Opini

Celoteh tentang Nama

Sabtu, 6 April 2013 | 04:32 WIB

Helmi Ali, cerita pada saya tentang nama Lakpesdam. Katanya, pada Muktamar NU 1994 di Cipasung-Tasikmalaya, Jawa Barat, nama Lakpesdam, digugat oleh Muktamirin yang bersidang di komisi organisasi. "Nama Lakpesdam Lakpesdam terlalu militerstik, kemiliter-militeran. Tidak pantas institusi NU menyandang nama itu, apalagi ABRI tidak suka dengan NU."
<>
"Iya. Ganti saja. Biar Lakpesdam tidak diledek lagi sebagai adiknya Kodam, ponakannya Pangdam, atau iparnya Kasdam."

Begitulah kira-kira suara yang menghendaki nama Lakpesdam diganti, seperti diceritakan Mas Helmi, demikian saya memanggil aktivis senior Lakpesdam Helmi Ali. Lalu ada ada yang mengusulkan singkatan LKPSM, seperti di Yogyakarta. Lakpesdam akronim dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. LKPSM juga memiliki kepanjangan yang sama dengan Lakpesdam. Hanya saja aktivis NU di Yogya, dengan salah seorang tokohnya, almarhum Masyhur Amin, memakai LKPSM sampai sekarang, karena mereka lahir lebih dulu. Selang berapa tahun baru Lakpesdam dilahirkan. Lantas kenapa nama Lakpesdam masih ada hingga sekarang?

Akronim Lakpesdam dipertahankan, kata Mas Helmi, karena ingin menghargai orang-orang dahulu, yang susah payah menemukan nama tersebut. "Biar menjadi amal jariyah," ujar Mas Helmi. Tiga orang yang memperjuangkan nama Lakpesdam, yakni KH A. Sahal Mahfudh, KH A. Mustofa Bisri, dan KH A. Muchith Muzadi. Alasannya yang bersifat "ukhrowi" dan para pejuang nama tersebut yang sepuh dan berwibawa, membuat nama itu bertahan.

Setelah itu, alasan yang tampak mentereng baru dikemukakan. "Lho, justru bagus nama Lakpesdam. Sengaja itu, untuk kamuflase, agar ABRI tidak memata-matai kita."

Aktivis NU dan para kiai mulai mengangguk-angguk dengan mantap. Lantas ikut menambahi alasan, "Sudah betul nama itu. Kita perlu menyindir dan mendidik aparat ABRI dari mulai Koramil, Kodam, Pangdam, berikut Kasdamnya, agar meniru Lakpesdam, mengkader warga negara dengan kasih sayang, bukan malah melancarkan aksi kekerasan, di Aceh, di Irian Jaya, di Timor Timur. Bila ABRI ingin punya kesibukan, berternak ikan Lele saja, kayak Lakpesdam."

Lakpesdam memang institusi di NU yang diberi mandat untuk menguatkan dan mendinamisasi NU melalui pengkaderan, mendidik Nahdliyin agar punya pengetahuan dan ketrampilan. Pada waktu itu, Lakpesdam, memang berternak ikan Lele di Cilacap-Jawa Tengah, untuk menguatkan para santri dalam bidang ekonomi.

Sejarah
Urusan nama adalah urusan berharga, urusan isi kepala, urusan budaya, dan tentu juga urusan doa. Maka dari itu, di NU dan pesantren, nama itu amat penting, ada makna dan maksudnya. Karena kita ini gemar bertawasul dan mendoakan orang-orang, baik yang sudah meninggal atau yang masih hidup. Kaum santri merasa kurang mantap mendoakan orang hanya dengan, misalnya, allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu'anhum. Doa tersebut terlalu 'aam, umum. Santri senengnya yang khos, khusus. Begitu juga dengan sembayang, puasa, zakat, semuanya dengan nama (niat) yang detil.

Nama-nama seperti Ansor, Ma’arif, Muslimat, Fatayat, Lesbumi, Pagar Nusa, Pertanu, Berita NU, Duta Masyarakat, tidaklah akan muncul, kecuali dari orang-orang yang isi kepalanya cemerlang, tinggi budayanya, luas harapan dan doanya. Memang, nama-nama tersebut muncul di tahun-tahun ‘genting’, di mana nama saja menjadi ‘bahan pembeda’ dan ‘alat kontestasi’.

Kenapa frase ‘hari lahir’ disingkat Harlah ada di NU? Jawabnya, karena Partai Masyumi menggunakan bahasa Arab untuk kelahiran, yakni Milad. Dan partai lain, di tahun 50-an, memakai istilah berbeda, ada HUT, Ultah, dan lain-lain. Kalangan NU juga banyak memakai “Indonesia” sebagai kata sifat Islam. Contohnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi). Mafhumlah kita, kenapa NU akrab dengan lokalitas, dan senang dengan istilah ‘Islam Indonesia’ atau ‘Islam Nusantara’. Sampai di sini, kita jadi mengerti bahwa nama bukan saja menjadi bahan pembeda dan alat kontestasi, melainkan bagian dari ideologi. ‘Ngeri’ bukan?

Nama pesanantren (dulu) juga demikian adanya. Pesantren begitu ‘percaya diri’ memakai nama lokal, nama desa, bukan nama dari bahasa Arab. Tebuireng, Lirboyo, Sarang, Babakan, Lasem, Tegalrejo, Krapyak, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama desa yang dijadikan nama pesantren. 

Begitu juga nama Nahdlatul Ulama, tak perlu ada kata sifat yang menguntit di belakangnya. Misalnya ‘Nahdlatul Ulama al-Islamiyyah’. Tidak perlu. Sebab, di dalam ulama, ya ada sifat Islam atau religiusitas, bersifat sakral. Ingat, al-‘ulama warotsatul anbiya, ulama adalah pewaris para nabi. Bandingkan dengan nama-nama organisasi Islam yang lahir pada waktu itu, banyak sekali yang menggunakan kata islamiyah, Islam, bahkan nama nabi terakhir.

Sekarang
Sekarang, NU dan pesantren, dengan berat hati, saya menilai dua institusi itu mengalami ‘krisis nama’. Jika kita, orang pesantren sekaligus bagian dari Nahdliyin, percaya bahwa nama itu urusan berharga, urusan isi kepala, urusan budaya, dan tentu juga urusan doa, maka krisis nama ini amat memilukan.

Baru-baru ini lahir Badan Halal Nahdlatul Ulama. Setuju sekali saya dengan adanya otoritas yang mengeluarkan sertifikat halal (dan haram) itu. MUI selama ini begitu hegomonik untuk persoalan halal dan haram. NU, juga Muhammadiyah, memang harus mulai melawan hegemoni itu, meski sungguh susah, karena keduanya juga ‘duduk-duduk’ di MUI. 

Namun, saya tercengang membaca nama institusi halal di NU ini. Nama institusi tersebut, jika dibaca lengkap tidak masalah, Badan Halal Nahdltul Ulama. Tapi, jika kita membacanya secara singkat dan telah menjadi singkatan resmi: BHNU. Singkatan tersebut sangat asosiatif. Singkatan tersebut, bagi saya, sangat jauh dari esensi badan halal, yakni akan meneliti ‘barang’ hingga ada hukum yang jelas: al-halalu bayyinun wal haromu bayyinun. Orang-orang NU juga menamai gedung baru PBNU di Matraman Jakarta Timur, dengan sebutan ‘PBNU 2’. Saya kira, kita telah kehilangan banyak imajinasi. Alangkah kerennya, jika gedung itu disebut, misalnya, Gedung Hijau. Bukankah sekarang sedang tren yang hijau-hijau, go green go green, apalagi NU sudah hijau sejak dulu. Lebih mentereng lagi, jika gedung itu bernama Syekh Ihsan Jampes, Syekh Arsyad al-Banjari, Mbah Kholil Bangkalan, atau yang lain. Begitu juga nama perpustakaan, nama ruang rapat, nama aula, harus diberi nama. Cintailah mereka dengan mengasih nama yang bagus. Seingat saya, hanya kandang burung yang tidak memiliki nama.  

Di dunia pesantren juga mengalami krisis nama. Sependek pengamatan saya, belumlah lama di papan nama pesantren tertulis al-ma’had al-slamy, kira-kira artinya ‘pesantren yang islamy’. Al-Ma’had adalah terjemahan dari institusi, lembaga, atau madrasah. Sebetulnya tidak tepat-tepat amat untuk menerjemahkan pesantren dengan kata al-ma’had, karena pesantren memiliki nilai sejarahnya tersendiri. 

Kata sifat ‘islamy’ juga tak perlu dicantumkan dalam nama pesantren. Sebab, hari ini (dan sudah berabad-abad sebelumnya) hanya orang Islam yang memamakai kata itu. Wal hasil Islam sudah sudah inhern dalam kata pesantren. Nah, jadi lucu kedengarannya jika di Pejaten-Jakarta Selatan, ada papan nama “Pondok Pesantren Islam”. Itu tandanya, mereka tidak paham lor-kidul, tidak paham. Ketika saya cerita ada nama pesantren itu kepada Alex Komang, kebetulan rumahnya dekat dengan pesantren tersebut, ia langsung nyaut. 

“Itu memang konyol. Sama konyolnya dengan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu). Lha wong Islam itu ya sudah terpadu. Kenapa masih ada kata terpadu membuntuti Islam? Paham tidak orang-orang itu?” begitu Mas Alex bilang pada saya.

Demikianlah celoteh tentang nama. Meski ‘hanya’ nama, tapi diharapkan lahir budaya-budaya berfaedah dari si empunya nama, ditunggu pikiran-pikiran cemerlang dari penyandang nama. Masa iya kita tidak sepakat bahwa nama adalah cita-cita dan doa, agar semuanya menjadi baik adanya? Cukuplah, cukup, nama sangat indah seperti Ahmad Fathonah atau Luthfi Hasan Ishak tapi thomak urusan duniawi, hingga terjerat perkara dagang sapi. Na’uzdubillah min dzalik. (Hamzah Sahal)