Opini

Memahami Pesantren dan Otoritas Kiai

NU Online  ·  Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:14 WIB

Memahami Pesantren dan Otoritas Kiai

Santri sedang mengikuti upacara bendera (Foto: NU Online/Amar)

Setiap kali seorang santri mencium tangan kiai, sebagian orang kota mungkin melihatnya sebagai tanda feodalisme. Tapi bagi dunia pesantren, gestur itu adalah bahasa adab—cara menghormati ilmu dan mereka yang menanggung bebannya. Di balik kesederhanaan hidup seorang kiai tersimpan tirakat panjang yang tak tampak di permukaan—apalagi di layar televisi atau media sosial—yang menahan lapar, berjaga dalam doa, dan menundukkan diri sebelum menundukkan dunia. 


Di banyak kampung di Jawa, nama seorang kiai kerap disebut dengan nada penuh hormat. Bukan karena kekuasaan atau kekayaan, melainkan karena laku hidup yang sulit dijangkau oleh logika dunia modern. Tirakat, kesederhanaan, dan ketulusan menjadikan kiai bukan sekadar guru agama, tetapi penjaga keseimbangan antara ilmu, moral, dan iman.


Ilmunya tidak hanya hasil belajar dari kitab kuning, tetapi juga buah dari tirakat panjang: puasa, wirid, dan laku batin yang menuntut kesabaran serta pengendalian diri. Dalam tubuh seorang kiai, ilmu rasional berpadu dengan ilmu ruhani—antara “ngilmune lan ngelmu.” Karena itu, penghormatan kepada kiai tidak lahir dari gelar, melainkan dari perjalanan panjang untuk menundukkan hawa nafsu dan menegakkan ketulusan.


Dalam antropologi, penghormatan kepada kiai dapat dibaca sebagai bentuk cultural authority—otoritas yang dibangun bukan melalui kekuasaan formal, melainkan melalui pengakuan sosial dan spiritual. Clifford Geertz (1960), dalam studinya tentang masyarakat Jawa, menyebut kiai sebagai bagian dari “santri complex,” yaitu golongan yang menempatkan moralitas, ilmu agama, dan kesalehan sebagai sumber legitimasi sosial. Masyarakat menghormati kiai karena mereka mewakili keseimbangan antara dunia profan dan dunia sakral.


Tirakat sebagai Sumber Otoritas Moral
Tirakat—puasa, wirid, atau berdiam dalam doa panjang—bukan sekadar ritual individual, melainkan tindakan sosial yang memperkuat kredibilitas moral. Dalam praktik ini, tirakat menjadi bukti dari apa yang oleh para antropolog sebut sebagai performative belief: keyakinan yang diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya diucapkan dalam kata-kata. Melalui laku ini, seorang kiai menegaskan bahwa iman bukan sekadar doktrin yang dihafal, melainkan kesabaran yang diuji hari demi hari.


Tirakat menjadi ukuran keaslian spiritual. Mereka melihat bukan hanya bagaimana seorang kiai berbicara tentang kebaikan, tetapi bagaimana ia menjalaninya dalam keseharian. Kesederhanaan hidup, pengendalian diri, dan keheningan yang terjaga menjadi tanda bahwa ilmu yang ia miliki telah menyatu dengan laku hidupnya. Ketulusan semacam itu tidak bisa dipalsukan. Ia lahir dari proses panjang menata diri dan menundukkan hawa nafsu—sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar menempuh jalan spiritual.


Itulah sebabnya, kepercayaan terhadap seorang kiai tumbuh bukan karena gelar, kedudukan, atau popularitas, melainkan karena pengalaman sosial yang berulang: masyarakat menyaksikan sendiri konsistensi dan kerendahan hatinya. Seorang kiai dihormati bukan karena ia memerintah, tetapi karena ia menjadi contoh—teladan yang menghadirkan nilai moral di tengah kehidupan sehari-hari.


Tindakan [tirakat] semacam ini menegaskan bahwa spiritualitas sejati bukan soal jarak antara manusia dan Tuhan, tetapi soal bagaimana seseorang menata dirinya di hadapan sesama. Dalam dunia pesantren, laku batin ini menjadi dasar dari otoritas moral seorang kiai. Otoritas itu tidak diwariskan atau dimenangkan, tetapi ditempa melalui perjalanan panjang yang sunyi. Maka, penghormatan kepada kiai sejatinya adalah penghormatan terhadap konsistensinya menapaki jalan spiritual yang sulit ditempuh oleh kebanyakan orang; jalan kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan—tiga nilai yang kian langka di tengah dunia yang serba cepat hari ini.


Pesantren dan Logika Budayanya
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, kiai kerap menjadi pusat gravitasi sosial. Ia berperan sebagai penafsir makna hidup, penengah konflik, sekaligus penjaga moral komunitas. Seperti dijelaskan Bronislaw Malinowski (1922), figur semacam ini penting untuk menjaga keteraturan sosial, karena ia menyalurkan nilai dan makna yang menyatukan masyarakat. Dengan kata lain, kiai adalah simbol kontinuitas dan harapan.


Namun dalam beberapa hari terakhir, muncul kritik yang menilai penghormatan terhadap kiai telah berubah menjadi feodalisme kultural oleh salah satu stasiun televisi swasta. Kritik ini berangkat dari logika egalitarianisme modern yang menolak hierarki dan menuntut semua otoritas bisa dipertanyakan.


Masalahnya, penilaian seperti itu sering gagal memahami logika budaya pesantren. Dalam dunia pesantren, relasi antara kiai dan santri bukan relasi kekuasaan, melainkan relasi spiritual: antara mursyid dan salik, antara guru dan pencari jalan kebenaran. Penghormatan terhadap kiai bukan bentuk penundukan, tetapi bagian dari etika belajar—pengakuan atas ilmu yang diwariskan dengan adab dan tirakat.


Pierre Bourdieu (1977) menyebut pola semacam ini sebagai habitus—struktur nilai dan tindakan yang membuat suatu praktik menjadi masuk akal dalam dunianya sendiri. Dalam habitus pesantren, menundukkan kepala di hadapan kiai bukan tanda tunduk pada manusia, tetapi bentuk kesadaran bahwa ilmu harus diterima dengan rendah hati.


Lebih jauh lagi, hierarki dalam pesantren justru menjadi cara menjaga kesinambungan ilmu (sanad). Ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi diwariskan dengan keikhlasan. Penghormatan kepada kiai disertai tanggung jawab moral baginya untuk menjaga keikhlasan, menghindari kesombongan, dan menjadi teladan bagi para santri.


Antara Adab dan Modernitas
Bagi sebagian orang luar, relasi yang hierarkis di pesantren mungkin tampak usang. Dunia modern memang cenderung mengukur segalanya dengan rasionalitas dan kesetaraan formal. Namun pesantren hidup dalam logika yang lain: logika moral dan spiritual, di mana ilmu tak pernah berdiri sendiri tanpa adab.


Menyebut pesantren feodal berarti menilai tradisi dengan ukuran yang tidak sepadan. Dalam dunia modern, pengetahuan sering dipisahkan dari moralitas; dalam pesantren, keduanya justru menyatu. Di sana, ilmu tanpa tirakat dianggap kering, dan adab tanpa ilmu dianggap buta. Karena itu, penghormatan kepada kiai bukanlah penghambaan, melainkan bentuk kesadaran etis bahwa pengetahuan sejati memerlukan kerendahan hati.


Oleh karena itu, pesantren dapat dipahami sebagai komunitas moral—ruang sosial yang dibangun di atas kesalehan, etika belajar, dan penghormatan terhadap ilmu. Hierarki di sana tidak menindas, tetapi menuntun; otoritas tidak memerintah, tetapi memberi arah.


Pada akhirnya, penghormatan terhadap kiai adalah cara masyarakat memaknai ilmu, kebijaksanaan, dan moralitas. Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, kiai tetap menjadi pengingat bahwa pengetahuan sejati lahir bukan dari kepintaran, tetapi dari kesabaran dan keikhlasan. Dalam sosok kiai, masyarakat menemukan harapan bahwa di antara hiruk-pikuk zaman, masih ada mereka yang menempuh jalan sunyi untuk menjaga makna hidup.


Moh. Faiz Maulana, Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia


 

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang