Opini

Buku Tim Weiner Pisau Bermata Dua bagi Indonesia

Ahad, 28 Desember 2008 | 23:00 WIB

Oleh Hendrajit

Ada satu etos di kalangan akademisi dan para penulis di Amerika Serikat (AS) yang sebenarnya patut dicontoh di Indonesia, yaitu dorongan yang cukup kuat dari para sejarawan maupun wartawan senior di negara Paman Sam tersebut, untuk membongkar sejarah kelam bangsanya sendiri. Buku karya Tim Weiner bertajuk Membongkar Kegagalan CIA, merupakan salah satu bukti nyata bagaimana sang penulis mengungkap habis-habisan sepak-terjang beberapa presiden AS untuk menggulingkan suatu pemerintahan di negara dunia ketiga yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan strategis Washington.

Dari sudut pandang kepentingan masyarakat AS yang ingin membuka kedok konspirasi jahat para mantan presiden sekaligus pentolan-pentolan CIA yang melekat dengan persekongkolan klik presiden yang sedang berkuasa, tentu saja buku seperti yang ditulis Tim Weiner menjadi satu hal yang cukup positif untuk membongkar sejarah kejahatan politik para mantan presiden AS itu sendiri.<>

Namun, bagi Indonesia, fenomena Tim Weiner dan karyanya bisa menjadi “pedang bermata dua.” Pada satu sisi, buku Weiner memang bisa memberi inspirasi maupun petunjuk bagi para pihak di Indonesia yang masih mengagendakan suatu pengungkapan tuntas seluruh kejahatan politik Orde Baru Rezim Soeharto.

Namun, ada sisi lain yang cukup mengkhawatirkan dari berbagai temuan sejarah sebagaimana buku Weiner yang cukup menghebohkan tersebut. Bahwa dengan dalih untuk mengungkap sejarah, kemudian karya semacam Weiner ini bisa dikembangkan dan dibelokkan oleh para pemegang otoritas keamanan nasional di Washington, sebagai sarana pendukung untuk mendiskreditkan (mencemarkan) seseorang tokoh penting di suatu negara yang dianggap tidak bisa sejalan dengan Amerika jika si tokoh tersebut menjadi presiden, atau memegang suatu posisi strategis di negaranya.

Katakanlah Adam Malik, sekadar sebagai contoh yang nyata ada dalam karya Weiner itu. Buku itu memang cukup komprehensif mengungkap habis-habisan berbagai operasi rahasia CIA di Indonesia, khususnya berkaitan dengan situasi pasca-gerakan 30 September 1965, yang bermuara pada kejatuhan presiden Soekarno, dan tampilnya jenderal Soeharto sebagai presiden kedua RI.

Adam Malik agen CIA? Dalam suatu jaringan kerja sama strategis menyingkirkan Partai Komunis Indonesia (PKI), siapa pun yang dalam garis politiknya menyetujui agenda tersebut, tentu bukan hal yang luar biasa jika Adam Malik dalam penilaian CIA merupapakan mitra potensial. Dan, karenanya, wajar-wajar saja jika kemudian dia mendapat dana sebesar Rp 50 juta ketika itu.

Namun, jika kita memandang kasus Adam Malik dalam perspektif yang lebih jernih, mengapa jika agenda utama Tim Weiner adalah mengungkap jaringan pendukung strategis CIA di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang dimunculkan hanya Adam Malik?

Kalangan CIA itu sendiri pasti tahu persis, bahwa Adam Malik pada dasarnya bukan agen binaan mereka secara langsung seperti Julius Tahiya, Soemitro Djojohadikusumo, atau yang sempat disebut-sebut majalah Tempo baru-baru ini, Suhaimi Munaf.

Artinya, bagi kepentingan strategis AS maupun dari segi kerahasiaan yang harus tetap dilindungi oleh CIA, mengungkap fakta bahwa Adam Malik pernah mendapat uang dari CIA, tidak bisa dianggap merugikan bagi AS maupun CIA.

Justru sebaliknya. Bahwa pengungkapan keterlibatan Adam Malik dalam bekerja sama dengan CIA mengganyang PKI, pada praktiknya malah merupakan bagian dari skema AS dan CIA untuk mengorbankan elemen yang paling tidak penting dalam operasi mereka pada 1965, yaitu Adam Malik.

Inilah sisi yang mencemaskan dari karya Weiner. Pertama, dari segi pengungkapan sejarah kejahatan politik rezim Suharto, tetap tidak mengungkap jaringan sesungguhnya yang ditanam AS di Jakarta.

Kedua, karya Weiner ini bisa menjadi pilot project yang akan dikembangkan terus di masa depan sebagai modus operandi untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh Indonesia yang di dalam penilaian mereka, bisa menggangu kepentingan strategis Amerika dan para sekutunya dari Eropa Barat.

Bayangkan saja, jika suatu hari kelak, Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden, lalu tiba-tiba muncul suatu buku karya seorang wartawan senior atau bahkan seorang sejarawan terkenal dari Universitas Cornel atau Ohio, yang mengungkap adanya kerja sama Prabowo dengan CIA. Yang dalam konteks sesungguhnya, indikasi atau bahkan fakta semacam itu, memerlukuan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut.

Dan sialnya, meskipun seseorang seperti Adam Malik atau siapa pun yang disebut-sebut namanya dalam suatu bagian dari operasi intelijen CIA dan bahkan yang masih hidup, bisa memberi klarifikasi serta bukti-bukti tandingan, namun pada praktiknya seringkali tidak mungkin untuk mengklarifikasi temuan penulis tersebut secara terbuka di depan umum.

Mengapa? Karena mengklarifikasi suatu temuan seorang penulis seperti Weiner untuk membantah atau mematahkan temuan Weiner, akan membawa konsekuensi terungkapnya jaringan mereka sendiri di Indonesia, yang bisa jadi CIA dan otoritas keamanan di Washington tidak tahu sama sekali.

Bahkan, dalam contoh kasus kerusuhan Mei 1998, yang kita tahu sering dikaitkan dengan keterlibatan Prabowo Subianto yang ketika itu, selain menantu presiden Soeharto, juga sekaligus seorang Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.
Meski Prabowo punya data dan fakta untuk mematahkan temuan bahwa dirinya terlibat, dia tidak kuasa untuk mengungkap itu semua di depan publik. Bahwa dirinya sejak awal berada dalam target operasi para perwira intelijen kubu Jenderal Benny Moerdani.

Prabowo juga sulit untuk membuka sebuah fakta bahwa dirinya pernah menginformasikan kepada Soeharto ketika masih seorang kapten, bahwa Benny sempat mengumpulkan senjata secara rahasia di suatu tempat tertentu. Cerita ini sempat penulis dengar secara langsung dari mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Rudini. Waktu itu, penulis dipercaya untuk mengolah dan menyusun biografi dari petinggi Angkatan Darat (AD) yang kelak dikenal sebagai menteri dalam negeri RI.

Namun, Prabowo tidak mungkin sekarang ini mengungkap fakta seperti penulis paparkan di atas. Karena itu berarti, dirinya akan memicu pertentangan antar-faksi di AD. Setidaknya, antara faksi Benny Moerdani dan faksi Prabowo. Di samping itu, klarifikasi dari pihak Prabowo mau tidak mau akan berimplikasi pada perlunya untuk membongkar jaringan intelijen dirinya di tubuh AD. Satu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Kalau suatu kasus Mei 1998 yang pada hakikatnya bersifat domestik saja, seorang Prabowo punya berbagai hambatan untuk membela diri membuka fakta-fakta tandingan untuk mematahkan fakta-fakta sejarah yang diajukan pihak-pihak yang tidak suka kepada dirinya, maka mustahil bagi seseorang yang didiskreditkan sebagai agen CIA, untuk memberi klarifikasi atau mengungkap fakta tandingan dalam rangka membantah tuduhan penulis buku semacam Weiner. Karena itu berarti, membuka kedok atau informasi yang menyangkut jaringan yang dia bina bertahun-tahun di Indonesia.

Nah, ketika seseorang yang dikambing-hitamkan CIA tersebut tidak kuasa untuk memberi bantahan atau klarifikasi yang akan membuka jati diri dia sebenarnya, maka buku semodel karya Weiner ini, akhirnya akan dimanfaatkan para pengambil kebijakan luar negeri dan keamanan nasional di Washington, untuk membentuk opini publik bertujuan membangun ketidakpercayaan sebagian penduduk Indonesia, utamanya kalangan terdidik dan intelektual di kota-kota besar, terhadap integritas dan kredibilitas para pemimpin Indonesia yang tidak disukai Washington.

Karena itu, karya semodel Tim Weiner, harus menjadi topik pembahasan yang dampaknya harus dikaji dan dicermati secara khusus, dan harus diagendakan sebagai isu strategis dalam bidang keamanan nasional.

Tentu saja dalam era kebebasan pers seperti di Indonesia sekarang ini, tidak boleh ada pelarangan atau menarik buku semacam ini dari peredaran. Namun, buku Weiner dan yang sejenis dengan itu, perlu dikaji pola dan modus operandinya sebagai bagian dari strategi penyebaran informasi Amerika bertujuan membunuh karakter seorang tokoh penting di Indonesia.

Bahkan, dalam berbagai pola operasi rahasia yang diterapkan Mosad, terungkap bahwa upaya mendiskreditkan seorang tokoh pada suatu negara, merupakan pola baku sebagaimana halnya juga dengan konsep black propaganda untuk menjelekkan seorang tokoh terkenal dan berpotensi menjadi penentu kebijakan politik di suatu negara. Tak terkecuali di Indonesia.

Ini penting untuk segera diagendakan oleh seluruh jaringan pemikir strategis di Indonesia, apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada April dan Juli 2009 mendatang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa saat menjelang Pemilu April atau Juli mendatang, tiba-tiba terbit buku atau artikel dengan modus operandi ala Weiner, sehingga seseorang tokoh politik yang dianggap berpotensi untuk melawan kepentingan strategis AS namun berpeluang besar untuk menjadi presiden atau menteri dalam posisi strategis, bisa-bisa langsung jatuh reputasi dan kredibilitasnya.

Jika buku atau informasi yang mengungkap seorang tokoh politik Indonesia itu benar dan valid, tentu saja itu merupakan keuntungan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang mendambakan terungkapnya sebuah kebenaran. Karena ada pepatah mengatakan, bahwa yang namanya kebenaran itu tidak pernah memihak.

Namun, jika informasi atau fakta yang diungkap sebuah buku atau artikel tersebut masih bersifat sumir, subyektif dan spekulatif, maka sulit untuk tidak bercuriga bahwa artikel atau buku semacam ini dijadikan sebagai sarana pendukung untuk aksi informasi mendiskreditkan seseorang tokoh politik nasional agar tidak terpilih menjadi presiden atau menteri dalam pos strategis di kabinet. Dengan kata lain, pola informasi yang dikembangkan dengan menggunakan modus ala Tim Weiner, bisa menjadi sarana untuk melancarkan fitnah kepada seseorang tokoh penting di Indonesia.

Sekadar ilustrasi. Di jajaran kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang, terdapat Menteri Kesehatan yang cukup membanggakan, yaitu Siti Fadila Supari. Pada 2007 lalu, ia memelopori perlawanan terhadap World Health Organization (WHO) yang ternyata di belakangnya adalah AS. Supari berhasil menggalang dukungan banyak di negara dari berbagai kawasan, yang intinya adalah menolak mengirim virus kepada AS, yang disinyalir telah dikirim ke Los Alamo, untuk dijadikan obat antivirus, dan diperjualbelikan kembali ke negara-negara berkembang yang terkena flu burung.

Bayangkan, kalau pola informasi yang dikembangkan dalam buku Weiner kemudian digunakan CIA untuk mendeskreditkan Fadila Supari, apa pun isu yang akan mereka ungkap maupun kembangkan.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah, mengagendakan masalah semacam itu menjadi isu strategis keamanan nasional. Sayangnya, kita belum memiliki dewan keamanan nasional sebagai payung hukum untuk membahas ini, sehingga presiden dan para menteri terkait bidang keamanan nasional seperti menteri dalam negeri-menteri luar negeri-menteri pertahanan-kejaksaan agung, bisa membahas ini dalam kesatupaduan kebijakan dan langkah strategis.

Kedua, berkaitan dengan buku Weiner, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dia namun dengan cara yang cukup elegan, yaitu mengundangnya dalam suatu forum akademis namun dengan melibatkan jaringan pemikir strategis di Tanah Air.

Setidaknya untuk memberi suatu versi lain dari sisi pandang Weiner. Bahwa meski suatu fakta itu memang benar adanya, namun belum tentu tepat seperti yang terlihat. Maklum, dalam dunia intelijen seringkali kita berhadapan dengan suatu fakta yang tersamar yang bertujuan menyesatkan lawan.

Bahwa seseorang yang berdekatan atau bertemu orang AS yang kelak dikenal sebagai agen CIA, belumlah tentu bahwa seseorang seperti Adam Malik memang benar-benar agen CIA. Dalam operasi intelijen, bertemu atau berdekatan dengan orang asing yang kemudian dikenal sebagai agen CIA dari Langley, Washington, bisa saja justru untuk tujuan menyesatkan pihak lawan bahwa dirinya memang ingin dikesankan sebagai agen binaan CIA, padahal bukan.

Penulis yakin, inilah fakta sesungguhnya tentang mantan Wakil Presiden Adam Malik yang disadari betul oleh para pemegang otoritas keamanan nasional di Washington, sehingga tidak ada ruginya bagi mereka untuk mengorbankannya dengan cara menggunakan mulut Clyde McAvoy, salah seorang agen CIA  yang menjalin kontak dengan Adam Malik ketika itu, dan mengklaim bahwa Adam Malik merupakan pejabat Indonesia tertinggi yang mereka rekrut.”

Benarkah Adam Malik merupakan pejabat tertinggi Indonesia yang CIA rekrut? Rasa-rasanya bukan. Masih banyak yang sebenarnya justru merupakan jaringan kunci dari CIA, dan namanya tetap terlindungi hingga sekarang. Dan, bahkan, telah mewariskan jaringan ini kepada anak dan cucunya.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute