Opini

KUHAP Ngebut: Hasrat Negara Berkuasa hingga Kamar Tidur Rakyatnya

NU Online  ·  Kamis, 20 November 2025 | 18:00 WIB

KUHAP Ngebut: Hasrat Negara Berkuasa hingga Kamar Tidur Rakyatnya

Ilustrasi hukum (Foto: Freepik)

Di republik ini, ada satu tradisi yang tak pernah masuk warisan budaya UNESCO tetapi dilestarikan penuh kebanggaan. Warisan itu adalah kebiasaan mengambil keputusan besar seperti memesan kopi di warung. Cepat. Spontan. Dan kalau rasanya kurang pas, salahkan baristanya. 


Itulah kira-kira ketika DPR dan pemerintah ketiban semangat berapi-api menyelesaikan pembahasan UU KUHAP dalam waktu, bahkan lebih singkat dibanding waktu yang dibutuhkan netizen ribut di kolom komentar TikTok.


Bayangkan, dua hari. Dua hari mengatur fondasi hukum acara pidana negara berpenduduk 280 juta jiwa. Dua hari memberi aparat wewenang undercover buy yang lebih fleksibel daripada tukang parkir yang bisa muncul di mana saja. Dua hari menyisipkan kewenangan TNI menjadi penyidik, seolah-olah negara kekurangan aparat berseragam.


Dan dua hari ini terjadi bukan di film fiksi legal thriller. Ini terjadi di negara tempat kita bayar pajak, bekerja keras, dan berharap anak-anak bisa tumbuh di bawah hukum yang sehat, bukan hukum yang disusun seperti mengejar deadline proposal lomba 17-an.


Perlu dipertegas, seluruh rakyat harus tahu UU No 8 tentang KUHAP (Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Lahir pada 1981 sebagai anak kandung Orde Baru yang kala itu ingin menunjukkan Indonesia punya sistem peradilan modern. Selain itu, Orba tidak mau dianggap mewarisi sisa kolonial Herziene Inlandsch Reglement (HIR) buatan Belanda abad ke-19. 


Di atas kertas, KUHAP 1981 dipuji sebagai “kitab prosedural paling maju di Asia Tenggara” karena memperkenalkan asas praduga tak bersalah, hak mendapat penasihat hukum, dan praperadilan. Tapi di lapangan, pada aktivis dan ahli hukum menyebut KUHAP sebagai “perhiasan demokrasi dalam rezim mewarisi mentalitas kolonial.” Singkatnya, KUHAP memberi bahasa baru, tetapi semangat Orde Baru tetap menggenggam penuh palu kekuasaan.


Benar. Setelah Reformasi 1998, KUHAP yang “bau masa lalu” harus diperbarui agar sesuai standar HAM internasional. Diskusi revisinya berlangsung dua dekade penuh. Tapi anehnya, setelah rakyat, akademisi, dan masyarakat sipil berdebat 20 tahun, pemerintah dan DPR justru mengesahkannya hanya dalam dua hari. 


Revisi KUHAP yang seharusnya memperkuat hak tersangka malah membuka pintu lebih lebar kewenangan penyadapan, undercover buy, dan peluang masuknya militer ke ranah penyidikan sipil. Dengan kata lain, Reformasi menunggu 20 tahun, kekuasaan hanya butuh 48 jam mengambil alih narasinya.


Kalau KUHAP ini manusia, ia mungkin akan berkata, “Bang, aku belum siap disahkan. Setidaknya kasih aku waktu buat mandi.” Tapi negara kita tidak sabar. Negara kita seperti pejabat baru dapat jabatan. Semuanya harus cepat, meskipun tidak jelas arahnya ke mana.


Dalam dua hari, negara mengubah aturan yang menyentuh jantung keadilan pidana. Hasilnya? Kita memperoleh hukum yang memungkinkan aparat melakukan undercover buy untuk semua tindak pidana. Semua. Mulai narkotika sampai mungkin nanti jual beli lovebird.


Undercover buy atau pembelian terselubung adalah istilah lazim dalam dunia kriminal. Metode atau teknik ini adalah investigasi khusus aparat penegak hukum. Macam polisi ungkap tindak pidana, khususnya berkaitan kejahatan khusus seperti narkoba. 


Dalam operasi ini, petugas yang menyamar (agen) atau informan bertindak seolah-olah sebagai pembeli buat mendapatkan barang bukti narkoba dan menangkap tersangkanya. Di titik ini, rakyat sebenarnya bingung. Ini KUHAP atau paket promo “Semua Bisa Diatur” versi negara? Diam-diam, mengintai warganya kemudian memprosesnya ke muka hukum.


Undercover Buy: Dari Penegakan Hukum ke Potensi Perangkap
Tidak ada yang menolak penegakan hukum yang kuat. Tetapi ketika negara mulai memberi wewenang kepada aparat menciptakan kejahatan agar bisa menangkap pelakunya, kita sedang memasuki fase baru. Negara bukan lagi penjaga aturan, tapi bisa jadi produsen kejahatan.


Undercover buy tanpa batasan. Tanpa pengawasan hakim. Dan berlaku semua jenis perkara seperti memberi SIM A, B, C, D, dan F sekaligus kepada seseorang yang baru bisa naik sepeda seminggu lalu. Kita berharap negara hati-hati, tapi sejarah telah membuktikan negara sering mabuk kekuasaan bahkan sebelum meneguknya.


Lalu muncul babak baru, TNI diberi ruang dalam KUHAP untuk ikut jadi penyidik tindak pidana umum. Kita semua tentu menghormati TNI sebagai penjaga kedaulatan. Mereka hebat, disiplin, dan tangguh. Tetapi menghadirkan TNI sebagai penyidik sipil itu seperti memanggil pemadam kebakaran buat ngurus lampu taman yang putus. Bisa sih… tapi kira-kira apakah itu kerja yang tepat?


Reformasi 1998 dulu berteriak lantang, militer kembali ke barak! Tapi kini negara menjawab, “Ke barak ya, tapi baraknya portable. Bisa dibawa ke kantor polisi kalau diperlukan.”


Belum selesai soal KUHAP, kita akan disambut RUU Polri yang memberi wewenang memblokir internet, melambatkan akses, atau mematikan koneksi jika dianggap mengganggu keamanan nasional. Kalau begini, bayangkan masa depan. Ketika kritik pemerintah, internet lemot. Laporan investigatif tayang, wifi mendadak mati. Live debat politik? Buffering sampai datang kiamat.


Negara tidak perlu membungkam media lagi. Tinggal pencet tombol “mode pesawat” untuk jaringan nasional. Mimpi buruk Orwellian yang dulu cuma kita baca di buku-buku kini mulai terasa seperti notifikasi Shopee Flash Sale, muncul tiba-tiba, bikin bingung, tetapi entah mengapa kok iya selalu terjadi.


Belum puas, negara juga hidupkan lagi pasal karet Penghinaan Presiden dan lembaga negara. Di sini negara menunjukkan sisi romantisnya. Begitu rindu masa lalu, sampai pasal-pasal fosil sisa masa lalu pun dibangunkan dari tidur panjang.


Selain itu, kriminalisasi kumpul kebo kembali diperkuat. Padahal, masalah privasi warga tidak akan selesai dengan ancaman pidana. Yang ada, polisi akan makin sibuk mengurusi urusan ranjang, sementara para penjahat besar tertawa melihat semua ini.


Seolah negara mau bilang, “Kami tidak tahu cara menyelesaikan masalah ekonomi, tapi kami ahli mengatur urusan ranjang dan dalam selimut.”


Empat Undang-undang, Satu Pola Kekuasaan
Kalau kita perhatikan, KUHAP baru bisa memperkuat penyidikan dan memperlemah tersangka. UU TNI (revisi) memperluas peran militer di ranah sipil. RUU Polri kelak bisa saja mengontrol ruang digital. KUHP mengatur moral warga sampai ke dalam rumah yang paling privat.


Semua ini jika digabung bukan jadi puzzle yang indah, melainkan peta jalan menuju negara yang bisa masuk kamar tidur kita. Diam-diam memeriksa ponsel kita. Mengintip dan mengatur apa yang kita ucapkan, dan menentukan bagaimana seharusnya cara kita hidup. Bagaimana batasannya?


Dan semua dilakukan tergesa-gesa, seperti negara sedang buru-buru masuk babak baru otoritarianisme, tapi lupa memberitahu rakyatnya. Para aktivis, mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum yang menaruh perhatian kepada kebijakan pemerintah, alih-alih mendapat perlindungan, justru bisa dipidana karena kritik yang disampaikannya.


Apa yang bisa kita lakukan? Tidak banyak, kecuali, jangan diam. Karena diam adalah vitamin memperbesar otot kekuasaan. Mendorong judicial review, Kalau DPR terburu-buru, Mahkamah Konstitusi bisa jadi rem darurat. Mudah-mudahan rem daruratnya masih berfungsi. Mengingatkan negara bahwa hukum bukan lomba lari jarak pendek. Ia adalah fondasi masa depan, bukan proyek sprint sambil mengejar target-target deadline politik. 


Jangan putus harapan. Reformasi lahir dari harapan, bukan dari ketakutan.


Kita mencintai Indonesia. Dan cinta itu bukan tepuk tangan ketika negara salah ambil langkah. Cinta adalah keberanian berkata, “Hukum harus dibuat dengan akal sehat, bukan dengan stopwatch.”


Karena pada akhirnya, republik ini tidak boleh berubah jadi negara yang mengawasi warganya 24 jam. Menjerat dengan pasal karet. Bahkan memadamkan internet ketika kita sedang kesal dengan kebijakan pemerintah.


Kita tidak ingin anak cucu nanti tanya, “Ayah, benar ya dulu negara mengatur sampai cara orang bicara, cara makan, cukur rambut, tidur, berpikir bahkan bernapas?”


Lalu kita jawab, “Iya, Nak. Tapi waktu itu kami diam, pikiran stuck. Sibuk buffering. Internetnya lambat!”


Abi S Nugroho, Anggota Pengurus Lakpesdam PBNU

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang