Muhammad Ichwan
Kolomnis
Di tengah musim yang tak lagi bisa ditebak, udara yang makin sesak, dan sungai-sungai yang perlahan berubah warna, kita seolah sedang menyaksikan wajah muram bumi yang kehilangan kesegarannya. Asap kebakaran hutan setiap tahun menyelimuti Kalimantan dan Sumatera, menutup matahari, memaksa anak-anak bernafas lewat masker, dan mengaburkan batas antara kabut dan asap. Sungai-sungai di Jawa berubah menjadi saluran limbah, sementara hutan hingga gunung di tanah Papua mulai gundul oleh alat berat yang lapar. Kita hidup di zaman ketika krisis lingkungan tidak lagi sekadar berita, tetapi kenyataan sehari-hari yang menyesakkan.
Namun di balik semua ini, pertanyaan mendasar yang jarang kita ajukan adalah: apa yang sebenarnya rusak lebih dulu—alam atau jiwa manusia? Seyyed Hossein Nasr, seorang pemikir besar Islam kontemporer, pernah menulis bahwa krisis ekologi modern bukan semata-mata krisis lingkungan, melainkan krisis spiritual manusia yang terputus dari sumber ilahinya. Dalam bukunya The Spiritual Crisis of Modern Man- yang dalam terjemahan Indonesia dikenal sebagai Tuhan, Manuasia, dan Alam, ia menegaskan bahwa manusia modern telah kehilangan kemampuan untuk melihat alam sebagai cerminan Tuhan. Dunia dipandang sebagai benda mati yang bisa ditakar, dieksploitasi, dan diperjualbelikan. Dalam pandangan ini, bumi tak lagi sakral; ia hanya objek ekonomi yang diperas hingga tandas.
Alam sebagai Ayat Tuhan
Dalam pandangan Islam, alam adalah ayat-ayat Tuhan yang terbentang. Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk memperhatikan langit, gunung, hujan, angin, dan laut—bukan sekadar untuk dikagumi, melainkan untuk direnungi sebagai tanda kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak mengerti tasbih mereka” (QS. Al-Isra: 44). Ayat ini menunjukkan bahwa alam bukanlah benda mati; ia hidup dalam kesadaran ketuhanan. Setiap batu, pohon, dan hewan menjalankan zikirnya masing-masing, menjadi bagian dari simfoni kosmik yang memuliakan Sang Pencipta.
Sayangnya, manusia modern, termasuk kita di Indonesia, sering memandang alam dengan mata ekonomi, bukan mata iman. Kita menilai hutan dari nilai kayunya, sungai dari potensi energinya, dan tanah dari harga jualnya per meter. Dalam cara pandang ini, alam kehilangan martabatnya sebagai ciptaan Ilahi dan direduksi menjadi komoditas yang bisa dieksploitasi. Nasr menyebut hal ini sebagai “desakralisasi alam” — proses panjang di mana manusia menggusur Tuhan dari kesadaran ekologisnya. Ketika Tuhan dihapus dari pandangan tentang dunia, maka yang tersisa hanyalah benda-benda tanpa makna.
Krisis Ekologis Indonesia: Cermin Krisis Spiritual
Indonesia hari ini sedang berada dalam pusaran krisis ekologis yang serius. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2024) menunjukkan bahwa deforestasi netto mencapai sekitar 175.400 hektare, meningkat dari tahun sebelumnya. Sementara laporan Global Forest Watch (GFW, 2025) mencatat kehilangan tutupan pohon hingga 259.000 hektare pada tahun yang sama — dengan titik kehilangan terbesar di Kalimantan dan Papua.
Kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta dan Samarinda terus memburuk; indeks polusi PM2.5 bahkan melampaui ambang batas aman WHO (IQAir, 2025). Di sisi lain, lautan kita dicekik oleh jutaan ton sampah plastik yang mengalir dari daratan setiap tahun — Indonesia kini menjadi penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia (World Bank, Marine Plastic Debris Report, 2023).
Padahal, negeri ini dikenal religius. Masjid dan gereja berdiri di setiap sudut kota, pesantren tumbuh di setiap kabupaten, dan doa berkumandang lima kali sehari. Namun, kesalehan ekologis seakan belum menjadi bagian dari kesadaran iman kita. Di sinilah ironi yang disorot Nasr: manusia bisa beriman kepada Tuhan secara ritual, tapi melupakan-Nya secara ekologis. Kita menyebut nama Allah di bibir, tetapi menafikan ciptaan-Nya di tangan.
Kita mungkin rajin shalat, tetapi membiarkan hutan dibakar demi membuka kebun sawit. Kita berdoa memohon hujan, tapi membuang sampah ke sungai yang menjadi jalannya air. Kita membangun masjid megah, tapi membiarkan pohon-pohon di sekitarnya ditebang demi perluasan parkir. Inilah krisis spiritual itu: ketika agama berhenti pada ritus, dan gagal menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap bumi sebagai amanah Ilahi.
Khalifah yang Lupa Amanah
Dalam Islam, manusia diangkat sebagai khalifah fil ardh, wakil Tuhan di muka bumi. Namun peran khalifah bukanlah kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan (mizan) ciptaan. Khalifah sejati memahami bahwa bumi bukan milik manusia, melainkan titipan dari generasi mendatang.
Sayangnya, manusia modern—termasuk umat beragama—terjebak dalam logika penguasaan, bukan pemeliharaan. Pembangunan dipahami sebagai eksploitasi tanpa batas, seolah alam adalah tambang tanpa akhir.
Nasr menulis bahwa manusia modern telah memindahkan pusat orientasinya dari Tuhan ke dirinya sendiri. Inilah antroposentrisme ekstrem, di mana manusia menempatkan dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Akibatnya, alam dipandang sebagai alat pemuas nafsu produksi, bukan ruang spiritual yang mengandung makna Ilahi.
Padahal, dalam pandangan Islam, hubungan manusia dengan alam bukan hubungan tuan dan budak, melainkan hubungan kasih dan keseimbangan. Alam adalah saudara tua manusia dalam ciptaan; keduanya sama-sama makhluk Allah yang tunduk pada hukum-Nya. (Lihat: Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, 1968)
Ilmu yang Kehilangan Ruh
Salah satu kritik tajam Nasr terhadap modernitas adalah hilangnya “ruh” dalam ilmu pengetahuan. Sains modern, katanya, mengetahui bagaimana sesuatu bekerja, tetapi tidak lagi tahu mengapa sesuatu ada. Dalam ilmu yang sekuler, alam direduksi menjadi sistem mekanis tanpa makna.
Nasr menyerukan kebangkitan kembali “ilmu yang sakral” (sacred science) — ilmu yang menghubungkan rasio dengan wahyu, logika dengan spiritualitas, dan teknologi dengan etika. (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981)
Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sangat relevan. Kita memerlukan ilmu yang bukan hanya menghitung potensi tambang, tetapi juga bijak menakar dampak ekologinya. Ilmu yang bukan hanya mengejar efisiensi ekonomi, tapi juga menimbang keadilan ekologis. Sebab sejatinya, ilmu tanpa nilai hanyalah pisau tajam di tangan orang lapar.
Ekologi Spiritual: Jalan Pulang ke Tuhan
Seyyed Hossein Nasr menawarkan jalan pulang: ekologi spiritual. Ia bukan sekadar teori, melainkan cara hidup yang menempatkan Tuhan di pusat relasi manusia dengan alam. Dalam ekologi spiritual, mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Tuhan; merusaknya berarti mengkhianati amanah-Nya.
Konsep ini sejalan dengan nilai-nilai Islam Nusantara yang tumbuh dari tradisi harmoni. Kiai dan ulama pesantren dulu mengajarkan pentingnya menanam pohon setelah panen, menjaga sumber air, serta hidup hemat dan bersih. Itu semua bagian dari akhlaqul karimah terhadap alam.
Beberapa pesantren di Indonesia kini mulai menghidupkan kembali tradisi ini. Misalnya Pesantren Ath-Thaariq di Garut yang membangun sistem pertanian ekologis berbasis tauhid. Atau Pesantren Al Misykat Al Anwar di Bogor menjadikan pengelolaan sampah, pengurangan plastik sekali pakai, dan berkebun sebagai bagian dari rutinitas santri. Dua kali seminggu mereka menanam umbi, sayur, dan jagung yang hasilnya diolah sendiri sebagai menu harian. Di pesantren ini, kebun dan dapur menyatu sebagai ruang belajar kemandirian dan kepedulian lingkungan. Semua itu menjadi contoh bahwa spiritualitas Islam tidak berhenti di mihrab, tapi menembus ladang, sungai, dan hutan.
Gerakan masjid hijau, ecopesantren, dan sedekah pohon perlu diperkuat—bukan sekadar program sosial, tapi ekspresi iman. Menjaga bumi adalah ibadah yang panjang napasnya, ibadah yang hasilnya mungkin baru dirasakan anak cucu kita nanti.
Indonesia dan Amanah Ekologis
Indonesia, dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memikul amanah besar terhadap keseimbangan iklim global. Namun faktanya, deforestasi, tambang terbuka, dan pencemaran terus meluas.
Kita membutuhkan perubahan paradigma: dari pembangunan berbasis eksploitasi menuju pembangunan berbasis amanah. Dalam Islam, kata “amanah” bukan hanya berarti tanggung jawab, tapi juga ujian moral. Allah berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab: 72).
Ayat ini menunjukkan bahwa amanah terhadap bumi adalah ujian spiritual manusia. Maka ketika manusia gagal menjaga alam, sesungguhnya ia gagal menunaikan janji kepada Tuhannya.
Menemukan Tuhan di Bumi
Alam sesungguhnya adalah cermin tempat manusia bisa melihat wajah Tuhannya. Dalam keheningan hutan, dalam gemericik air, dan dalam napas angin, ada pesan Ilahi yang lembut namun tegas: “Aku ada.” Namun ketika hutan hilang, sungai mati, dan udara tercemar, yang hilang bukan hanya keindahan alam, tapi juga ruang batin untuk mengenal Tuhan. Kita kehilangan tempat berzikir bersama ciptaan-ciptaan-Nya.
Maka tugas terbesar kita hari ini bukan hanya menyelamatkan bumi dari kehancuran, tetapi menyelamatkan manusia dari kehilangan makna ke Tuhanannya. Sebab bumi yang rusak bisa dipulihkan, tetapi jiwa yang mati oleh keserakahan jauh lebih sulit dihidupkan kembali.
Kita tidak sedang berjuang demi hutan, air, atau udara semata. Kita sedang berjuang menemukan kembali Tuhan di tengah puing-puing peradaban modern yang sibuk dan bising. Ketika kesadaran ini tumbuh, setiap langkah kecil—menanam pohon, mengurangi sampah, menjaga air—akan menjadi zikir yang hidup. Zikir ekologis yang memuliakan Sang Pencipta melalui perbuatan nyata.
Dan pada saat itulah, kita benar-benar memahami bahwa menyelamatkan alam adalah bagian dari menyelamatkan iman. Karena Tuhan tidak jauh; Ia bersemayam di setiap helai daun yang kita jaga, di setiap tetes air yang kita selamatkan, dan di setiap napas bersih yang kita hirup dengan rasa syukur.
Muhammad Ichwan, Nahdlyyin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) 2024-2027
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua