Masa Depan Komunikasi Internal NU di Era Digital
NU Online · Jumat, 3 Oktober 2025 | 09:33 WIB
Sofian Junaidi Anom
Kolomnis
"NU itu kalau rapat lewat koran." Demikian bunyi adagium lawas yang sangat terkenal di kalangan aktivis dan pengamat Nahdlatul Ulama (NU).
Ungkapan satir ini memiliki dua makna. Makna pertama bernada positif: NU adalah organisasi yang begitu terbuka dan transparan sehingga perdebatan internalnya pun bisa dinikmati publik. Namun, makna kedua bernada lebih kritis: ungkapan itu adalah sindiran atas tersumbatnya saluran komunikasi internal organisasi. Perdebatan terpaksa diekspresikan melalui ruang publik karena tidak adanya forum internal yang efektif dan kredibel di tingkat pimpinan.
Fakta bahwa tulisan ini—yang membahas masalah komunikasi internal—pada akhirnya juga "terpaksa" harus disampaikan melalui NU Online (media resmi NU yang bersifat publik) membuktikan bahwa adagium lawas tersebut masih sangat relevan. Kita, sebagai pengurus, belum memiliki sebuah "ruang tengah" yang tertutup, kredibel, dan efektif, untuk mendiskusikan hal-hal strategis seperti ini secara internal.
Kita mungkin berharap era digital akan menyembuhkan masalah ini. Kenyataannya, yang terjadi bukanlah sentralisasi, melainkan fragmentasi. Fungsi "koran" (sebagai saluran kritik publik) yang dulu terbatas, kini telah digantikan oleh media sosial (seperti Facebook, X, YouTube, dan TikTok) yang jauh lebih cepat, liar, dan personal. Alih-alih konsolidasi, yang sering kita saksikan adalah disonansi yang lebih kencang.
Persoalannya bukanlah ketiadaan teknologi, melainkan kegagalan kita mengelola dualisme fundamental dalam DNA komunikasi NU: ketegangan konstan antara jalur komunikasi struktural dan jalur komunikasi kultural.
Dualisme Jalur Komunikasi NU
Kita harus jujur memetakan dualisme ini. Di satu sisi, ada "Jalur Komunikasi Struktural". Ini adalah jalur resmi jam'iyah (organisasi) kita, dari pusat hingga ranting. Sifatnya top-down, birokratis, dan berfokus pada efisiensi manajerial. Salurannya adalah Surat Keputusan (SK), instruksi resmi, dan kini, platform administrasi digital.
Di sisi lain, ada "Jalur Komunikasi Kultural". Ini adalah jantung jamaah (komunitas) kita. Sifatnya karismatik, informal, dan berbasis trust (kepercayaan). Salurannya adalah "dawuh" (perintah lisan) kiai sepuh, jaringan alumni pesantren, dan "getok tular". Otoritas di jalur ini tidak diukur dari jabatan struktural, tetapi dari kedalaman ilmu dan marwah.
Disonansi, atau kegagalan komunikasi yang sering kita rasakan, terjadi ketika jalur struktural mengeluarkan pesan yang dirasa oleh jalur kultural telah mencederai "nilai" atau marwah itu sendiri.
Kanal Ramping, Keresahan Emosional
Dalam Ilmu Komunikasi, Teori Kekayaan Saluran (Channel Richness Theory) oleh Richard L. Daft dan Robert H. Lengel membantu kita memahaminya. Teori ini membedakan saluran berdasarkan kemampuannya membawa pesan. Saluran "kaya" (rich channel), seperti dialog tatap muka, sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang kompleks, emosional, dan sensitif. Sebaliknya, saluran "ramping" (lean channel), seperti memo atau rilis pers, hanya cocok untuk pesan rutin dan tidak ambigu.
Di sinilah letak masalah di organisasi kita. Isu-isu yang memicu keresahan di kalangan kiai seringkali adalah isu yang sangat "kaya" dan emosional. Namun, jalur struktural di tingkat pusat seringkali merespons keresahan yang "kaya" ini menggunakan saluran yang "ramping"—seperti konferensi pers atau rilis di situs web resmi. Hasilnya? Pesan tidak sampai. Keresahan tidak terobati. Umat merasa respons pimpinan terlalu "dingin", "jauh", dan "manajerial".
Tentu, kita harus realistis. Jalur kultural NU yang begitu cair dan berbasis karisma kiai nyaris mustahil untuk diwadahi oleh platform digital manapun. Ia adalah ekosistem tersendiri.
Namun, bukan berarti jalur struktural tidak bisa kita benahi. Justru karena jalur kultural sulit dikelola, jalur struktural harus dikelola secara profesional dan sehat.
Jalan Tengah: Platform untuk Soliditas Struktural
Persoalannya, komunikasi struktural kita hari ini masih terjebak antara beberapa ekstrem. Di satu sisi, komunikasi koordinasi internal berjalan "liar" di ribuan WhatsApp Group (WAG) pengurus—ini adalah 'getok tular' versi digital. Di sisi lain (seperti yang dibahas di awal), media sosial terbuka telah menjadi "koran" versi baru untuk mengekspresikan keresahan secara publik. Di tengah kekacauan itu, kita memiliki platform birokrasi seperti DIGDAYA. Platform ini sudah baik untuk fungsinya, namun sifatnya sangat "ramping", yang sejauh ini hanya untuk administrasi surat-menyurat, bukan untuk dialog.
Maka, yang kita butuhkan adalah "jalan tengah": sebuah platform kolaborasi internal (semacam Enterprise Social Network) yang dirancang khusus untuk pengurus struktural. Tujuannya fungsional: bukan untuk "mengendalikan" NU kultural, tetapi untuk menata, menyehatkan, dan mengefektifkan komunikasi di dalam tubuh NU struktural.
Dengan platform ini, kritik dari internal pengurus tidak perlu "bocor" ke media; ia bisa disampaikan di forum internal yang memang dirancang untuk umpan balik. Klarifikasi dari pucuk pimpinan struktural tidak perlu menunggu isu meledak; ia bisa disampaikan secara proaktif dalam forum video internal.
Kita dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan pertama adalah membiarkan status quo: risiko pasif di mana komunikasi berjalan liar di WAG, dan pimpinan hanya bisa reaktif. Pilihan kedua adalah mengambil risiko aktif dengan membangun platform ini, yang ibarat "sistem detektor asap" terpusat. Alarmnya (kritik internal) mungkin akan berisik, tapi itu memberi pimpinan waktu untuk memadamkan api saat masih kecil.
Bukan Soal Teknologi, Tapi Kemauan Politik
Pada akhirnya, ini bukanlah masalah teknologi. Ini adalah masalah kemauan politik pengurus di tingkat atas.
Membangun platform internal bukan sekadar "membeli software". Itu adalah komitmen yang dipimpin dari pusat untuk berubah dari budaya komunikasi "satu arah" (instruksi) menjadi budaya "dua arah" (dialog). Ini menuntut kesiapan mental pimpinan untuk "mendengarkan alarm yang berisik itu" demi kesehatan organisasi.
Sebagai Nahdliyin, kita sangat paham dengan tantangan ini. Perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam.
Namun, di sinilah relevansi kaidah fikih kita yang populer: Maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu. (Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya).
Kita mungkin tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah komunikasi NU (termasuk jalur kultural) dengan satu platform. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak memulai perbaikan sama sekali. Target minimal untuk mencapai soliditas struktural di antara para pengurus adalah sebuah capaian "mendingan" yang sangat penting.
Ini adalah investasi jangka panjang. Generasi pengurus hari ini mungkin masih beradaptasi, tetapi 15 tahun lagi, generasi digital native akan memimpin organisasi ini. Bagi mereka, platform kolaborasi internal yang sehat adalah sebuah keniscayaan. Memulai langkah ini adalah sebuah ikhtiar strategis untuk memastikan jam'iyah dan jamaah kita tetap tersambung di masa depan.
Sofian Junaidi Anom, Pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong. Pernah mendalami Ilmu Komunikasi di FISIP UMM
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua