Oleh Hagie Wana
Islam adalah agama yang berkemajuan, agama yang menghendaki umatnya untuk senantiasa mengembangkan potensi akal yang telah dianugerahkan kepada segenap manusia. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW pun diutus menjadi rasul mengemban tugas mulia yaitu membimbing dan menggiring umat dari kegelapan menuju cahaya. Dalam konteks yang lebih luas, bisa kita interpretasikan kegelapan di sini bukan hanya dalam ruang lingkup ritual kegamaan saja. Namun lebih dari itu, konsep minadh-dhulumat ilan-nuur adalah membawa manusia dari gelapnya kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu pengetahuan.
Hasilnya, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama pasca wafatnya Nabi, Islam terbukti turut andil dalam mengembangkan peradaban. Dari mulai Afrika, Spanyol, Turki dan wilayah lainnya yang sempat mengalami masa kejayaan, semua pernah mendapat sentuhan Islam. Banyak bukti-bukti peradaban yang menjadi saksi sejarah maju dan pesatnya perkembangan Islam.
Namun jika kita cermati wajah umat Islam dewasa ini, terutama di Indonesia, fenomena kemiskinan, kebodohan, kejahatan, bahkan perpecahan, menjadi potret sebagian besar umat Islam di Indonesia. Tanpa mengabaikan semangat persatuan dan kesatuan, kita sebagai pribadi Muslim tidak bisa menutup mata menyikapi keadaan bahwa meskipun menempati posisi mayoritas, namun umat Muslim di Indonesia belum bisa berbicara banyak mengenai hal menciptakan peradaban. Peradaban di sini tidak hanya berwujud dalam bangunan fisik/material saja tapi juga dalam hal ilmu pengetahuan atau sosial budaya.
Perlu kita akui bahwa Muslim di Indonesia hanya baru mampu mengimplementasikan ibadah ritual, belum mecapai ruang-ruang ibadah sosial. Tampaknya, diskusi (baca:debat) kajian/materi keagamaan yang cenderung bersifat sektarian atau fanatisme golongan sehingga berdampak pada terjadinya disintegrasi antar umat dan semakin memperuncing perbedaan, lebih disenangi khususnya oleh para kawula muda ketimbang merambah pengetahuan ilmu-ilmu populer dan mutakhir lainnya. Waktu kita terkadang habis hanya meributkan masalah-masalah yang sepele. Bulan Ramadhan kemarin contohnya, hampir 2 pekan lebih umat Islam saling beradu argumen mengenai rumah makan yang buka di siang hari.
Maka pantas apabila umat Islam di Indonesia akan tertinggal secara wawasan dan ilmu pengetahuan secara global. Sudah seharusnya generasi muslim mengedepankan argumen rasional untuk menjembatani pelbagai perbedaan paham, serta bersatu padu menyeselsaikan problem yang dihadapi umat Islam pada umumnya seperti misalnya keterbelakangan dalam hal pendidikan atau ekonomi, yang mana jika dikaji dalam perspektif agama, akan menambah khazanah keilmuan Islam itu sendiri. Sehingga Islam menjadi role mode dalam pemecahan masalah global.
Untuk mewujudkan generasi dan mencetak ilmuwan/cendekiawan muslim yang ilmiah dan agamis perlu dilakukan berbagai upaya. Hemat penulis, sekurang-kurangnya perlu dilakukan uapaya-upaya sebagai berikut:
1. Menguasai ilmu pengetahuan
Generasi Muslim hendaknya membuka cakrawala pengetahuan seluas-luasnya. Jangan habiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak berfaedah. Kedepan generasi muda –terutama kaum santri yang menjadi tulang punggung generasi Muslim bangsa ini- harus lebih responsif terhadap kemajuan zaman tanpa mengubah idelisme dan orientasinya sebagai seorang santri. Mau tidak mau kita harus menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan guna mencetak ilmuwan/cendekiawan muslim yang ilmiah dan agamis.
Dalam Al-Quran pun kita sering menjumpai ayat inna fii dzalika laayati liqaumi ya’qilun, atau yatafakkarun, atau yadzakkarun yang mengindikasikan bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah (wahyu) itu akan terbuka oleh orang-orang yang berpikir, berakal dan merenenungi. Oleh sebab itu sudah menjadi tanggung jawab kita untuk terus berusaha membaca dan membuka rahasia wahyu Allah untuk mengembangkan peradaban Islam
2. Matikan mitos, hidupkan nalar
Indonesia, negara dengan keberagaman budayanya tentu memiliki serangkaian hal-hal yang dimitoskan oleh sekelompok masyarakat di daerahnya masing-masing. Mitos pada dasarnya adalah sebuah cerita rekaan yang tak dapat diterima oleh akal. Namun terus menerus tersosialisasikan secara turun temurun. Banyak hal-hal yang potensial untuk digali dan banyak manfaatnya namun tidak berani mengungkapnya karena terikat oleh kebudayaan setempat. Inilah salah satu penyebab mandeknya para ilmuwan/cendekia dari kalangan Islam. Sedikit demi sedikit hal-hal yang berbau mistis haruslah dikikis dan dibarukan dengan kebiasaan ilmiah tanpa merusak tatanan kebudayaan yang ada. Karena membangun sebuah peradaban yang ilmiah, harus dimulai dari kebiasaan masyarakatnya yang ilmiah pula. Caranya, perlu ada upaya reseleksi, redefinisi, reorientasi, dan reimplementasi terhadap tata nilai, norma, sosial budaya yang sudah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Nusantara.
3. Kembangkan institusi pendidikan Islam
Dewasa ini perguruan tinggi Islam (PTI) yang dibangun oleh pemerintah ataupun dikelola secara mandiri oleh ormas semakin berkembang. Hal ini harus kita sikapi dan apresiasi secara positif sebagai langkah untuk mencetak generasi yang ilmiah dan agamis. Banyak PTI yang di dalamnya membuka prodi-prodi di luar ilmu keagamaan namun tetap dikemas secara Islami. Hal ini tiada lain bertujuan untuk menunjang dan menjawab kebutuhan umat yang membutuhkan ilmuwan/cendekiawan Muslim yang ilmiah dan agamis.
Itulah yang harus kita upayakan bersama guna mencetak pemikir-pemikir Muslim yang mampu membangun peradaban ilmiah dan agamis, dalam rangka mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamiin.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua