Opini

Nihilisme Iklim: Mampukah Ekoteologi Mengisi Kekosongan Diplomasi?

NU Online  ·  Sabtu, 29 November 2025 | 07:05 WIB

Nihilisme Iklim: Mampukah Ekoteologi Mengisi Kekosongan Diplomasi?

Ilustrasi iklim dunia (Foto: Freepik)

Di tengah krisis iklim yang kian mendesak, diplomasi global terlihat semakin kehilangan kemampuan untuk memberikan arah yang meyakinkan. Pertemuan-pertemuan besar menghasilkan komitmen, tetapi dunia belum menyaksikan transformasi yang sebanding dengan ancaman ekologis. 


Dalam kekosongan inilah tumbuh apa yang oleh Sam Mickey disebut sebagai nihilisme iklim: kehilangan makna ekologis ketika skala krisis jauh melampaui kemampuan respons politik internasional. Ketika diplomasi gagal menutup jurang antara ambisi dan aksi, muncul pertanyaan yang tak lagi bisa dihindari: nilai atau fondasi apa yang masih mampu menopang upaya bersama? 


Dari titik inilah ekoteologi—dengan kedalaman spiritual dan pandangan relasionalnya terhadap alam—muncul sebagai alternatif sumber makna yang selama ini absen dari ruang negosiasi global.


Nihilisme iklim tidak lahir secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman panjang melihat diplomasi iklim bergerak lebih lambat dibanding laju pemanasan global. Selama tiga dekade, dunia disuguhi kerangka kerja internasional yang tampak menjanjikan—dari Protokol Kyoto, Perjanjian Paris, hingga berbagai COP—namun hasilnya tidak sepadan dengan kedalaman krisis. Emisi global tidak berhasil ditekan secara signifikan, sementara kesenjangan antara target dan implementasi justru semakin melebar. Tata kelola iklim global menjalani semacam “keletihan moral institusional”—rutinitas pertemuan tanpa kemampuan menandingi kecepatan kerusakan bumi.


Momentum COP30 di Brasil, yang diproyeksikan sebagai titik balik besar bagi arsitektur iklim global, justru memperlihatkan paradoks diplomasi. Brasil tampil sebagai motor baru Kepemimpinan Global South melalui diplomasi hutan hujan Amazon, tetapi proses negosiasi kembali menemui hambatan klasik: kepentingan energi fosil, ketidakpastian pendanaan iklim, dan kesenjangan tanggung jawab historis antara negara maju dan berkembang. 


COP30 menghadirkan simbolisme kuat, tetapi hasil substantifnya tidak mampu “membengkokkan” kurva emisi dunia. Dengan target global yang hanya mengarah pada pemangkasan sekitar 12 persen emisi pada 2030—jauh dari kebutuhan 25 hingga 50 persen untuk menahan pemanasan 1,5–2°C—keterbatasan diplomasi tampak telanjang. Dalam ruang seperti inilah nihilisme iklim memperoleh momentumnya: publik meragukan apakah diplomasi multilateral masih layak dipercaya sebagai instrumen penyelamat.


Dari perspektif hubungan internasional, diplomasi iklim menghadapi tiga jurang struktural yang semakin sulit dijembatani. Pertama, compliance gap: negara-negara sering gagal memenuhi komitmen yang mereka ajukan sendiri. Janji yang diumumkan di forum internasional kerap kandas ketika menghadapi dinamika domestik.

 

Kedua, ambition gap: target global tidak pernah cukup ambisius untuk menahan kenaikan suhu. Diplomasi menghasilkan kompromi, tetapi kompromi itu tidak cukup untuk melindungi bumi.

 

Ketiga, justice gap: ketimpangan antara negara maju dan berkembang menggerogoti kepercayaan publik internasional. Negara-negara yang paling sedikit menyumbang emisi justru menanggung biaya terbesar adaptasi dan kerusakan, sementara transfer teknologi dan pendanaan transisi energi masih jauh dari memadai.


Karena itu, nihilisme iklim yang dibahas Mickey bukan sikap pasrah, melainkan reaksi terhadap struktur global yang sudah tidak dipercaya mampu menyelesaikan krisis. Kekecewaan ini adalah konsekuensi logis dari diplomasi yang kehilangan daya etiknya. Keruntuhan nilai inilah yang membuat dunia tampak bergerak tanpa kompas moral.


Pada titik inilah perspektif filsafat memberi kedalaman dalam membaca krisis makna tersebut. Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai fase ketika nilai-nilai tertinggi tidak lagi mampu mengarahkan tindakan. Dalam konteks iklim, nilai itu adalah keyakinan bahwa kerja sama internasional dapat menjaga masa depan bersama. Ketika diplomasi berubah menjadi ritual yang diulang tanpa dampak transformasional, manusia merasa hidup di dunia yang kehilangan pusat moral. Sementara Camus menyatakan bahwa dunia memang absurd, tetapi martabat manusia justru lahir ketika manusia tetap bertindak meski tanpa jaminan keberhasilan. Untuk Camus, pilihan untuk bertindak adalah bentuk perlawanan eksistensial terhadap keputusasaan.


Mitos Sisyphus memberikan gambaran paling jernih tentang krisis ekologis: mendorong batu yang terus jatuh adalah absurditas, tetapi di dalam absurditas itulah martabat manusia muncul. Merawat bumi bekerja dalam logika yang sama—tindakan ekologis dilakukan bukan karena hasilnya pasti, tetapi karena menyerah berarti kehilangan kemanusiaan itu sendiri. Namun filsafat modern, betapapun tajamnya, tetap kurang untuk memulihkan makna ekologis yang hilang. Dunia membutuhkan sumber nilai yang lebih kokoh, lebih tua, dan lebih akrab bagi masyarakat akar rumput.


Pada titik inilah ekoteologi menawarkan kerangka yang selama ini absen dari diplomasi iklim. Ekoteologi memandang bumi sebagai ruang sakral dan relasional, bukan sekadar objek pengelolaan. Dalam Islam, manusia dipahami sebagai khalifah—penjaga bumi yang memikul amanah. Dalam tradisi Kristen, alam adalah ciptaan yang harus dirawat dengan kasih. Dalam Hindu dan Buddha, setiap makhluk ada dalam jaringan dharma, di mana merusak alam berarti merusak keseimbangan kosmik.


Kearifan lokal Nusantara memberikan manifestasi paling konkret dari ekoteologi. Sasi di Maluku membatasi pemanfaatan laut demi keseimbangan ekosistem. Leuweung titipan di Sunda menegaskan bahwa hutan adalah titipan bagi generasi yang belum lahir. Masyarakat adat di Amazon, Papua, Kalimantan, atau Kongo merawat alam bukan untuk memenuhi target global, tetapi karena alam adalah bagian dari jati diri spiritual mereka. Ketika diplomasi gagal memberikan jaminan, komunitas-komunitas ini tetap bertahan dengan nilai-nilai ekologis yang lebih kokoh daripada perjanjian internasional.


Ekoteologi menawarkan sesuatu yang tidak dapat diberikan diplomasi: kesetiaan moral. Nilai yang tidak bergantung pada siklus politik, tidak tunduk pada kepentingan energi, dan tidak menunggu konsensus global. Dalam dunia yang kehilangan makna ekologis, kesetiaan semacam ini menjadi sumber harapan yang paling dapat diandalkan. Ia menegaskan bahwa merawat bumi tidak memerlukan jaminan hasil—cukup keyakinan bahwa tindakan itu benar secara moral dan spiritual.


Pada akhirnya, keberhasilan menghadapi krisis iklim tidak hanya bergantung pada keakuratan sains atau kecanggihan diplomasi, tetapi pada kemampuan manusia menemukan kembali makna ekologis yang hilang. Diplomasi tetap penting, tetapi ia memerlukan fondasi nilai yang lebih kokoh agar tidak terus tertinggal dari kedalaman krisis. Ekoteologi, dengan kedalaman spiritual dan pandangan relasionalnya terhadap alam, memberi peluang untuk mengembalikan makna ekologis yang hilang sekaligus memulihkan daya moral tindakan kolektif.

 

Selama tindakan ekologis ditopang bukan oleh ketakutan, tetapi oleh kesetiaan moral terhadap bumi, nihilisme iklim tidak akan menjadi takdir zaman ini.


Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang