Guru Tuha, begitulah panggilan seorang ulama asal Kalimantan Selatan yang berjasa terhadap perkembangan Nahdlatul Ulama di tanah Banua. Nama lengkapnya adalah Syekh Abdul Qadir Hasan, putra dari KH Hasan Ahmad. Beliau dilahirkan pada tahun 1981 di desa Tunggul Irang.
Ayahnya, KH Hasan Ahmad merupakan pimpinan kedua Pondok Pesantren Darussalam Martapura periode 1919-1922. Pada masa KH Hasan Ahmad, Pondok Pesantren Darussalam masih menggunakan sistem pendidikan secara halaqah hingga selanjutnya dikembangkan oleh penerusnya, yaitu KH Kasyful Anwar sesuai wasiat beliau.
Masa pendidikan Guru Tuha diawali dengan berguru dengan beberapa kiai di kampung halamannya, di antaranya Tuan Guru Kasyful Anwar yang merupakan pimpinan ketiga Pondok Pesantren Darussalam Martapura dan juga Tuan Guru Abdurrahman atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Guru Adu.
Dalam sebuah cerita, disebutkan bahwa suatu ketika Tuan Guru Kasyful Anwar yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Darussalam mendengar kabar tentang berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh mu’assis Nahdlatul Ulama yakni Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Merespons kabar tersebut, lantas Tuan Guru Kasyful Anwar langsung mengirim murid kesayangannya yakni Guru Abdul Qadir Hasan untuk menyambung sanad keilmuan kepada Hadhratusyyekh selama beberapa waktu sampai akhirnya beliau menjadi salah satu murid kesayangannya.
Ada informasi lain terkait hal itu sebagaimana diungkapkan seorang penulis di NU Online berjudul Syekh Kasyful Anwar, Kiai Karismatik Pendiri NU di Kalimantan Selatan. Pada tulisan itu, untuk mendirikan NU, Syekh Kasyful Anwar sendiri yang datang ke Jawa dan meminta agar organisasi tersebut segera berdiri di Kalimantan.
Selain di Tebuireng, beliau juga menuntut ilmu di beberapa tempat, di antaranya di di Madura kepada ulama karismatik Syaikhona Kholil. Tak hanya itu, beliau bahkan juga pernah menuntut ilmu di tanah suci Makkah al-Mukarramah, lebih tepatnya di Madrasah Salathiyah.
Namun, informasi masa menuntut ilmu beliau dan aktivitasnya di NU secara kronologis diperlukan penelitian lanjutan. Sebagai misal, masa nyantri Guru Abdul Qadir Hasan tidak mungkin setelah 1925 karena masa itu Syaikhona sudah tutup usia.
Sepulangnya dari masa menuntut ilmu, beliau mengabdikan diri di Pondok Pesantren Darussalam dengan mengajar di tempat tersebut. Beliau juga menjadi tangan kanannya pimpinan Pondok Pesantren Darussalam saat itu. Setelah meninggalnya Syekh Kasyful Anwar, KH Abdul Qadir Hasan melanjutkan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Darussalam selama periode 1940-1959.
Di samping kiprah keilmuannya, beliau juga terjun dalam bidang keorganisasian. Ada yang berpendapat, pada muktamar Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 beliau diberikan amanah secara langsung oleh KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan cabang Nahdlatul Ulama di Kalimantan Selatan. Cabang ini menjadi cabang Nahdlatul Ulama pertama di luar Pulau Jawa pada saat itu. Namun, informasi tersebut perlu penelitian lanjutan dan dikomparasikan dengan data-data lain sebagai pembanding karena upaya pembentukan cabang-cabang NU muncul di muktamar ke-3 pada 1928.
Guru Tuha merupakan salah seorang penggerak dan pelanjut Nahdlatul Ulama di Kalimantan Selatan selepas Syekh Kasyful Anwar. Termasuk kepemimpinan di Pondok Pesantren Darussalam, beliau sering melaksanakan forum perkumpulan ulama untuk membahas berbagai problematika umat pada saat itu yang hasilnya juga akan dipublikasikan kepada masyarakat. Forum inilah yang menjadi cikal bakal forum bahtsul masail di Kalimantan Selatan.
Baca Juga
Tuan Guru Bengkel dan NU NTB
Tak hanya itu, KH Abdul Qadir Hasan juga dikenal sebagai sosok yang teguh dalam dakwah. Pada masa kepemimpinannya di Pondok Pesantren Darussalam, beliau banyak mengirim guru pengajar Darussalam ke berbagai daerah bahkan luar Kal-Sel. Para guru pengajar tersebut diberikan tugas untuk mengajar dan berdakwah bahkan mendirikan madrasah ataupun pesantren di daerah tugasnya masing-masing. Hal inilah yang kelak menjadikan Pondok Pesantren Darussalam sebagai Pesantren dengan cabang paling banyak di pulau Kalimantan.
Dengan keteguhannya, pada masa pendudukan Jepang, beliau bahkan tetap berani menjalankan program belajar mengajar Pondok Pesantren Darussalam dengan menginstruksikan pengajaran yang dibagi di kediaman guru-guru pengajar. Hal ini tetap konsisten berjalan hingga akhirnya Jepang angkat kaki dari Martapura pada tahun 1945.
Selain fokus mengajar dan berorganisasi, beliau juga menulis beberapa karya ilmiah. Beberapa karya beliau bahkan masih relevan sampai sekarang seperti kitab beliau yang terkenal berjudul Mir’atut Thullab yang membahas tentang adab-adab santri dalam menuntut ilmu. Selain itu, masih banyak karya-karya beliau dalam berbagai disiplin ilmu yang masih relevan.
Pada hari Sabtu tanggal 17 Juni 1978, Syekh Abdul Qadir Hasan meninggal dunia dan dimakamkan di kubah jalan Masjid Agung al-Karomah Pasayangan Martapura. Untuk mengenang jasa-jasa beliau di Kalimantan Selatan, nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah Masjid yang terletak di desa Kiram, Kalimantan Selatan.
Hingga kini, jasa-jasa beliau terutama terhadap pendidikan dan dakwah Islam di Martapura tetap eksis. Kitab-kitab karya beliau hingga kini tetap dikaji di beberapa majelis, program beliau seperti bahtsul masa’il juga masih berjalan sampai sekarang di Martapura.
Sekarang, estafet perjuangan keilmuan Tuan Guru Abdul Qadir Hasan masih dilanjutkan oleh dzuriyah beliau, di antaranya Tuan Guru Muhammad Zaki, Lc. yang juga menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Tak hanya itu, kiai yang merupakan alumni Universitas al-Ahgaff tersebut juga mempunyai sederet karya tulis ilmiah yang berbahasa Arab. Bahkan sejumlah karyanya disimpan dalam perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin. Di antara karya beliau adalah syarah dari kitab Hidayatuz Zaman karya Tuan Guru Anang Sya’rani yang isinya membahas tentang hadis-hadis tanda-tanda kiamat. Selain itu, beliau juga aktif menjadi mushahih dalam sejumlah forum Bahtsul Masa’il di Kalimantan Selatan hingga kini.
Muhammad Zein Wildan, santri Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, peserta Kelas Menulis Esai NU Online Institute 2025
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua