Mbah Abdullah Salam selalu mengunci rapat kamarnya setiap ada perbedaan tanggal penetapan hari raya Idul Fitri.
Anis Sholeh Ba'asyin
Kolomnis
Mbah Dullah atau KH Abdullah Salam dari Kajen, Pati, Jawa Tengah, adalah salah satu kiai yang semasa hidupnya disegani kalangan nahdliyin. Beliau adalah sosok kiai yang pertama kali “disowani” Gus Dur sehari setelah dilantik menjadi presiden. Dan, meski saat masih menjabat sebagai Ketua PBNU hampir selalu beliau temui, tapi saat berposisi sebagai presiden beliau malah menghindar untuk menemuinya.
Hanya dengan rekayasa, akal-akalan model santri saja yang akhirnya membuat Gus Dur ditemui oleh beliau. Rekayasa pertama, dokter pribadi beliau melakukan beberapa trik rayuan, agar beliau mau keluar kamar untuk menemui banyak orang yang berkumpul di rumah beliau. Rekayasa kedua, Gus Dur masuk rumah beliau dari halaman belakang dan sejak memasuki rumah selalu menegaskan bahwa dia hadir bukan sebagai presiden, tapi sebagai ketua PBNU.
Saya tahu kisah akal-akalan ini belakangan karena malam sebelum kehadiran Gus Dur, beliau mengatakan akan mengunci kamar dan meminta saya untuk tak perlu hadir ke rumah beliau keesokan harinya. Baru pada malam harinya, dengan tertawa ringan beliau bercerita bahwa beliau telah ‘diakali’ oleh santri-santrinya.
Sebenarnya bukan hanya kalangan nahdliyin saja yang segan pada beliau. Sekitar 10 sampai 15 tahun lampau saya mendengar cerita bahwa Pak Harto, presiden kedua (atau ketiga menurut sejarah), menempatkan beliau di urutan pertama dari 40 mursyid thariqah dan wali Nusantara yang coba dihimpun untuk mendoakan keselamatan Indonesia. Dan beliau menolak ajakan tersebut dengan beragam alasan.
Ada banyak kisah yang saya catat saat mengikuti beliau selama 11 tahun akhir masa hidupnya. Salah satunya terkait dengan penetapan Idul Fitri. Yang saya ingat persis adalah: beliau selalu mengunci rapat kamarnya setiap ada perbedaan tanggal penetapan hari raya Idul Fitri.
Mengunci diri di kamar artinya bukan hanya tak mau ditemui siapa pun sejak malam hari raya, tapi juga tak berangkat shalat Idul Fitri. Biasanya beliau baru mau mulai menemui tamu setelah shalat Id; itu pun tanpa mau sedikit pun menjawab bila ada yang menyinggung tentang perbedaan tanggal hari raya Idul Fitri.
Banyak yang mencoba menafsirkan sikap beliau ini. Antara lain bahwa beliau mencoba tak menampakkan sikapnya ketika ada perdebatan, dan mencoba menenggang rasa terhadap pihak yang berbeda pendapat. Entah itu keputusan pemerintah atau organisasi. Harap diingat bahwa perbedaan penetapan Idul Fitri bukan hanya terjadi di saat Orde Baru, tapi juga di masa Gus Dur menjadi presiden—NU ketika itu berbeda pendapat dengan keputusan pemerintah tentang 1 Syawal.
Meski mungkin salah, tapi saya punya tafsir yang agak berbeda. Benar bahwa sebagai sosok kiai, beliau sangat menghindari perdebatan. Tentang ini, beliau acap menceritakan alasannya pada saya. Benar juga bahwa sebagai sosok panutan, karena merasa bukan sebagai ahli falak, beliau mungkin sengaja menghindarkan diri dijadikan rujukan tentang awal 1 Syawal. Dalam hal ini kehadiran beliau ke masjid untuk shalat Id memang bisa dibaca dan diikuti orang sebagai konfirmasi pendapat beliau.
Tapi saya merasa bahwa semua penjelasan tersebut tak terlalu memuaskan. Tetap terasa ada yang kurang dan tak terjelaskan. Sejak awal, semasa masih bersama beliau, saya selalu merasa bahwa sikap ini tak sekadar seperti tafsir-tafsir tersebut, tapi jauh lebih dalam lagi. Ini adalah semacam harapan beliau yang tak terucap agar setidaknya dalam masalah kegembiraan bersama menyambut Idul Fitri umat Islam bisa satu pendapat.
Ada banyak alasan dan fakta yang bisa saya pakai untuk menjelaskan mengapa saya percaya ini, salah satunya adalah kegembiraan beliau saat salah satu besannya yang ahli falak menyodorkan skema perhitungan yang bisa meminimalisasi potensi perbedaan.
Tampaknya harapan beliau masih belum juga dipahami banyak orang. Ini bukan soal menoleransi perbedaan, bukan pula soal tenggang rasa, karena sudah terlalu banyak perbedaan yang muncul dalam banyak masalah. Ini adalah soal kebutuhan umat Islam untuk punya momentum kebersamaan dalam kegembiraan menyambut hari raya Idul Fitri. Dan harapan ini bukan hanya harapan beliau, tapi harapan kebanyakan umat Islam, yang awam terutama, yang selalu merasa ada yang kurang, ada yang tak sempurna dan mengganjal setiap ada perbedaan pendapat tentang 1 Syawal.
Tapi entahlah, mungkin karena memang umat terlalu banyak memiliki orang alim, sehingga susah memahami harapan dari hati orang awam.
Anis Sholeh Ba'asyin, budayawan; penggagas Ngaji Suluk Maleman
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua