Oleh: Abdul Rahman Ahdori
Rancangan Undang-Undang Budidaya Pertanian Berkelanjutan telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9) kemarin. Pengesahan regulasi pertanian tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2019.
Lahirnya regulasi baru yang mengatur kegiatan terencana pemeliharaan sumber daya hayati tersebut menjadi harapan besar para petani, terutama petani kecil yang berada di desa-desa terpencil. Mereka berharap, regulasi itu berpihak kepada kebutuhan petani saat ini, misalnya mampu mentransformasi pertanian Indonesia dengan mengarah kepada peningkatan kemampuan petani untuk mengelola pertanian secara mandiri dengan hasil yang maksimal.
Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang terkait sumber daya alam tersebut mendapat kritikan dari kelompok masyarakat karena dinilai tidak pro kepada petani-petani kecil. Bahkan, Guru Besar Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menyebut Undang-Undang ini sebagai ancaman bagi petani, utamanya petani yang fokus pada budidaya benih.
Poin yang dikritisi masyarakat misalnya salah satu pasal yang menyebutkan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melaporkan kepada Pemerintah. Padahal selama ini, budaya pertanian Indonesia mandiri benih termasuk dalam mengembangkan benih-benih unggulnya.
Sementara pihak DPR menilai UU baru terkait pertanian tersebut sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sistem pembangunan berkelanjutan yang perlu ditumbuhkembangkan dalam bidang pertanian. Menurut analisis para legislator, hadirnya Undang-Undang itu juga untuk mencapai kedaulatan pangan sehingga mewujudkan sistem pertanian yang maju, efisien, bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang baru saja disahkan terdiri dari 22 BAB dan 132 Pasal. Adapun beberapa materi muatan penting yang diatur dalam UU ini diantaranya adalah pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya pertanian dilakukan dengan pendekatan pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip pertanian konservasi yang bertujuan melindungi, memulihkan, memelihara, dan meningkatkan fungsi lahan guna peningkatan produktivitas pertanian berkelanjutan.
Namun, peredaran hasil pemuliaan petani kecil dikecualikan dari proses pelepasan oleh pemerintahan dengan begitu petani kecil harus melaporkan kepada pemerintah jika ia sebagai pemula benih pertanian.
Nilai yang menjadi harapan baik bagi petani menurut penulis yakni pasal yang menyebutkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan bank genetik, cadangan benih tanaman, dan benih hewan atau bibit hewan, serta cadangan pupuk nasional. Kemudian, pemberian insentif kepada petani pemula dan petani yang melakukan budi daya pertanian dan meningkatkan produksi serta produktivitas hasil pertanian. Poin ini peluang bagi para petani untuk tetap fokus pada kegiatan taninya. Selama ini petani mengurusi berbagai hal yang mengakibatkan tidak menentunya hasil panen termasuk gagal panen yang merugikan para petani, sementara ketika pasal ini diberlakukan petani tidak usah khawatir jika mengalami gagal panen pemerintah wajib memenuhi kewajibannya yakni memberikan intensif dalam segala bentuk dengan begitu upaya pengembangan pertanian Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sejahtera kian terealisasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Seperti kita ketahui, Undang-Undang SBPB ini merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang SBT yang telah diajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat karena beberapa kali terjadi kasus kriminalisasi petani pemulia benih.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan permohonan dengan putusan Nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (1) UU SBT bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai diskriminatif dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan dan mengedarkan benih.
Kita sebagai masyarakat harus mengawal implementasi Undang-Undang SBPB oleh pemerintah pusat dan daerah, supaya tujuan-tujuan mulia yang tertuang pada undang-undang tersebut tidak disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Petani tidak boleh diam, harus terus menggali poin-poin penting yang tertulis pada Undang-Undang SBPB ini. Selama ini petani hanya fokus bertani, tidak ikut serta menggali regulasi yang berlaku, sehingga pendapat yang disampaikan adalah asumsi yang berpotensi meretakan hubungan antara petani dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kewenangan memiliki banyak kekurangan untuk itu perlu diingatkan oleh petani sebagai pelaku utama pengembangan hayati Indonesia.
Sebagai bagian dari masyarakat, penulis berharap para pemangku kebijakan dapat mempelajari berbagai masukan dari masyarakat agar gebrakan yang dilakukan tidak salah sasaran. Keadilan petani harus kita utamakan, ingat pesan yang dilontarkan oleh KH Hasyim Asy’ari bahwa petani adalah penolong negeri.
Selamat Mereformasi Pertanian Indonesia
Penulis adalah Mahasiswa Paskasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.