Oleh Ahmad Rifaldi
Peran KH Abdurrahman Nawi –sapaan akrab Abuya- dalam berdakwah memberikan banyak manfaat dan kesan baik bagi kaum Muslimin yang ada di Jakarta. Kesan publik dalam melihat kealiman Abuya sudah tidak diragukan, terutama karena produktivitasnya dalam menghasilkan banyak karya.
Karya-karya yang lahir dari berbagai macam cabang keilmuan seperti tauhid bernama Sullamul Ibad, nahwu bernama Nahwu Melayu, fiqh yang spesifik menjelaskan tentang tata cara berhaji bernama Manasik Haji, dan lain-lain yang kemudian karya tersebut ditulis dengan bahasa yang sederhana sehingga masyarakat awam dapat memahami dengan lebih mudah. Sehingga banyak kalangan asatidz di Jakarta yang timbul kala ini sebab berkah mengaji kepada Abuya KH Abdurrahman Nawi.
Dikatakan oleh murid Abuya bahwa dahulu saat Abuya masih aktif dalam berdakwah, Abuya bukan hanya dianggap milik Al-Awwabin yakni pesantren yang didirikannya, akan tetapi lebih dari itu, ia sudah dianggap milik sejuta umat. Sehingga sosok karismatik Abuya sudah sangat mewarnai kehidupan banyak orang.
Bahkan bukan hanya dikalangan asatidz dan kiai, sosok karismatik Abuya sangat disegani oleh para habaib, baik di Jakarta maupun lintas daerah. Salah satunya adalah Almarhum Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. Ia merupakan pendiri Majelis Rasulullah yang sampai kini majelisnya masih tetap eksis “bergerilya” di sekitaran Jabodetabek meskipun Habib Munzir sudah tiada.
Diceritakan oleh Ustadzah Diana Rahman yang merupakan salah satu putri KH Abdurrahman Nawi yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Awwabin khusus putri Bedahan, Depok bahwa kedekatan Abuya dengan Habib Munzir mengalir bagaikan kedekatan seorang anak kepada orang tuanya. Jika ada masalah tentang kesulitan berdakwah ataupun beberapa kesulitan lainnya yang menimpa umat muslim khususnya di Jakarta, Habib Munzir datang untuk meminta nasehat dan solusi dari Abuya. Lebih dari itu, Habib Munzir sendiri meminta izin kepada Abuya untuk diangkat sebagai anak. Lantas Abuya pun mengizinkan hal tersebut.
Hal seperti ini menjadi keunikan tersendiri dalam kisah hubungan seorang murid dengan gurunya. Habib Munzir melihat bahwa Abuya merupakan ulama sepuh yang sangat disegani banyak orang. Sehingga Habib Munzir merasa perlu belajar banyak kepada Abuya tentang berbagai hal, terutama yang menyangkut dalam dakwah di Jakarta.
Sampai kini, hubungan pengasuh Majelis Rasulullah dengan Abuya KH Abdurrahman Nawi masih berjalan baik. Abuya terkadang masih suka didatangi oleh Habib Nabiel Al-Musawa yang merupakan saudara Habib Munzir.
Cara Abuya dalam berdakwah adalah melakukan pendekatan yang menyesuaikan karakter orang. Di satu sisi Abuya bisa bergaul dengan para habaib, namun disisi lain hubungan Abuya dengan para kiai dan juga tokoh bangsa tetap erat. Artinya menjadi seorang pendakwah bukan untuk mengotak-kotakan golongan, namun justru untuk menyatukan semuanya. Baik untuk kalangan ulama dan umaro agar tidak terpecah. Akan tetapi kedekatan itu tentu saja harus dilakukan dengan metode yang lembut, sopan, dan tegas dalam ketidaksesuaian.
Hal seperti ini senyalir dengan konsep golongan masyarakat di zaman Wali Songo yang dalam sebuah keterangan termasuk dalam bagian dari ajaran Sunan Kali Jaga. Bahwa terdapat tujuh golongan masyarakat yang diukur dari keterikatan seseorang dengan kebutuhan duniawi. Yaitu golongan brahmana, golongan ksatria, golongan waisya, golongan sudra, golongan candala, golongan mleca, dan golongan tuja.
Golongan brahmana itu merupakan golongan paling tinggi karena memiliki kewibawaan yang kuat dan meresap bagi setiap orang. Mereka dikenal suci yakni mengosongkan diri dari kebutuhan duniawi yang berlebihan. Golongan ini termasuk diantaranya adalah ulama. Tugas ulama adalah untuk menyambungkan hubungan bagi golongan-golongan di bawahnya, terutama adalah golongan ksatria.
Golongan ksatria merupakan orang-orang yang membangun jalan, mengusahakan agar rakyat tidak kelaparan, menjalankan hubungan dengan wilayah lain. Mereka tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi tapi kehidupannya dijamin oleh institusi Negara. Mereka adalah pemimpin rakyat atau umaro. Maka menjadi seorang brahmana tidaklah mudah. Ia harus selalu memberikan kesan baik bagi semua orang dan juga selalu membantu orang untuk menyelesaikan masalahnya dengan pendekatan ketuhanan. Sehingga ada koneksi yang sifatnya linear dari atas ke bawah dan senantiasa bersambung secara dinamis.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa esensi seorang ulama adalah untuk merangkul, memberikan perangai yang sederhana, dan selalu terbuka kepada siapapun. Itulah yang membuat Abuya KH Abdurrahman Nawi dianggap milik umat.
Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta