Opini

Kado 1 Abad NU: Membangun Jam’iyah lewat Kajian Masa Depan

Senin, 4 Juli 2022 | 07:45 WIB

Cuaca cerah dan mentari terik dengan temperatur sekitar 40 derajat celcius memanggang kota permai di pinggir pantai yang merupakan Ibu Kota Uni Emirat Arab (UEA) itu. Tapi di dalam Istana Al Syatie, Abu Dhabi, hawa sejuk terasa mewarnai suasana hangat penuh persahabatan antara dua pimpinan negara yaitu Republik Indonesia dan Federasi UEA.

 

Presiden Joko Widodo, yang baru saja melakukan muhibah perdamaian ke Rusia dan Ukraina, membawa rombongan besar termasuk Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Negara BUMN Erick Tohir, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Sedang Presiden Muhammed bin Zayed (MBZ) Al Nahyan didampingi oleh sejumlah pejabat terasnya, antara lain Menteri Energi dan Investasi Suhail Muhammed Al Mazroei. 


Yang menarik adalah kehadiran satu-satunya tokoh non-pemerintahan dari Indonesia dalam pertemuan itu, yakni KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU. Bukan hanya hadir, beliau juga tampil ke depan dalam acara penting dua negara tersebut.

 

Gus Yahya, demikian panggilan akrab beliau, tampil ke depan bersama dengan HE. Dr. Hamdan Al Mazroei, penasehat Presiden MBZ yang juga Ketua Board of Trustee dari MBZ University for Humanities (MBZ-UH). Persis di depan Presiden Jokowi dan Presiden MBZ mereka berdua berdiri memperlihatkan dokumen kerjasama antara PBNU dengan MBZ-UH dalam bidang pendidikan, khususnya untuk mendirikan MBZ School of Futures Studies (MBZ-SFS) di Indonesia. 


Dalam foto yang beredar tampak dua kepala negara tersebut bertepuk tangan sementara dua tokoh agama terkemuka dari kedua negara tersebut terlihat tersenyum sumringah. Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara PBNU dan MBZ-SH dilakukan sehari sebelumnya, pada 30 Juni 2022, di kediaman HE. Dr. Hamdan Al Mazroei yang terletak persis di sebelah Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Abu Dhabi.

 

Mendampingi Gus Yahya pada malam itu sejumlah fungsionaris PBNU termasuk Ketua LPTNU Prof Ainun Naim, Wasekjen PBNU Sidrotun Naim dan penulis sendiri, juga Rektor UNU Yogyakarta Widya Priyahita, Prof Sahiron dari PWNU DIY berserta tim asisten PBNU A. Ghufron Siradj dan M. Nabil Satria. MBZ School for Futures Studies rencananya akan dikelola oleh Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta (UNU Yogyakarta) dan berkampus di Yogyakarta. 


Apa makna dari kerjasama tersebut bagi Jamaah dan Jam’iyah NU? 


Tahun ini usia Jam’iyah NU akan mulai memasuki Abad Kedua menurut kalender Hijriyah. Rangkaian acara berskala lokal, nasional, dan internasional telah disiapkan oleh PBNU dengan puncak acara akan digelar pada awal Februari 2023 bertepatan dengan 16 Rajab 1444 Hijriyah yang persis merupakan Hari Lahir NU 100 tahun lalu.

 

Nah, bersamaan dengan ancang-ancang memasuki Abad Kedua khidmahnya, PBNU membuat lompatan besar yaitu mendirikan program studi magister kajian masa depan (futures studies) bekerjasama dengan MBZ-UH. Hal ini merupakan kado istimewa yang dibawa oleh KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, bagi peringatan Satu Abad NU pada awal tahun depan. 


Jika segala sesuatunya lancar jaya, maka sebuah bangunan kampus baru berlantai sembilan akan didirikan di Yogyakarta bernama MBZ Tower. Bangunan tersebut akan menjadi pasangan dari bangunan berlantai sembilan yang saat ini sedang dibangun dan akan direncanakan akan diresmikan pada penghujung tahun 2022. Dua Bangunan Kembar Sembilan Lantai tersebut (The Twin Towers) akan menjadi ikon kampus UNU Yogyakarta di masa depan dan sekaligus menjadi kado bagi Satu Abad NU dari dua pemimpin negara tersebut. 


Mengapa PBNU melakukan langkah besar dengan mendirikan program studi kajian masa depan bekerjasama dengan pemerintah UEA? Apa makna dan urgensinya? 


Jamak diketahui bahwa Jam'iyah NU relatif tertinggal dalam pengembangan pendidikan tinggi—misalnya jika dibandingkan dengan ‘saudara sepupu’nya Muhammadiyah. Sejak puluhan tahun lalu, Muhammadiyah telah mendirikan banyak perguruan tinggi berkualitas. Sejumlah perguruan tinggi yang didirikan maupun berafiliasi dengan Muhammadiyah bahkan mampu menduduki posisi papan atas dalam rangking perguruan tinggi swasta di Indonesia. Sementara itu sebagian besar perguruan tinggi yang didirikan atau berafiliasi dengan NU hanya menduduki ranking menengah-bawah. 


Secara bertahap upaya mengejar ketertinggalan itu sudah dilakukan oleh kepemimpinan PBNU sebelumnya. Hal itu terlihat dari didirikannya sejumlah perguruan tinggi oleh pengurusan NU maupun yang berafiliasi kepada NU pada kurun 10 tahun terakhir. Namun, menurut Gus Yahya, upaya itu jauh dari cukup. Menurutnya, untuk mengejar ketertinggalan itu PBNU perlu melakukan lompatan besar; salah satunya dengan mendirikan program studi kajian masa depan yang bahkan merupakan pertama kalinya di Indonesia. 


“Ibaratnya selama ini NU hanya bergerak dalam pengembangan teknologi telekomunikasi 2G dan maksimal 3G. Sementara itu banyak lembaga lain sudah mulai mengembangkan program teknologi 4G. Nah, pendirian prodi kajian masa depan ini ibarat NU mulai mengembangkan teknologi telekomunikasi berbasis 5G. Jadi melampui banyak lembaga lain di Indonesia, bahkan diharapkan menjadi terkemuka di Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Ibaratnya, NU melakukan ‘lompatan besar’ untuk menyalip di tikungan dalam pengembangan peradaban,” ujar Gus Yahya, alumni departemen Sosiologi UGM yang gemar berfikir strategis dan visioner.


M. Najib Azca, Wasekjen PBNU dan dosen Fisipol UGM

 

==========


Artikel ini dikirimkan ke Redaksi NU Online oleh penulis sebagai salah satu pengurus PBNU yang hadir di Abu Dhabi. Versi yang sama dari artikel ini juga ditayangkan di
Republika.