Konflik di PBNU: Organisasi Besar, Ujian Besar
NU Online · Jumat, 28 November 2025 | 16:27 WIB
Abi S Nugroho
Kolomnis
Konflik elite di tubuh Nahdlatul Ulama kerap muncul bagai gelombang. Kadang pecah keras di permukaan, kadang beriak di bawah. Tetapi siapa pun yang cukup lama bergulat dengan tradisi NU akan tahu satu hal sederhana, bahwa konflik dalam tradisi NU jarang lahir dari ambisi yang bersifat tunggal semata, melainkan berbasis nilai. Dengan begitu, konflik sering jadi bagian dari cara para kiai mendidik santrinya, meskipun bentuk dan cara “mendidik” tidak selalu mudah dicerna generasi yang lebih muda.
Hari-hari ini, sebagian kalangan memandang dinamika antara Tanfidziyah dan Syuriyah sebagai konflik struktural. Ada yang melihat sebagai perbedaan orientasi dan tata kelola. Ada yang menilainya sebagai gesekan kepemimpinan dan kepentingan politik. Bahkan ada pula yang menudingnya sebagai perebutan kendali atas sumber daya organisasi untuk pengelolaan tambang. Namun, dari perspektif Syuriyah, khususnya para kiai, benturan bukan terutama tentang kekuasaan. Para sepuh melihat sebagai kewajiban moral menegur, mengoreksi, dan menata ulang arah jam’iyyah agar kembali pada nilai-nilai organisasi.
Dalam tradisi pesantren, teguran kiai tidak pernah lahir dari kebencian. Ia muncul dari kasih sayang untuk mendidik. Relasi kiai dan santri diterjemahkan dalam norma organisasi. Teguran bisa mengirim pesan, “kalau melenceng, kembali ke jalan yang benar.”
NU dan Tradisi Konflik
Sejak awal, NU tidak pernah steril dari konflik. Pembentukan Komite Hijaz oleh para kiai berkenaan dengan rencana pembongkaran makam Rasulullah SAW. Muktamar 1940-an pembentukan Masyumi dari MIAI. Perdebatan keras soal partai pada 1950-an. Kembalinya ke Khittah 1984. Konflik pasca-reformasi, hingga dinamika organisasi hari ini, semua menunjukkan pola yang sama, yakni para kiai mendidik jam’iyyahnya melalui ujian-ujian keras.
Kalangan santri senior sering mengingat ungkapan para masyayikh, “Al-mu’assasatul kubra la tutuwwasu illa bil-ibtibar,” bahwa lembaga besar hanya tumbuh melalui cobaan-cobaan besar.
Setiap fase konflik NU selalu melahirkan peneguhan identitas baru. Ketika NU harus memilih antara menjadi partai atau ormas keagamaan. Ketika NU menghadapi represi rezim Orde Baru. Ketika NU ditarik-tarik kepentingan politik nasional, atau ketika NU menghadapi tuntutan profesionalisme mutakhir di mana para kiai memutuskan arah melalui isyarat-isyarat bersifat simbolik.
Konflik tidak membuat NU retak. konflik bikin NU lebih matang.
Baca Juga
Konflik Elite NU dan Pergeseran Otoritas
Syuriyah yang “Menjewer”
Banyak orang melihat Syuriyah hanya struktur spiritual-ideologis-normatif. Padahal dalam banyak momentum sejarah, Syuriyah mengambil peran sebagai penggembleng organisasi. Para kiai sepuh selalu, bahkan mungkin sebagian besar menganggap NU bukan sebatas organisasi atau jam’iyyah, melainkan jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yang berarti rumah besar yang harus dijaga kehormatannya.
Ketika mereka merasa arah organisasi mulai bergeser, ketika mereka memandang sebagian kebijakan Tanfidziyah terlalu jauh melangkah, atau ketika muncul tanda-tanda stuck “kelelahan moral”, mereka berbicara. Dan cara bicara kiai tidak selalu linier. Bisa berupa keputusan resmi. Kadang berupa pesan dalam bentuk isyarat tertentu. Kadang teguran yang terasa seperti cambukan cemeti. Kadang berupa penarikan mandat. Kerap pula berupa diam yang panjang bahkan datang melalui mimpi yang justru bisa lebih menakutkan.
Kita hidup di zaman kecepatan digital dan ingin semuanya jelas dan rapi. Tapi kiai hidup dengan bahasa tarbiyah. Para kiai tidak ingin merusak martabat orang, tetapi menanamkan pesan moral yang harus menghunjam, jadikan NU rumah yang amanah, bukan panggung kepentingan.
Salah satu qaul yang sering dipakai para kiai menjelaskan ini adalah, “At-tadbiru qablal ‘amal,” bahwa mengatur dengan benar itu lebih penting daripada sekadar bekerja.
Barangkali, bagi para kiai, ketika Tanfidziyah berlari terlalu kencang, Syuriyah berhak memanggil, “Pelan dulu, anakku. Pastikan pijakanmu kuat.”
Nah, bagi Tanfidziyah, NU bergerak harus cepat dengan diplomasi internasional, penguatan lembaga pendidikan, isu toleransi global, diaspora, hingga program digitalisasi bahkan membangun hubungan perdamaian antara Palestina dan Zionisme Israel. Semuanya adalah kerja-kerja besar dan diperlukan.
Tetapi sebuah gerakan selalu membawa risiko. Tidak semua dinamika perubahan global bisa dicerna dengan logika sederhana.
Dalam beberapa kasus, sebagian langkah dianggap terlalu berani atau tidak cukup dikonsultasikan. Kiai, yang terbiasa melihat dunia melalui kacamata kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah), sering membaca konsekuensi jauh ke depan. Lebih jauh dari yang dibayangkan para teknokrat.
Contoh historisnya jelas, pada dekade 1980-an, beberapa langkah Tanfidziyah dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan Orde Baru. Syuriyah turun tangan. Mereka memperingatkan agar NU tidak kehilangan akar sosial dan jiwa yang berkhidmah pada masyarakat. Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984 menyatakan, NU bukan lagi sebagai partai politik atau bagian dari partai politik, melainkan kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan.
Perjalanan panjang itu akhirnya membawa NU pada reposisi besar yang mengembalikan NU ke jalan organisasi independen. Muktamar NU ke 28 pada 1989 di Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak, Yogyakarta dengan tegas Rais Aam, KH Achmad Shiddiq mengatakan, “NU bukan taksi yang dapat dibawa ke mana saja oleh penyewanya. NU bukan koper yang dapat diisi dengan apa saja oleh pembawanya. Orang-orang yang mengurus dan memimpin NU, boleh saja berganti-ganti setiap muktamar. Tetapi kebijaksanaan lah yang mengemudikannya. Pemimpinnya dapat berubah dan disempurnakan. Tetapi trayek, sekali lagi, trayek tidak bisa berubah!”
Peran Rais Aam saat itu bukan meruntuhkan Tanfidziyah. Perannya meluruskan haluan. Dengan demikian, konflik bukan selalu dilihat sebagai pertikaian melainkan cara menanamkan nilai.
Dalam diskursus fiqih sosial di pesantren, ada satu kaidah yang sangat populer dan sering digunakan memahami ketegangan karena perbedaan, bahwa “Ikhtilaful-ummah raḥmah,” perbedaan di tengah umat adalah rahmat. Rahmat bukan berarti konflik itu indah. Rahmat bisa dimaknai sebagai cara Allah membuka pintu kebaikan melalui perbedaan.
Lalu apa yang dihasilkan? Konflik di tubuh NU kerap menghasilkan pembaruan tata nilai organisasi. Transformasi tata kelola, dengan peningkatan ghirah profesionalisme. Pengetatan etika sosial dan ideologi. Kehati-hatian dalam hubungan internasional sembari menegaskan kembali identitas ke-NU-an, bahwa sebagai Nahdliyyin harus membawa rahmah bagi semua. Konflik apabila dikelola bisa menjadi cermin yang memaksa jam’iyyah menata diri.
Lalu mengapa konflik terasa mengeras?
Hemat saya, secara garis besar ada tiga faktor. Pertama, NU berada di panggung global. Dan panggung global itu dinamis dan tidak melulu baik-baik saja. Maka adanya perubahan satu negara dan masyarakatnya akan menjadi perhatian, termasuk pergerakan NU akan dibaca oleh dunia. Para kiai ingin memastikan bahwa nama NU tidak terjerumus dalam jebakan geopolitik.
Kedua, generasi muda NU semakin vokal dan terdidik. Gen Z adalah digital native dengan pikiran terbuka. Mereka ingin transparansi, akuntabilitas, dan kecepatan. Barangkali karena itu para kiai ingin memastikan bahwa kecepatan tidak mengorbankan hikmah. Transparansi dan akuntabilitas benar-benar menjamin legitimasi dan berdampak bagi jamaah, bukan menguntungkan kelompok tertentu.
Baca Juga
Jembatan Budaya itu Bernama Gus Dur
Ketiga, otoritas kiai dan dinamika organisasi kadang tidak melulu sejalan. Kiai bekerja dengan intuisi spiritual, standar moral tinggi, norma yang ditaati dan prinsip-prinsip pengawasan dan kontrol sementara Tanfidziyah bekerja dengan standar moral, kesanggupan, dan cara tertentu. Keduanya boleh jadi benar, tetapi perlu jembatan.
Apa pelajaran terpenting?
Konflik ini mengingatkan kita bahwa NU dibangun dengan dua kaki yang sama-sama penting. Syuriyah menjaga ruh, arah, garis kebijakan utama dan keadaban. Tanfidziyah menjalankan roda operasional, program, dan pencapaian. Jika salah satu mendominasi, jam’iyyah pincang.
Kita selalu diingatkan bahwa jangan berprasangka buruk kepada siapapun apalagi dengan kiai. Kiai tidak sedang menghukum. Mereka sedang memetakan dan memitigasi masa depan. Dan dalam hal ini Tanfidziyah juga tidak sedang melawan melainkan menjalankan amanah roda pelaksanaan.
Di titik ini, kita menyadari satu hal, NU tidak bisa diselamatkan hanya dengan mengandalkan struktur formal atau jabatan tapi oleh nilai-nilai yang dipegang teguh. Dengan begitu, organisasi mendapatkan fondasi legitimasi yang kuat.
Organisasi Besar, Ujian Besar
Terus terang saya mengalami kesulitan dengan cara apa mengakhiri tulisan. Barangkali, bagi Syuriyah, konflik yang terjadi adalah panggilan kembali demi menata niat, memperbaiki cara kerja, dan memperkuat hubungan antara guru dan murid dalam jam’iyyah.
Barangkali kita lihat ini kegaduhan, tetapi para kiai melihat ini bagian dari pendidikan. Sebagian dari kita membaca ini krisis, tetapi boleh jadi para kiai berpandangan sebagai tazkiyah an-nafs dalam organisasi.
Dalam khazanah pesantren, ada kalimat yang ditanamkan, “Man lam yu’addibhu al-walidani, yu’addibhu az-zaman,” siapa yang tidak dididik orang tuanya, maka zaman akan mendidiknya.
Mungkin saatnya NU kembali dididik para kiai sebagai orangtua kita sendiri agar organisasi tidak hanya besar secara jumlah, tetapi juga kuat lahir batin.
Dan dalam sejarahnya, NU selalu punya cara mengatasi persoalan. Keluar dari hempasan badai dan gelombang di mana hanya para kiai dan Tuhan saja yang tahu.
Abi S Nugroho, Lakpesdam PBNU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua