakan hutan di Sumatera adalah pembalakan liar dengan penyalahgunaan skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT). Skema yang seharusnya mendukung usaha kayu rakyat justru telah berubah menjadi mesin cuci kayu ilegal. Temuan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumatera Utara sepanjang 2024–2025 mengungkap pola pelanggaran terstruktur di kawasan Batang Toru — kawasan hutan bernilai konservasi tinggi.


JPIK Sumatera Utara menemukan setidaknya 13 PHAT aktif di Batang Toru, dan hampir seluruhnya diduga melakukan pelanggaran serius: penebangan di luar areal izin, pemalsuan dokumen angkutan, serta pencampuran kayu hutan alam sebagai kayu legal. Kayu hasil pembalakan liar disamarkan melalui dokumen PHAT, memperoleh legitimasi administratif, dan masuk ke pasar sebagai kayu legal.


Lebih mencengangkan, meskipun akses SIPUHH untuk beberapa PHAT diblokir pada Juli 2025, pemantauan JPIK menunjukkan sebagian tetap beroperasi melalui jalur informal. Ini membuktikan bahwa penutupan akses digital tidak cukup tanpa pengawasan lapangan yang kuat. Temuan JPIK sejalan dengan operasi nasional Kemenhut sepanjang 2025 yang mengungkap modus serupa di Aceh, Sumatera Barat, hingga Kepulauan Mentawai. (Kemenhut: Moratorium PHAT dan Pencegahan Pencucian Kayu Ilegal, 29 November 2025)
 

Di Aceh dan Sumatera Barat, kayu dari Areal Penggunaan Lain (APL) atau hutan alam ditebang lalu “dicuci” melalui dokumen PHAT agar tampak legal. Celah ini menunjukkan bahwa PHAT bukan lagi instrumen pemberdayaan kayu rakyat, tetapi menjadi saluran legalisasi kayu ilegal yang melemahkan fungsi ekologis hutan dan memperbesar risiko bencana ekologis di kawasan hulu. Selama celah PHAT ini tidak ditutup, maka peredaran kayu ilegal akan terus berlangsung di balik legitimasi dokumen resmi, dan kerusakan hutan tidak akan pernah berhenti.


Negara Tidak Boleh Netral di Tengah Kerusakan
Dalam isu ekologis, netralitas negara bukan kebijakan — melainkan bentuk pembiaran. Negara tidak bisa berdiri di tengah ketika eksploitasi hutan terus merusak bentang alam dan mengancam keselamatan jutaan warga. Ketika izin baru diterbitkan tanpa pertimbangan daya dukung, ketika pengawasan tidak memadai, dan ketika mafia kayu memanfaatkan celah legalitas, maka negara bukan hanya abai, tetapi ikut menyuburkan kerusakan.


Krisis ekologis adalah krisis tata kelola dan sekaligus krisis moral. Negara memikul amanah untuk menjaga ciptaan Tuhan, melindungi keselamatan publik, serta memastikan keberlanjutan hidup generasi mendatang. Mengabaikan kerentanan ekologis berarti melemahkan amanah itu.


Menutup Celah, Memulihkan Hutan
Untuk menghentikan siklus kerusakan dan mencegah bencana berulang, negara harus mengambil langkah strategis yang menyentuh akar persoalan. Ada lima langkah mendesak yang perlu segera diambil:


Pertama : Moratorium total penebangan dan perizinan baru. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan harus berani melakukan moratorium penebangan total di semua provinsi yang hutannya mengalami kritis dan tutupannya kurang dari 30% luas daratan. Negara harus menghentikan sementara seluruh penerbitan izin baru — baik hutan tanaman, hutan alam, perkebunan, atau skema apa pun — terutama di kawasan hulu DAS dan hutan alam tersisa. Moratorium harus diikuti evaluasi daya dukung ekologis dan pemetaan ulang kawasan kritis. Tanpa rem kebijakan ini, tekanan terhadap hulu tidak akan berkurang.


Kedua : Audit menyeluruh terhadap izin yang ada. Semua izin konsesi (hutan, perkebunan dan tambanga) harus diaudit secara komprehensif: mulai dari dokumen, volume produksi, titik tebang, sebaran areal, hingga jalur distribusi kayu. Izin bermasalah harus dibekukan atau dicabut. Audit juga harus menindaklanjuti temuan pemantau independent dari Masyarakat Sipil dan penegak hukum terkait modus pencucian kayu melalui berbagai skema.


Ketiga : Transparansi penuh atas peta konsesi dan distribusi kayu. Negara harus membuka data perizinan hutan, peta konsesi, tutupan lahan, dan data pergerakan kayu secara publik. Transparansi mencegah manipulasi dan menciptakan pengawasan kolektif oleh masyarakat, akademisi, dan CSO.


Keempat : Pengawasan lapangan dan penegakan hukum yang tegas. Digitalisasi seperti SIPUHH tidak akan efektif jika pengawasan lapangan lemah. Negara harus memperkuat patroli hutan, memperbanyak personel polisi hutan, dan menindak pelaku utama — mulai dari korporasi, pemodal, hingga oknum pejabat — bukan hanya operator lapangan.


Kelima : Rehabilitasi ekosistem dan pemulihan hulu secara partisipatif. Rehabilitasi harus dilakukan secara terukur dan menyeluruh, meliputi pemulihan DAS, restorasi hutan alam, perlindungan lereng rawan, dan perbaikan tata air. Pemulihan harus melibatkan masyarakat adat/lokal, pesantren, organisasi sipil dan akademisi agar berbasis sosial, ekologis, dan moral.


Bencana yang Bisa Dihindari
Banjir dan longsor di Sumatera bukan semata ujian alam, tetapi alarm keras bahwa deregulasi lima tahun terakhir telah memperbesar risiko ekologis. Selama hutan meredup dan bentang hulu terus dilemahkan, bencana akan terus menyala. Dan selama arah kebijakan negara tidak berubah, kerusakan bukan lagi ancaman—melainkan kepastian.


Kini negara harus memilih: berpihak pada rakyat dan kelestarian hutan, atau terus menjadi fasilitator kerusakan yang mengulang luka yang sama. 


Muhammad Ichwan, Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) periode 2024-2027 dan Dewan Daerah WALHI Jawa Timur 2025-2029.
 

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang