Opini

Meneguhkan Trilogi Ukhuwah NU

Sabtu, 27 Februari 2021 | 14:00 WIB

Meneguhkan Trilogi Ukhuwah NU

NU Care-LAZISNU serahkan bantuan perahu dan alat penangkap ikan kepada nelayan terdampak tsunami di Lampung Selatan. Ini salah satu bentuk implementasi ukhuwah. (Foto: M Wahid)

Nahdlatul Ulama (NU), pada tahun 2021, berusia hampir genap satu abad (seratus tahun); tepatnya 95 tahun dalam hitungan Masehi, dan 98 tahun dalam hitungan Hijriah. Hari lahir (Harlah) NU adalah tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M. Harlah ke-98 NU, yang bertepatan tanggal 28 Februari 2021, bertema ”Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan”. Dalam momentum Harlah ke-98 NU itulah, ajaran dan prinsip NU, seperti trilogi ukhuwwah, penting disebarluaskan dan direvitalisasikan ke dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

 

Trilogi ukhuwah (tiga semangat persaudaraan) sangat penting diperteguh, mengapa? Karena Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas kebinekaan, keragaman ras, suku, agama, warna kulit, keyakinan dan afiliasi politik, terlebih di era informasi dan media sosial (mesdos) bila tidak dikelola dengan baik, dapat mengakibatkan disintegrasi bahkan kehancuran bangsa dan negara. Lebih dari itu, NU, sebagai jam‘iyyah dîniyyah ijtimâ‘iyyah, perkumpulan atau organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia, dengan jelas berorientasi memupuk dan memelihara trilogi ukhuwah: ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah/ukhuwah insaniyah. Orientasi ukhuwah ini secara gamblang digariskan dalam Anggaran Rumah Tangga NU (ART NU), tepatnya Pasal 16 Bab VIII Kewajiban dan Hak Anggota, berbunyi: ”Anggota biasa berkewajiban: c. Memupuk dan memelihara ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.”

 

Mengenai ukhuwah ini telah diperteguh kembali dalam Keputusan Muktamar Ke-33 NU di Jombang tahun 2015, yang membahas tentang Khashâ’ish Aswaja An-Nahdliyah (Karakteristik Aswaja NU). Dalam poin 9 disebutkan: ”Menjaga ukhuwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU”. Jauh-jauh hari sebelumnya, Trilogi Ukhuwah ini telah dirumuskan dan ditetapkan dalam Keputusan Muktamar NU Ke-29 Tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya, mengenai al-masail al-maudhu’iyah tentang Pandangan dan Tanggung Jawab NU terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan.

 

Trilogi ukhuwah ini dibangun di atas pandangan NU tentang pola keterpaduan tata hubungan dengan sesama manusia (al-‘alâqah bain an-nâs). NU menerapkan pola keterpaduan tata hubungan dengan sesama manusia dalam trilogi ukhuwah, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Ukhuwah islamiyah merupakan tata hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan keagamaan (keislaman). Ukhuwah ini merupakan persaudaraan sesama muslim, yang tumbuh dan berkembang karena kesamaan akidah, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Tata hubungan ini menyangkut dan meliputi seluruh aspek kehidupan (ibadah, muamalah, munakahat, mu‘âsyarah, interaksi keseharian) yang akhirnya akan membentuk dan menumbuhkan persaudaraan hakiki.

 

Ukhuwah wathaniyah adalah tata hubungan antar sesama manusia yang berkaitan dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Tata hubungan ini mencakup aspek yang bersifat muamalat (kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan), dalam konteks sebagai warga negara memiliki kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Ukhuwah basyariyah adalah tata hubungan antara manusia yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal. Tata hubungan ini mencakup aspek yang berkaitan dengan kesamaan martabat kemanusiaan (dignity) untuk kehidupan yang sejahtera, adil dan damai.

 

Saling Menunjang, Tidak Saling Bertentangan

Di dalam penerapannya, ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan ajaran yang harus mendapatkan stressing, perhatian seksama dan penuh kearifan. Hubungan ini harus dipandang sebagai pola hubungan yang saling membutuhkan dan mendukung, yang harus diwujudkan serentak dan tidak boleh dipertentangkan di antara keduanya, karena mempertentangkan keduanya justru merugikan terhadap kehidupan umat Islam, khususnya, dan kehidupan berbangsa dan bernegara, umumnya.

 

Oleh karena itu, dalam Keputusan Muktamar Cipasung tersebut ditetapkan bahwa dalam implementasi ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah diperlukan sikap yang sehat yang mencakup empat sikap, yaitu sikap akomodatif, sikap selektif, sikap integratis dan sikap kooperatif. Sikap akomodatif berarti kesediaan menampung berbagai kepentingan, pendapat dan aspirasi dari berbagai pihak. Sikap selektif berarti sikap cerdas dan kritis untuk memilih kepentingan yang terbaik, ashlah (lebih maslahat), dan anfa‘ (lebih manfaat) di antara ragam pilihan/alternatif yang ada. Sikap integratif berarti kesediaan menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan dan aspirasi tersebut, secara benar, adil dan proporsional. Sikap kooperatif berarti kesediaan hidup bersama dan bekerja sama dengan siapapun di dalam kegiatan yang bersifat muamalat (relasi antar manusia), bukan ibadah. Lebih dari itu, dalam memahami ukhuwah bukan hanya perlu keseragaman, tetapi juga perlu kesediaan untuk ”bersatu dalam keanekaragaman” (unity in diversity). Atas dasar itu, dalam implementasi trilogi ukhuwah tersebut hendaknya dilakukan secara proporsional, seimbang dan menurut tuntunan syariat Islam.

 

Landasan ukhuwah sangatlah jelas dalam Islam. Islam mengajarkan agar saling mengenal dan berinteraksi yang manfaat, dan agar kaum muslimin melakukan ishlâh (perdamaian), bila terjadi pertikaian di antara mereka (QS. 49: 13 dan 9). Perdamaian ini bagian dari tujuan utama ajaran Islam (maqâshid al-Syarî`ah), Rahmatan Lil ‘Alamin, dan sejalan dengan ungkapan Arab: al-Ashl fî al-‘alâqah al-insânîyah al-silm, pada dasarnya prinsip utama dalam relasi kemanusiaan adalah perdamaian. Nabi SAW bersabda: ”Wahai manusia! Tebarkanlah kedamaian, jalinlah silaturahim (persaudaraan dalam arti luas), dan berilah makan orang yang membutuhkan, niscaya kalian akan masuk surga dengan kedamaian.” (HR. at-Tirmidzî dari ‘Abdullâh bin Salâm). Dalam konteks tata hubungan umat seagama, sesama mukmin atau umat Islam adalah laksana satu bangunan, yang saling menopang sehingga bangunan itu berdiri kokoh (HR. al-Bukhârî dari Abû Burdah). Oleh karena itu, Nabi SAW mengingatkan: Lâ yadkhul al-jannah qâthi‘, ”tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahim” (HR. al-Bukhârî). Dus, orang yang berbuat intoleransi, hatespeech (ujaran kebencian), menyebarkan hoax (hoaks), adu domba, radikalisme, anarkisme bahkan terorisme, yang merenggut nyawa manusia secara zalim, tentu bukanlah aksi surga, tetapi aksi neraka.

 

Trilogi ukhuwah merupakan bagian dari Aswaja An-Nahdliyyah, untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang fundamental: keadilan (ta‘âdul), kesimbangan (tawâzun), moderat (tawassuth), toleransi (tasâmuh) dan perbaikan/reformatif (ishlâhiyyah). Nilai-nilai Islam dalam rumusan Aswaja itu kemudian dibingkai dalam bangunan Fikrah Nahdliyyah, yaitu paradigma (kerangka berpikir) yang didasarkan pada paham Aswaja sebagai landasan berpikir NU (khiththah nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlâh al-ummah (perbaikan umat). Fikrah nahdliyyah mempunyai empat ber-khashâ’ish (karakter): (1) tawassuthiyyah (moderat), bersikap tawâzun (seimbang) dan i‘tidâl (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan, tidak tafrîth atau ifrâth; (2) tasâmuhiyyah (toleran), dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain yang beragam; (3) Ishlâhiyyah (reformatif), senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlâh ila mâ huwa al-ashlah); (4) Tathawwuriyyah (dinamis), senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan; dan (5) Manhajiyyah (metodologis), mengacu kepada manhaj (metode, pendekatan). Kelima fikrah ini dikemas dalam bingkai ciri wasathiyyah, yakni moderasi, yang mencakup tiga ciri khas yang menonjol (tawassuth, ta‘âdul dan tawâzun).

 

Melalui prinsip-prinsip tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap akomodatif, dan toleran, serta menghindari sikap ekstrim (tafrîth, ifrâth) dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun. Alasannya. Karena paradigma Aswaja mencerminkan sikap NU yang selalu dilandaskan atas pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek menarik mashlahah (kebaikan, manfaat) dan/atau menghindarkan mafsadah (keburukan, kerusakan). Inilah nilai-nilai Aswaja yang melekat dalam tubuh NU yang menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di dunia. Dalam kerangka Fikrah An-Nahdliyyah dan kemasan Prinsip Wasathiyyah (Moderasi) inilah, Ukhuwah diterapkan untuk mencapai kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai (salâm, peace).

 

Sikap dan perbuatan intoleran, hatespeech, hoax, adu domba, memecah belah persatuan bangsa, radikalisme dan terorisme sangatlah bertolak belakang dan bertentangan dengan Trilogi Ukhuwah yang ditetapkan NU. Maka, setiap upaya yang mencederai prinsip Trilogi Ukhuwah, seperti propaganda sistem khilafah dalam ragam strategi dan modelnya, sebagaimana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), meskipun telah dibekukan legalitasnya, karena bertolak belakang dengan sistem negara berdasar persepakatan bangsa (dâr al-‘ahd wa as-sulh), wajib dihindarkan semaksimal mungkin (al-hifzh min jânib al-‘adam). Setiap upaya yang mendorong dan menjamin terwujudnya Trilogi Ukhuwah, seperti  peneguhan dan pengamalan Pancasila, wajib didukung dan diteguhkan dengan maksimal (al-hifzh min jânib al-wujûd).

 

Ahmad Ali MD, Kolomnis Keislaman, Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Banten