Opini

Kenapa Soeharto Mesti Ditolak Jadi Pahlawan Nasional?

NU Online  ·  Senin, 3 November 2025 | 12:14 WIB

Kenapa Soeharto Mesti Ditolak Jadi Pahlawan Nasional?

Presiden Soeharto yang sedang diusulkan jadi pahlawan nasional (Ilsutrasi: Aceng/NU Online)

Nama Soeharto kembali dalam daftar usulan calon penerima gelar pahlawan nasional tahun 2025 ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). 


Pencantuman tersebut bukanlah yang pertama kali. Sejak 2010, Presiden RI ke-2 itu telah diusulkan sebagai pahlawan nasional. Akan tetapi, selalu kandas terkena batu sandungan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.


Pada tahun 2024, angin itu kembali berembus bersamaan dengan pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR XI/1998 yang berbunyi:


“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia". 


Pencabutan nama Soeharto dari pasal 4 TAP MPR XI/1998 inilah yang menjadi alasan Menteri Sosial memasukkan nama Soeharto ke dalam daftar Pahlawan Nasional 2025 karena dinilai telah memenuhi syarat. 


Lantas, benarkah Soeharto memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional?


Jika menilik Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan, syarat mendapat gelar pahlawan nasional harus memiliki integritas moral dan keteladanan. Artinya, tidak hanya soal politik dan ekonomi, tetapi juga mencakup rekam jejak moral, kemanusiaan, dan tanggung jawab terhadap rakyatnya.


Sepanjang lebih dari tiga dekade kekuasaan, Soeharto membangun sistem yang menempatkan kekuasaan di atas hukum, kekayaan di atas keadilan, dan stabilitas di atas kebebasan.


KKN Tumbuh Subur
Di balik slogan “pembangunan” yang menjadi ikon Orde Baru, justru tumbuh suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sistemik dari pusat hingga daerah. Kekuasaan politik dan ekonomi yang dikonsentrasikan pada lingkaran keluarga serta kroninya, menciptakan jejaring monopoli bisnis yang menjerat hampir seluruh sektor ekonomi nasional. 


Sebagaimana diungkap George Junus Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresidenan (2006), Soeharto dan keluarganya mengendalikan sedikitnya 25 yayasan yang memiliki saham di berbagai perusahaan raksasa. Total kekayaannya mencapai sekitar Rp4 triliun. Ia memiliki 72 rekening dengan deposito senilai Rp24 miliar, sementara keluarga Cendana menguasai sekitar 400 ribu hektare lahan.


Selama 32 tahun kekuasaannya (1967–1998), rezim Soeharto berubah menjadi mesin pendulang kekayaan bagi keluarga dan kroni politiknya. Tidak mengherankan, laporan Transparency International tahun 2004 menobatkan Soeharto sebagai kepala negara paling korup di dunia, dengan dugaan penyelewengan dana publik mencapai US$15–35 miliar, atau setara dengan sekitar Rp240–560 triliun menurut kurs saat ini.


Pembredelan Pers
Namun dosa politik Soeharto tak berhenti pada praktik korupsi. Ia menutup ruang kebebasan, membungkam pers, dan mengendalikan pikiran masyarakat melalui sensor serta ketakutan. Di bawah tangan besi Departemen Penerangan dan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), kebebasan pers dijinakkan dengan mekanisme hukum yang represif.


Rezim Orde Baru membangun sistem kontrol melalui berbagai regulasi, mulai dari TAP MPRS No. XXXII/1966 tentang Pembinaan Pers, hingga UU No. 21 Tahun 1982 dan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 yang mewajibkan setiap media memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di balik jargon “Pers Pancasila”, negara memiliki kewenangan absolut mencabut izin terbit media yang tidak sejalan dengan pemerintah kapan pun dikehendaki, bentuk baru dari pembredelan yang dikemas secara legalistik.


Penelitian Imron dkk. berjudul Pembredelan Pers Pada Masa Pemerintahan Orde Baru (2016) mencatat bahwa pembredelan telah terjadi dalam tiga gelombang besar. Pertama, pada 1970-an, ketika pers seperti Indonesia Raya, Kompas, dan Sinar Harapan dibungkam karena memberitakan aksi mahasiswa menentang korupsi dan ketimpangan ekonomi. 


Kedua, pada 1980-an, Menteri Penerangan mencabut SIUPP media seperti Sinar Harapan dan Prioritas setelah memberitakan kerusuhan politik dan kampanye Golkar. Dan puncaknya pada 1990-an, ketika tiga media besar Tempo, Editor, dan Detik dibredel karena berani mengungkap penyimpangan dalam proyek pembelian kapal perang eks Jerman Timur serta praktik bisnis kroni militer.


Hubungan antara jurnalis dan negara memburuk, ditandai oleh gelombang ancaman, penangkapan, hingga kekerasan fisik terhadap wartawan. Krisis informasi pun terjadi, rakyat hanya boleh tahu apa yang ingin diketahui penguasa Pembredelan inilah instrumen ideologis untuk mensterilkan ruang publik dari kritik dan membentuk wacana tunggal, yakni kebenaran versi pemerintah.


Melanggar HAM
Rezim Soeharto tidak hanya mencatat dosa ekonomi dan kontrol media, tetapi juga menyisakan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Beberapa catatan penting yang penulis himpun dari berbagai sumber antara lain:

 
  1. Peristiwa 1965–1966 terkait dengan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terlibat atau berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Militer di bawah komando Soeharto melancarkan operasi pembersihan besar-besaran. Dalam waktu beberapa bulan, ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang dibunuh di berbagai daerah.
  2. Peristiwa Tragedi Tanjung Priok tahun 1984, saat aparat keamanan menembaki dan menewaskan warga sipil yang berserikat, yang hingga kini korban dan keluarganya menuntut keadilan yang tak kunjung datang.
  3. Kasus penculikan aktivis 1997–1998, di mana tim seperti Tim Mawar dari aparat militer melakukan operasi terhadap aktivis pro-demokrasi. Komnas HAM menyimpulkan terdapat unsur pelanggaran HAM berat.


Ribuan korban dan keluarga sampai hari ini belum menerima pemulihan hak atau keadilan substantif. Keterlanjuran waktu dan hambatan institusional membuat luka politik dan kemanusiaan itu tetap membeku dalam ingatan publik.


Mengkhianati Amanat Reformasi
Maka dari itu, menjadikan Soeharto pahlawan nasional adalah bentuk penghinaan terhadap sejarah dan penghinaan terhadap amanat Reformasi 1998.


Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan menjadi bentuk “banalitas kejahatan”, meminjam istilah Hannah Arendt. Ia menormalkan penindasan dan menjadikan kekuasaan otoriter sebagai sesuatu yang bisa diterima, bahkan dirayakan. 


Gelar pahlawan bukan alat rekonsiliasi politik. Ia dianugerahi moral tertinggi yang hanya pantas bagi mereka yang menegakkan keadilan, bukan bagi mereka yang menindasnya. Soeharto mungkin pernah berjasa bagi negara, tapi ia juga menanggung dosa besar terhadap demokrasi dan kemanusiaan.


Menolak Soeharto sebagai pahlawan bukan berarti menolak sejarah. Justru sebaliknya, bentuk tanggung jawab moral agar sejarah tak lagi dipalsukan. Tentu ini bukan sekadar urusan gelar, tetapi soal bagaimana bangsa Indonesia memandang masa lalunya.

 

Aji Muhammad Iqbal, salah seorang Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang