Opini

Kegigihan Kiai Said Menolak Full Day School

Kamis, 7 September 2017 | 01:30 WIB

Oleh Muhammad Sulton Fatoni

Para kiai se-Indonesia menyimak seksama pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada hari Selasa (5/9) bahwa Presiden Jokowi akan menandatangani Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Telepon dari para kiai dari berbagai penjuru Indonesia masuk ke handphone Kiai Said Aqil. 

Mayoritas isinya senada: Maukah Pak Jokowi mendengarkan nasihat para kiai? Ya, nasihat. Meskipun dalam beberapa bulan terakhir hiruk-pikuk perdebatan tentang Permendikbud nyaris tak terlacak ujung pangkalnya, substansi protes para kiai adalah nasehat kepada Presiden Jokowi tentang indikasi kuat adanya awal proses pendangkalan karakter bangsa Indonesia. 

Kiai Said Aqil melayani telepon dari para kiai satu persatu. Menjelaskan berulang-ulang dengan sabar dan perlahan hasil pembicaraannya dengan Presiden. Terkadang intonasi suara Kiai Said Aqil agak tertekan, alur suaranya terpotong. Mungkin para kiai yang menelepon itu mendesak-desak, minta kepastian, menuntut kelugasan tentang sikap Presiden Jokowi. Kiai Said Aqil selalu menutup teleponnya dengan kalimat, “semoga, semoga, mari kita doakan Pak Jokowi diberi kekuatan.” 

Kami pun di PBNU mengalami hal yang sama. Selasa itu adalah hari kecemasan bagi PBNU karena hanya Kiai Said Aqil yang mampu mengkalkulasi kecenderungan hati Pak Jokowi. Selasa itu, adalah puncak lobby Kiai Said Aqil kepada Presiden Jokowi, “Niat kami ikhlas, demi masa depan anak bangsa,” kata Kiai Said Aqil.

Memasuki hari Rabu, kami bersyukur kepada Allah Swt.  Begitu membaca lembar demi lembar isi Perpres Nomor 87/2017 yang mengakomodir nasehat para Kiai se-Indonesia. Kantor PBNU ramai. Wajah-wajah sumringah mewarnai sudut-sudut ruangan PBNU. Lenyaplah kelelahan lahir batin kami berbalas kenikmatan tiada tara. 

Kiai Said Aqil yang menyaksikan Pak Jokowi membubuhkan tanda tangan Perpres Nomor 87/2017 tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah Swt. Tamu berdatangan mengucapkan selamat. Kiai Said Aqil membalas, “Saya hanya lempeng bersikap karena permintaan para kiai, Pak Jokowi mendengarkan…ya klop wis.”

Kami pun duduk di meja tamu bercengkerama. Mengingat kembali beberapa pekan lalu saat berjibaku memeras tenaga dan pikiran akibat SK Permendikbud 23/2017 yang tiba-tiba muncul. Kekuatan wacana yang dibangun PBNU tidak kuat membendung represive state aparatus yang sedang dimainkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rupanya era reformasi yang bercirikan partisipasi masyarakat dan demokrasi diabaikan Kemendikbud. 

PBNU pun memilih untuk memperluas suara protes dari pusat hingga ke Kabupaten/Kota. PBNU memantau Kemendikbud berakrobat politik dengan cara melakukan lobby langsung ke kiai-kiai di pondok pesantren. Bertepuk sebelah tangan. Kemendikbud tidak digubris para kiai. PBNU saat itu sengaja membiarkan roadshow Kemendikbud ke pondok-pondok pesantren agar tahu fakta penolakan para kiai. 

Kami juga mengingat fase dimana Kiai Said Aqil marah karena didekati dan ditekan seseorang agar menerima Permendikbud tersebut. Di acara IKA PMII kemarahan Kiai Said Aqil ditumpahkan. Di kantor PBNU Kiai Said Aqil memberikan intstruksi, “Semua pengurus PBNU dilarang menghadiri undangan pemerintah yang temanya membahas Permendikbud atau Perpres.” 

Tak satu pun undangan kami hadiri. Kiai Said Aqil juga memantau pemberitaan media massa tentang full day school. Jika ada kader NU yang bersikap tidak tegas terhadap penolakan full day school, Kiai Said Aqil langsung meneleponnya minta klarifikasi. 

Audiensi, pernyataan sikap, aksi protes di jalan sudah menggema di penjuru negeri terutama di Jawa. Kami mendengar tim Kemenag dan Kemendikbud menemui jalan buntu. Persoalan akhirnya ditarik ke tingkat Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Dari tangan Mbak Puan Maharani akhirnya draf Perpres berpindah ke Sekretariat Negara. 

Pada tahap ini Presiden Jokowi mengirimkan Pak Menteri Praktikno untuk membuka dialog dengan PBNU. Kiai Said Aqil menerima dengan hangat dan kami berdiskusi intens. Pak Pratikno ke PBNU, di lain hari kami ke kantor Sekretariat Negara. Semua komponen diajak urun rembug. Menyenangkan iklim yang dibangun Presiden Jokowi.

Di tahap akhir ini perdebatan cukup sengit tapi mengasikkan. Kiai Said Aqil memantau dinamika yang dialami delegasi PBNU. Kiai Said gigih menolak delapan jam sekolah setiap hari untuk pelajar. “Jangan kecolongan, tak ada toleransi untuk full day school.” Pesan Kiai Said Aqil. Di tahap inilah ruang demokrasi dan suara civil society terasa dijunjung tinggi. 

Pak Jokowi benar-benar menanggalkan pendekatan korporatisme otorier dalam mengelola silang pendapat muatan Perpres. Pasti Pak Jokowi memahami bahwa melakukan kontrol politik secara otoriter di era reformasi itu tindakan jadul. PBNU pun bersemangat memberikan masukan kepada pemerintah.

Perjuangan para kiai ini menjadi penggal sejarah yang terdokumentasi di PBNU. Inilah proses pendewasaan berpolitik dan berkuasa. Setelah Pak Presiden Jokowi menandatangi Perpres, beliau mengatakan, "Senang lah menatap ke depan." Ya, Pak. Kami pun lega. Di sela-sela menerima telepon dari para kiai dari berbagai daerah, Kiai Said Aqil berpesan, “Ayo kita akhiri debat hari sekolah.”

Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).