Opini

Gejala Impotensi Etika Petinggi Negara

Ahad, 13 Juli 2008 | 23:00 WIB

Oleh Mohamad Zainudin

Belum selesai kegalauan rakyat mendengar kasus memalukan terkait rekaman pembicaraan Artalyta Suryani (Ayin) dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso pascapenanggkapan Urip Tri Gunawan, beberapa waktu lalu. Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyingkap kasus suap pengadaan 20 unit kapal patroli laut Direktorat Departemen Perhubungan (Dephub) yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, Bulyan Royan.

Semua merupakan serangkaian sinyalemen kebobrokan dan impotensi etika petinggi negara, yang diharapkan mampu membawa negara ini pada ambang kesejahteraan. Diduga kuat, uang yang berseliweran di DPR dan Dephub, jumlahnya jauh lebih besar dibanding uang suap yang diterima Bulyan Royan, yaitu, US$ 66 ribu dan 5.500 Euro.<>

Sungguh memalukan, anggota DPR, selaku wakil rakyat yang seharus senantiasa memprioritaskan kesejahteraan rakyat secara general dalam setiap kebijakan yang ditempuh. Malah seperti raksasa buas yang sengaja ingin menelantarkan nasib rakyat.

Bukan hanya Partai Bintang Reformasi (PBR), partai berhaluan Islam, yang merasa tercoreng. Citra negara ini yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan morali turut tercemari. Bisa dibayangkan apa jadinya jika kekuasaan negara ini jika dijalankan tanpa berpegang teguh pada rambu-rambu etika dan moral.

Matinya Etika

Sudah berulang kali terungkap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Namun, hingga saat ini, kesadaran guna membenahi citra bopeng tersebut masih belum juga digalakkan. Tertangkapnya Bulyan Royan, merupakan bukti kebenaran asumsi bahwa gedung DPR adalah sarang korupsi, kasus suap dan segala bentuk varian tindakan amoral, antietika lainnya.

Dicurigai, absurditas kasus korupsi yang terus membiak di gedung DPR memang sengaja ditanam secara struktural. Terbukti, hingga saat ini, upaya pemugaran budaya kesadaran akan pentingnya etika kejujuran yang berafiliasi pada etika kolektif masih terkesan sangat lemah. Dalam konteks ini, Indonesia mempunyai Pancasila selaku common philosophical ground (kebijakan filosofis). Sebagai konstruksi etika kolektif yang dibentuk bersama-sama, dipahami, diamini dan dijalankan bersama-sama pula.

Kecerebohan dan keculasan petinggi negara yang dipertontokan selama ini, terkait penerimaan uang suap. Jelas-jelas melompati bangunan etika kolektif atau etika sosial, karena tindak tersebut sangat merugikan negara dan rakyat. Pada prisipnya, setiap manusia memang mempunyai hak alami, yaitu sebuah otoritas guna menyejahterakan kehidupannya masing-masing. Tapi, hak alami yang dimiliki manusia masih dibatasi kewajiban terhadap yang lainnya (utilitirianisme).

Keterkaitan manusia dengan lingkungan di sekitarnya tidak bisa dipungkiri selama siklus kehidupan ini masih berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan kewajiban DPR, sebagai wakil rakyat di tingkat elit kepemerintahan. Maka, sudah sepatutnya, setiap kebijakan yang ditempuh harus bertumpu pada kesejahteraan rakyat. Dalam stuktur negara demokratis, kesejahteraan rakyat menempati strata tertinggi yang harus menjadi landasan utama setiap kebijakan yang terkait erat dengan kesejahteraan rakyat dan negara. Pentingnya memugarkan kembali kesadaran para anggota DPR, untuk saat ini tidak bisa ditawar lagi, jika tidak diprediksikan umur negara ini tidak panjang lagi.

Di sisi lain, guna menyongsong masa depan negara ini lebih brilian dan tetap berhaluan teguh pada norma-norma demokrasi. Sudah saatnya rakyat selaku the trustor atau the beneficiary, sebagaimana diungkap John Locke, diberi perbekalan pendidikan politik yang memadai, supaya checks and balances (hubungan timbale-balik) antara elit pemerintah dengan rakyat bisa tercapai seoptimal mungkin.

Pada dasarnya, pemugaran kesadaran petinggi negara tidak akan pernah efektif jika pengetahuan dan daya kritis rakyat masih belum juga tumbuh. Terbukti, sumpah etika jabatan yang selalu dikumandangkan saat serah-terima jabatan, hingga saat ini masih belum berjalan efektif. Masih merebaknya gejala kerupsi dan kasus suap adalah indikasi ketidakefektifan sumpah jabatan jika tidak ada kontrol langsung dari rakyat.

Kebiasaan petinggi negara selalu mengelabui rakyat dan negara disebabkan selama ini rakyat dibiarkan begitu saja dengan kemandulan daya kritisnya. Padahal, dalam sistem negara yang demokratis, seharusnya rakyat tidak hanya berperan sebagai pihak yang selalu menerima apa adanya semua kecerobohan dan keculasan para wakil-wakilnya. Sikap rakyat di tingkat basis yang selalu berharap datangnya kesejahteraan pada dirinya, dengan memberikan kepercayan sepenuh-penuhnya pada semua wakil-wakilnya di jajaran elit pemerintah, pada dasar tidak bisa dibenarkan begitu saja jika mengacu pada norma-norma negara demokratis.

Masa depan negara ini tidak hanya berpangku pada jajaran elit pemerintah, melainkan peran aktif masyarakat dalam membina negara ini ke depan, juga sangat menentukan. Berharap lebih pada elit pemerintah, secara tidak langsung adalah upaya stagnan menciptakan kebangkitan negara ini. Bukankah sudah teramat sering KPK mengungkap skandal korupsi dan kasus suap yang melibatkan petinggi negara, khususnya anggota DPR, namun de facto, hingga saat ini, gejala tersebut masih saja terus membudaya.

Upaya menyuluhkan pengetahuan politik dan budaya kritis di kalangan rakyat biasa, sejatinya adalah upaya membenahi kebobrokan etika dan kesadaran petinggi negara. Tindakan KPK yang sangat heroik memberantas praktik korupsi dan ragam kasus suap lainnya, tidak bisa menjamin jika benih-benih bahwa ragam jenis tindakan amoral yang serupa bisa dipunahkan hingga ke akar-akarnya.

Petingnya menanamkan budaya kritis di tingkat rakyat biasa. Selain diharapkan mampu menjadi pecut tersendiri bagi ketidakbecusan dan kecerobohan etika petinggi negara. Di sisi, lain jejak rekam KPK dalam memberantas praktik korupsi dan yang senyawa, akan tambah terkurangi bebannya. Dan, niscaya negara demokratis yang selama ini dicita-citakan bisa berjalan efektif akan tercipta dengan sendirinya.

Penanam budaya kritis di tingkat rakyat biasa tidak hanya cukup dengan cara menyuguhi ragam berita kebobrokan etika dan moral wakil-wakilnya. Beri mereka juga pemahaman, bagaimana seharusnya mereka menyikapi semua itu. Jangan biarkan rakyat mengawang-ngawang dengan ketidakpahamannya.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Social Development pada The Indonesia View Yogyakarta