Keberatan Babad untuk Rekonstruksi Sejarah dan Jalan Keluarnya
NU Online · Kamis, 25 September 2025 | 16:16 WIB
Nur Khalik Ridwan
Kolomnis
Babad merupakan warisan berharga dalam kehidupan masyarakat Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Berbagai kitab babad ini ditulis dengan aksara Jawa-Nusantara umumnya, dan ditulis dengan aksara pegon Jawi. Dan, melalui babad inilah generasi sekarang mengenal sejarah masa lalu Nusantara-Jawa-Islam. Babad memberikan narasi yang menjadikan sejarah masa lalau itu hidup dan memiliki bentuk kerangkanya. Ini berbeda dengan prasasti yang, meski juga menjadi sumber merekonstruksi masa lalu, penjelasannya sangat terbatas.
Banyak khazanah babad yang menawan hati dan menyelaminya dapat memunculkan cahaya makna yang dapat diambil manfaatnya. Meski begitu, disadari ada sejumlah keberatan yang diberikan sebagian orang dan sejarawan terhadap babad. Para sejarawan sendiri ada yang menerima babad dan ada yang tidak menggunakannya. Di antara yang menggunakannya, adalah HJ de Graaf ketika menulis Kerajaan Islam Pertama di Jawa dan sebagian sejarawan lainnya.Â
Bahkan dalam sebuah pertemuan di Solo, yang mengumpulkan para sejarahwan dan penulis di kalangan pesantren yang diorganisir oleh LTNU pusat, keberatan-keberatan atas babad untuk merekonstruksi sejarah Nusantara-Jawa masa lalu juga muncul. Saya sendiri hadir di pertemuan itu. Sebagian para penulis ini menginginkan sebuah pembahasan sejarah tentang pesantren dan masyarakat pesantren (juga NU) dijelaskan dengan mengambil sumber-sumber sebagaimana sejarawan umumnya, seperti koran, dokumen, surat menyurat, prasasti, dan lain-lain.Â
Keberatan atas babad ini bisa kita maklumi, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa bergelut dalam kajian sejarah masa lalu, dengan optik sumber-sumber sejarah pada umumnya. Akan tetapi bukan berarti sumber babad harus disingkirkan sama sekali, karena ia memiliki kekuatan luar biasa dalam menjelaskan masa lalu masyarakat Nusantara-Jawa, dan mewakili jenis lain dalam penulisan sejarah lama Jawa. Lebih-lebih babad, ia adalah nalar lain dalam penjelasan sejarah yang berhubungan dengan konteks masyarakat Nusantara-Jawa pada eranya.Â
Dalam sebuah unggahan di NU Online juga ditulis sebagian keberatan ini, dalam tulisan berjudul Kelemahan Historiografi Babad (NU Online, Sabtu, 6 Mei 2017). Dan, keberatan-keberatan orang dan sebagian sejarawan, akan dijelaskan di sini, dan dicari kemungkinan jalan keluarnya, yaitu:
1.   Sebagian isi babad itu mengandung mitos-mitos;Â
2.   Ada perbedaan antara satu babad dengan babad lain;
3.   Perbedaan babad dengan bukti-bukti lain, seperti prasasti;
4.   Menggambarkan kisah yang sulit diterima rasio;
5.   Keruwetan kronologis peristiwa;
6.   Keterbatasan bahasa.
Beberapa keberatan di atas telah banyak beredar dan sebagiannya dimuat dalam NU Online yang disebut di atas. Padahal keberatan-keberatan itu, bukan berarti tidak ada jalan keluarnya, dan bukan berarti cerita babad tidak layak untuk dijadikan sumber menggambarkan Nusantara-Jawa.Â
Baca Juga
Kelemahan Historiografi Babad
Keberatan-keberatan ini, sebenarnya bisa dilihat dengan cara yang lain. Pertama, keberatan nomor 1 dan 4 bisa didekati dengan menerabas ulang cara pandang manusia pengamat: Jawa tidak memadai hanya didekati dengan cara pandang sains dan rasio positif semata, sebab ada banyak simbol-simbol yang dikemukakan dalam babad: (1) kadang dimaksudkan sebagai pasemon, saloka, dan lain-lain; dan (2) kadang memiliki makna yang lain, karena sudut pandang para penulis babad yang berbeda dalam melihat dan menarasikan cerita-cerita Nusantara-Jawa.Â
Para penulis babad bukan para sarjana kampus yang menganut metode sains positif. Ilmu mereka selain bergulat dalam cerita masa lalu sebagai gambaran yang diceritakan dari tradisi lisan, mereka lebih mendefinisikan dirinya sebagai para pewaris khazanah ngelmu rasa Jawa-Islam/Nusantara-Islam. Apa yang disebut kebenaran dalam ngelmu rasa bukan semata apa yang tampak di permukaan saja, tetapi juga apa yang diterima dalam jinem, cipta, dan manah, dalam rasa dan aqal perjalanan mereka. Ini yang membedakan para penilai yang menganggap sebagian cerita babad itu sebagai mitos dan menurut kita, ada makna lain yang perlu diselami.Â
Penegasannya, ada tradisi Ilmu yang dimiliki para penulis babad yang berbeda, dan ada tradisi ilmu lain yang dikembangkan sebagian sejarawan, lebih-lebih yang muncul dari tradisi sains positif. Bagaimana cara kita memperlakukan tradisi keilmuan yang dikembangkan dalam tradisi lisan Jawa-Nusantara Islam (yang kemudian ditulis jadi babad), itulah yang perlu ditinjau kembali.Â
Interpretasi terhadap cerita babad perlu dilakukan terhadap sebagian cerita babad, seperti Raden Walangsungsang yang diludahi Nabi Muhammad dalam mimpinya untuk mencari guru; interpretasi terhadap cerita Ratu Kidul, Sunan Kalijaga yang bertapa lama hingga dipenuhi sulur-sulur gelinggang, dan sejenisnya.
Kedua, keberatan nomor 3 dan 5 bisa dipertimbangkan bahwa ada beberapa bukti sejarah, seperti cerita dari prasasti yang berbeda dengan babad, yang menunjukkan bahwa babad memiliki banyak kelemahan untuk dijadikan sumber sejarah. Hal ini betul, bila hanya membaca di permukaan, huruf-huruf verbally, dan tidak menilik pada keluasan horizon interpretasi atas cerita-cerita babad dan cerita prasasti.Â
Misalnya, nama raja-raja Majapahit oleh babad selalu disebut dengan nama Brawijaya. Sementara prasasti menyebutkan nama-nama penobatan mereka yang berbeda. Apa yang disebutkan prasasti tidak secara otomatis menolak nama Brawijaya, karena nama-nama raja di masa lalu, memungkinkan memiliki nama yang tidak tunggal. Hanya saja, bagi orang Jawa dan ingatan para penulis babad nama-nama raja itu lebih dikenal dan diingat sebagai Brawijaya, daripada nama-nama dalam penobatannya.
Kalau itu bisa diterima, para pengkritik juga menyebutkan, urutan raja-raja di dalam babad tidak sesuai dengan apa yang ada dalam prasasti, karena dalam babad, hanya ditulis sampai Brawijaya terakhir, kemudian terjadi transisi ke Majapahit-Demak. Semua babad menceritakan transisi ini setelah Brawijaya terakhir. Sementara dalam prasasti disebutkan masih banyak nama raja lainnya.Â
Dalam babad memang nama raja terakhir Majapahit adalah Brawijaya V, itu bukan berarti harus dibaca bahwa di Majapahit-pusat tidak ada raja lagi. Tentang ini bisa dilihat: pertama, babad ingin menggambarkan supremasi Majapahit-pusat telah mengalami keretakan dan kehilangan kedaulatan atas sebagian wilayahnya; yang kedua, nama Raja Demak ketika terjadi transisi Majapahit-Demak itu tidak disebutkan pada masa siapa, sehingga ini membuka interpretasi yang lebih longgar, membuatnya lentur dan bisa menerima kemungkinan interpretasi yang sesuai dengan data-data terbaru.Â
Tentang siapa nama Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit versi babad, juga menimbulkan interpretasi yang memungkinkan untuk dijadikan telaah terus menerus: apakah ia Raja Dyah Kertawijaya atau Raja Kertabhumi; dan pada masa raja siapa di Demak-Giri juga bisa ditelaah kembali, karena cerita-cerita Demak tidak menyebutkan secara eksplisit nama sang raja, dan hanya disebutkan memang terjadi berkali-kali serangan silih berganti antara Majapahit dan Demak-Giri.Â
Hal yang menarik, menurut versi cerita-cerita Babad Demak (berbagai babad yang bercerita sampai masa Demak), setelah Brawijaya V itu tidak ada raja lagi yang disebutkan kecuali bercerita transisi ke otoritas Raja Demak. Ini memberikan arti bahwa pada masa transisi ini Majapahit-pusat sudah tidak lagi dianggap sebagai penguasa tunggal, atau bahkan sudah sangat mengecil, sehingga Babad Demak tidak menjadikan Majapahit-pusat itu sebagai cerita besarnya. Ini poinnya. Selain itu, ada kemungkinan kerja sama Majapahit-Demak dengan Majapahit-Kediri, karena versi Pararaton dan interpretasi prasasti yang menjatuhkan Raja Kertabhumi adalah Majapahit-Kediri; dan versi Demak yang menjatuhkan Majapahit adalah Majapahit-Demak. Maka, kemungkinannya, sebenarnya dari sudut Kediri dan Demak memiliki peran masing-masing.
Baca Juga
Babad Panji Menyatukan Asia Tenggara
Dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan awalnya, keduanya bekerja sama: Kediri dan Demak. Baru setelah jatuhnya Raja Kertabhumi yang ditandai sirna ilang kertaning bhumi itu terjadi saling menegaskan pendaulatannya antara Kediri-Demak: baru pada masa setelah itu Kediri bisa dikalahkan oleh Demak, masa Sultan Trenggana.
Ketiga, ada perbedaan cerita babad dengan cerita babad lainnya, kadang-kadang memang demikian. Akan tetapi tidak semuanya berbeda. Hal-hal yang berbeda menunjukkan ada kekayaan khazanah yang hidup dan sedang dikembangkan oleh satu babad: mental yang ingin dikembangkan dan visi kemasyarakatan yang ingin ditanamkan. Bahkan dalam berbagai babad terdapat banyak kesamaan pokok dan intinya, dan hanya diceritakan dalam bahasa yang berbeda.
Penambahan-penambahan misalnya terjadi dalam rumpun Babad Demak. Sebagian Babad Demak (versi Babad Segaluh), ada pertemuan antara Sunan Kalijaga dengan Raja Yudhistira yang tidak bisa mati secara sempurna, dan diminta oleh sasmita yang ada untuk datang ke Jawa. Di Jawa, di tengah hutan, Raja Yudhistira dan istrinya bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga memberikan jimat pamungkas Kalimashadha agar bisa mati secara tenang, dan Yudhistira juga memberikan jimatnya kepada Sunan Kalijaga. Setelah itu Yudhistira merasa gembira dan tenang dalam lampus-nya.
Setidaknya ada 4 acara dalam membacanya: pertama, bila ia menggunakan cara pandang ngelmu rasa, maka kebenaran tidak hanya bisa ditangkap melalui indra mata, tetapi juga indra batin. Nah, dalam hal ini, pertemuan itu bisa dimungkinkan melalau pendekatan itu; kedua, cerita ini juga bisa dibaca bahwa babad versi ini ingin menegaskan ngelmu kasampurnan Jawa yang diajarkan Sunan Kalijaga, pada akhirnya menyempurnakan apa yang terjadi di Jawa, dan akan segera menggantikan ngelmu lama Jawa; ketiga, dilihat sebagai satu versi dalam sebagian babad, dan tidak disebut babad lainnya, maka ia bisa dikatakan hanya menurut versi babad tertentu; keempat, pengembangan yang dilakukan sebagian versi, justru menjadikan satu babad itu berhasil membuat satu khazanah tambahan-carangan yang ia sebutkan, sehingga cerita Sunan Kalijaga itu bila diceritakan satu versi babad dan tidak ditemukan pada versi babad lainnya, berarti sang pencerita memang tidak ingin menekankan hal itu; atau versi yang menyebutkan itu ingin menekankan aspek mental-nilai dan visi kemasyarakatan Jawa.
Dengan demikian, sebagian cerita pengembangan-carangan ini menjadikan babad adalah cerita yang hidup, yaitu cerita nilai, mental dan visi kemasyarakatan, sekaligus cerita rasa yang penuh cahaya ngelmu. Tidak cukup bila ia didekati hanya dengan sains positif. Manusia Jawa adalah melampaui cara pandang ini, dan sebagian versi itu ingin menggambarkan secara lebih hidup untuk menggoda Jawa dan mental-nilai-visi manusia Jawa. Hal ini belum termasuk perlunya diperbandingkan dengan versi Kolonial yang menulis babad: JJ Meinsma, CF Winter, Van Dorp, Rijkcevorsel, dan WL Oltof.
Keempat, keterbatasan bahasa memang selalu ada, karena Jawa itu mewengku khazanah Sanskerta, Kawi, Arab, Persia, dan khazanah lokal sendiri, dan bahasa selalu mengabstraksikan dengan cara menyederhanakan apa yang ingin digambarkan, agar bisa dipahami. Ada bahasa-bahasa yang dimasukkan kadang tidak dipahami dalam tradisi pembacaan babad, bukan oleh penulis babadnya, tetapi oleh pembacanya. Misalnya, kata wahdat, kata Demak, kata ma’dum syarab, kata mina sidni untuk Sunan Ampel, dan lain-lain. Hal ini memerlukan penguasaan terhadap khazanah ngelmu rasa para pewaris khazanah Jawa-Islam, berkaitan dengan tradisi bahasa yang demikian itu.
Jadi, dengan menerima babad kita ingin mengatakan bahwa sains positif itu tidak seluruhnya mewakili cara pandang ngelmu, tetapi bukan sama sekali ditolak. Selain itu, kita memang pertama-tama adalah bagian dari manusia Jawa, yang sedang berikhtiar mengambil kembali warisan lama yang terpendam; baru kemudian menakwilkan dan menjelaskan relevansinya bagi kita dan masa depan khazanah peradaban Jawa. Kita menerima sains positif yang selaras dengan pengembangan tradisi-tradisi Jawa-Islam/Nusantara-Islam, dan pada saat yang sama juga mentransformasikan tradisi-tradisi yang ada sebagai nilai-nilai, mental, dan visi kemasyarakatan Nusantara-Jawa agar anglaras ilining banyu ananging nora keli. Medannya adalah bahasa dan interpretasinya.Â
Karenanya, dalam hal ini cara kita memperlakukan cerita-cerita babad itulah yang justru perlu ditinjau kembali. Posisi demikian ini, juga menjadikan kita tidak perlu kaget menerima eksperimentasi cara sejarawan yang mencoba melihat Jawa dengan bukti-bukti sejarah secara umum dalam optik sains positif, yang akan memperkaya horizon manusia Jawa-Islam melihat Jawa, setidaknya menurut para pengamat dan sejarawan. Intinya adalah, ada bagian-bagian yang perlu diinterpretasikan. Di sinilah, keberatan terhadap babad setidaknya kita cermati dan terima, tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluarnya.
Nur Khalik Ridwan, aktif di Syuriyah Ranting NU Sitimulyo, Piyungan, Bantul dan penulis buku-buku tenang sejarah Jawa-Islam
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua