Situasi Palestina terus memanas. Semenjak satu bulan terakhir, aksi intifada terus dilakukan oleh para pemuda Palestina sebagai protes mengenang awal pendudukan Israel atas tanah mereka pada 15 Mei 1948. Demo yang terus dilancarkan guna menuntut Israel menarik diri ke perbatasan sesuai yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tidak menuai hasil. Israel bahkan semakin beringas menghadapi demonstran hingga jatuh banyak korban termasuk seorang perawat wanita, Razan al-Najjar dalam misi kemanusiaannya.
Kekejaman ini mendorong beberapa negara anggota PBB untuk mengajukan resolusi perlindungan minimal untuk rakyat Palestina dari keberutalan tentara Israel. Draf yang diajukan oleh Kuwait itu pun akhirnya harus kandas oleh veto Amerika. Sang negara adidaya berdalih bahwa jaminan keamanan rakyat Palestina ada pada Hammas dan bukan pada PBB. Artinya, bahwa Hammaslah yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi dan bahwa Israel melakukan itu untuk membela diri dari aksi demonstrasi 'brutal' yang diprovokasi oleh Hammas. Ini adalah kali ke-43 Amerika menggunakan hak veto untuk membela kepentingan Israel semenjak 1970. Hak veto ini pula yang menjadikan segala upaya politik memperjuangkan nasib Palestina lewat jalur PBB selalu gagal meski didukung oleh mayoritas anggota.
Sebelum ini, draf resolusi juga diajukan untuk menolak keputusan Amerika mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaannya ke sana. Draf ini pun gagal karena veto Amerika. Melihat kandasnya upaya diplomasi tingkat tinggi dalam menggalang dukungan dunia internasional lewat PBB, berat rasanya mengharapkan keberhasilan lewat jalur yang sama meski hal itu harus tetap dilakukan tanpa mengenal kata bosan.
Jalur militer seperti yang ditempuh oleh Hammas dengan kondisi kekuatan yang tidak seimbang, jelas hanya akan memperbesar jumlah korban berjatuhan di pihak Palestina. Meski Gamal Abdel Nasir, pemimpin Mesir wafat 1967, pernah berkata bahwa sesuatu yang direbut dengan kekerasan tidak mungkin direbut kembali kecuali dengan kekerasan pula, pendekatan senjata seharusnya dihindari karena terbukti memangsa banyak nyawa di kalangan Palestina sendiri. Tapi jika tidak dengan angkat senjata, apakah mungkin Israel mengembalikan hak rakyat Palestina yaitu tanah yang telah direbutnya? Jangan-jangan Israel semakin menggila dengan mencaplok banyak wilayah yang lain?! Ini semua menjadikan semua pilihan tidak mudah untuk diharapkan efektif memperbaiki nasib Palestina. Dengan melihat kebuntuan ini, barangkali perlu bahkan harus ditempuh jalan alternatif yang setidaknya mampu melunakkan sikap keras Israel dan membuka harapan baik bagi Palestina meski hanya secercah.
Harapan itu ada pada pendekatan psikologis dengan memandang Israel bukan sebagai lawan tapi tetangga rumah yang beda latar belakang. Jika batu yang keras bisa tembus oleh tetesan air, barangkali kerasnya hati petinggi Israel bisa ditembus dengan tetesan iktikad baik untuk hidup berdampingan bersama. Meski hal ini terlampau sulit untuk bisa diterima bagi pihak Palestina terhadap Israel yang telah merampas wilayahnya, tapi apa daya kenyataan pahit harus diterima. Bangsa Palestina mau tidak mau harus hidup berdampingan dengan sang penjajah. Secara de jure, bagaimana pun, Israel salah tapi secara de facto, dia dengan segala kekuatan dan dukungan negara adidaya tidak mungkin keluar dari tanah pendudukan kalau tidak malah warga Palestina sendiri yang keluar. Israel sendiri tidak akan merasa tenang berdampingan dengan bangsa Palestina, tapi dia juga harus menerima kenyataan bahwa inilah konsekuensi menyerobot tanah orang. Dengan fakta pahit yang dirasakan oleh keduanya, maka tidak ada jalan lain kecuali menerima kenyataan hidup berdampingan sesama 'musuh'.
Untuk itu sikap saling percaya harus dibangun. Untuk memulainya perlu pihak ketiga yang tidak terlibat perseteruan langsung, yaitu non-Arab. Umat Islam Indonesia berpeluang untuk itu dalam membangun mutual trust lewat pendekatan personal psikologis dan bukan institusional politis. Jalur yang terakhir terbukti kandas meski lewat lembaga yang tertinggi sekalipun, PBB. Barangkali, dengan pendekatan ketokohan yang humanis seperti yang coba dilakukan oleh Gus Dur, hal ini bisa memecah kebuntuan.
Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina nampak terbuka di sini. Selain karena Indonesia bukan pihak yang terlibat konflik, Indonesia juga memiliki hubungan peradaban dengan Israel. Ronit Ricci seorang peneliti Israel telah melakukan penelitian dan menemukan adanya jejak peradaban Yahudi dalam masyarakat Jawa dan Melayu. Hal itu nampak dalam karya terjemahan Serat Samud atau Suluk Samud yang ditemukan di Kraton Surakarta dan Yogyakarta yang berisi seribu pertanyaan seputar ajaran Islam. Nama Samud merujuk pada nama Samud Ibn Salam, orang Yahudi pada zaman Rasulullah yang masuk Islam. Dalam sumber Islam otoritatif atau kitab mu'tabarah, dia lebih dikenal dengan Abdullah b. Salam. Disebutkan, bahwa dia akan masuk Islam beserta pengikutnya jika Rasulullah berhasil menjawab 1000 pertanyaan (biarpun sebenarnya tidak sampai) yang dia ajukan. Nabi yang didampingi Malaikat Jibril yang tidak nampak kecuali oleh beliau, menjawab semua pertanyaan sehingga Samud masuk Islam.
Diterjemahkannya dialog itu ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, membuka peluang dialog budaya antara Yahudi dan Muslim Nusantara. Dalam hal ini, warga Yahudi setidaknya, merasa memiliki andil dalam pembentukan budaya Jawa dan Melayu dalam proses keislaman mereka. Meski Samud berposisi sebagai seorang Muslim, bukan Yahudi (meski keislamannya disangkal oleh sumber Yahudi), tapi setidaknya, ini menunjukkan pengaruh kosmopolis budaya Yahudi hingga ke ujung timur Asia (Indonesia); suatu hal yang membanggakan Israel sebagai bangsa. Hal ini juga membuka peluang diplomasi budaya antara Muslim Indonesia dan Yahudi Israel dan mengarahkannya untuk perdamaian Palestina.
Adanya hubungan budaya itu tentu diketahui oleh pihak Israel dan diharapkan berpengaruh positif bagi keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian konflik. Setidaknya, Israel tidak memandang Indonesia seperti halnya dia memandang bangsa Arab yang telah berlaku sebagai seteru abadi.
Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Doktor Inter-Religious Studies Universitas Gajah Mada, Magister Pemikiran Islam Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Licence Universitas al-Azhar Mesir.