Gelar Pahlawan Soeharto: Bahaya Laten Rekonsiliasi Gado-gado
NU Online · Rabu, 12 November 2025 | 11:59 WIB
Sofian Junaidi Anom
Kolomnis
Hari Pahlawan 10 November 2025 akan dikenang sebagai hari paling paradoksal dalam sejarah Indonesia. Di Istana Negara, pemerintah baru saja menyajikan apa yang secara formal bisa disebut rekonsiliasi simbolik, atau—dalam bahasa yang lebih jujur—sebuah "rekonsiliasi gado-gado": upaya mencampur semua tokoh yang saling bertentangan dalam satu piring, yang disuguhkan secara resmi.
Dalam satu tarikan napas, tiga nama dibacakan: Soeharto, sang arsitek Orde Baru. Di sebelahnya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sang Guru Bangsa yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan dan antitesis Orde Baru. Dan yang paling getir, Marsinah, buruh yang jasadnya hancur sebagai simbol represi brutal di era yang sama.
Ini bukan sekadar ironi. Ini adalah pernyataan politik yang mengaburkan batas, menyamakan korban dengan tokoh sentral dari era penindasannya. Bagi sebagian orang, ini mungkin disebut rekonsiliasi. Bagi yang lain, ini adalah penghinaan terhadap akal sehat dan keadilan sejarah.
Namun, keputusan telah diketok. Gelar telah tersemat. Debat "setuju" atau "tidak" sudah selesai di ranah Istana. Yang tersisa kini adalah pertanyaan yang lebih fundamental di ranah publik: Bagaimana kita, sebagai warga negara, harus bersikap terhadap kenyataan ini?
Menerima kenyataan ini bukan berarti kita menyerah pada sejarah. Jawaban terbaik atas rekonsiliasi gado-gado yang pragmatis ini justru datang dari Sang Guru Bangsa yang diberi gelar bersamaan dengan Soeharto. Kita harus meminjam sikap Gus Dur: Memaafkan, tapi tidak melupakan.
Inilah sikap paling waras yang bisa kita ambil. Kita memaafkan (atau lebih tepatnya memaklumi) pemerintah atas keputusan politiknya yang kontroversial. Kita bahkan bisa mencoba memaafkan Soeharto atas jasanya—yang sebagian besar penuh catatan kritis.
Tapi kita menolak untuk melupakan. Kita menolak amnesia kolektif atas represi sistemik, korupsi, dan pelanggaran HAM berat yang membuat gelar itu sejatinya tidak pantas ia terima.
Politik 'Jasa' yang Rapuh
Sebenarnya, apa yang kita saksikan di Istana kemarin itu bukanlah sebuah upaya sungguhan untuk mencari keadilan sejarah. Itu adalah murni pragmatisme politik. Sebuah strategi "semua dapat piala" agar semua segmen masyarakat—terutama yang suaranya paling keras—merasa diakui. Loyalis Orba dapat Soeharto. Nahdlatul Ulama—organisasi yang notabene dianiaya dan disudutkan sepanjang Orde Baru—mendapat Gus Dur. Aktivis (secara simbolik) dapat Marsinah. Selesai perkara, setidaknya begitu pikir Istana.
Politik model begini bukan barang baru. Kita ingat, Sukarno dulu juga melakukan hal serupa demi gagasan Nasakom. Ia mengangkat Tan Malaka, seorang tokoh yang dieksekusi oleh tentara Republik-nya sendiri, sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Ini adalah rekonsiliasi simbolik untuk sebuah tujuan politik sesaat.
Masalahnya, penganugerahan untuk Soeharto ini jauh lebih pelik. Kita tidak hanya diminta untuk melupakan dosa-dosanya. Kita juga dipaksa memercayai 'jasa' yang bahkan oleh sejarawan pun masih terus diperdebatkan.
Kita diminta mengingat "Serangan Umum 1 Maret", tapi kita juga mendengar anekdot sejarah yang menempatkan Soeharto di warung soto, jauh dari pusat komando. Kita diminta mengingat "swasembada pangan", tapi kita tahu itu adalah ilusi singkat yang tidak berkelanjutan, yang mematikan keragaman pangan lokal. Ini adalah ketidakjujuran ganda. Negara tidak hanya meminta kita mengabaikan kejahatan Orde Baru, tapi juga menuntut kita untuk percaya buta pada narasi heroik yang fondasinya sendiri rapuh.
Menciptakan Bahaya Laten Baru
Ironisnya, pragmatisme politik ini justru menciptakan apa yang paling sering digaungkan oleh Orde Baru itu sendiri: sebuah "bahaya laten". Bukan bahaya laten komunisme yang abstrak, tapi bahaya laten dari ingatan publik yang dilukai dan keadilan sejarah yang tak kunjung selesai. Ini adalah pola yang sudah terbukti di banyak negara. Mereka yang memilih harmoni semu hari ini hanya sedang membiarkan bahaya itu mengendap, menunggu momentum untuk meledak.
Kita lihat saja Spanyol. Setelah diktator fasis mereka, Jenderal Franco, mati, mereka membuat "Pacto del Olvido" atau Pakta Pelupaan. Mereka bahkan menyatukan makam Franco dengan puluhan ribu korbannya di monumen Valle de los CaÃdos. Terdengar damai? Tentu saja tidak.
Empat puluh tahun kemudian, bahaya laten itu meledak. Masyarakat Spanyol yang baru menuntut keadilan. Pada 2019, makam Franco dibongkar paksa dan dipindahkan oleh negara. Pakta pelupaan itu gagal total.
Atau lihat Amerika Serikat. Setelah Perang Saudara, mereka membiarkan narasi "Lost Cause" hidup—sebuah mitos bahwa pihak Selatan (Konfederasi) berperang bukan untuk perbudakan, tapi demi kehormatan. Patung-patung jenderal Konfederasi dibiarkan berdiri gagah. Hasilnya? 150 tahun kemudian, patung-patung itu dirobohkan oleh publik dalam gelombang protes sosial.
Apa yang terjadi di Istana kemarin adalah impor model yang sama. Rekonsiliasi gado-gado yang menyamakan Soeharto dan Marsinah bukanlah akhir dari perdebatan. Ini adalah awal dari ingatan yang akan terus menggugat.
Ingatan Milik Rakyat
Tentu, secara emosional, banyak yang ingin gelar ini dicabut saja. Tapi apa bisa?
Jujur saja, ini harapan yang sangat tipis, nyaris mustahil. Tapi celah hukumnya ternyata ada, walaupun agak ajaib. Undang-Undang (UU 20/009) yang mengatur ini memang unik. Pasal-pasal tentang pencabutan secara spesifik tidak mencantumkan kata 'Gelar' Pahlawan Nasional.
Aneh, bukan? Tapi, undang-undang itu menyebut soal pencabutan 'Tanda Jasa' dan 'Tanda Kehormatan'.
Artinya, jika suatu hari nanti—dan ini 'jika' yang sangat besar—ada sebuah proses hukum baru yang secara posthumous (anumerta) berhasil membuktikan Soeharto bersalah atas tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, Presiden punya hak untuk mencabut Tanda Kehormatan itu.
Ini memang hanya celah sempit di atas kertas. Tapi ini pengingat penting: gelar itu tidak sakral. Ada syaratnya.
Selama harapan hukum itu masih di awang-awang, dan bahaya laten sejarah itu masih mengendap di bawah permukaan, sikap kita sebagai warga negara harus jelas.
Kita terima kenyataan pahit bahwa gelar itu kini tersemat. Kita maafkan (atau lebih tepatnya memaklumi) langkah politik pragmatis ini, seperti kita memaklumi luka yang tak bisa sembuh.
Tapi kita menolak untuk lupa.
Kita akan terus mengajar anak-anak kita tentang Soeharto. Mengajarkan persis seperti yang pernah dikatakan Gus Dur, bahwa jasa Soeharto bagi bangsa ini besar sekali, walaupun dosanya juga besar. Kita akan ajarkan tentang 'jasa'-nya yang (diperdebatkan) itu, dan tentang dosanya yang nyata. Tentang "swasembada pangan", sekaligus tentang Petrus, KKN, dan daftar panjang pelanggaran HAM yang memuncak pada pelengserannya oleh gerakan Reformasi 1998. Kita akan menceritakan kisah Gus Dur, dan kita akan menceritakan kisah Marsinah.
Gelar Pahlawan mungkin diberikan oleh negara. Sebuah keputusan yang selalu tergantung pada kepentingan yang sedang berkuasa.
Tapi ingatan sejarah adalah mutlak milik rakyat. Dan kita, rakyat, memilih untuk tidak melupakan.
Sofian Junaidi Anom, Pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong.
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua