Ahmad Rozali
Dua hari lalu saya terlibat dalam sebuah pertemuan kecil di Bogor. Saat obrolan berjalan santai, seorang kawan tiba-tiba mengucap “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Ustaz Arifin Ilham meninggal dunia”. Tentu ucapan itu membuat kami kaget. Saat ditanya mengenai sumber informasinya, teman saya ini mengaku mendapat dari seorang ustaz yang juga cukup terkenal melalui sebuah aplikasi chatting jalur pribadi.
Saya yang berada di sana seketika mengecek kebenarannya melalui mesin pencari dengan merujuk pada beberapa kantor berita yang kredibel. Dugaanku benar; temanku termakan hoaks. Informasi yang baru saja ia sebarkan adalah informasi keliru. Sebab beberapa menit sebelumnya, sejumlah kantor berita ternama baru menayangkan kondisi Ustaz Arifin Ilham terbaru yang baru saja dibesuk koleganya.
Mengenal jenis, bentuk dan sebaran hoaks
Fenomena seperti ini tak mengagetkan. Sebab sejauh yang saya temukan, informasi kematian adalah salah satu jenis informasi yang mudah 'dihoakskan'. Informasi hoaks tentang kematian sama mudahnya merebak dengan informasi bencana, kecelakaan, orang hilang, penculikan anak dan informasi lain 'yang mempermainkan perasaan pembaca'. Pembaca yang sedang tidak awas akan tergugah untuk menyebarkan informasi tersebut, seketika. Apalagi dalam kasus ini, di saat yang bersamaan orang yang bersangkutan (Utsaz Arifin Ilham) sedang menderita sakit cukup kritis, sehingg mudah di-twist pada informasi lain (kematian).
Menurut data resmi Masyarakat Anti Fintah Indonesia (Mafindo), konten terbanyak yang mengandung berita hoaks adalah konten politik, agama dan kesehatan. Mafindo sendiri mengkategorikan konten hoaks pada sebelas kategori yang setiap tahunnya sejak tahun 2014 hingga 2018 mengalami peningkatan. Dalam sebuah kesempatan di televisi swasta baru-baru ini, Anita Wahid, putri ketiga Gus Dur yang merupakan pentolan Mafindo mengatakan bahwa dalam sehari terdapat rata-rata tiga konten hoaks. “Tahun 2018 adalah puncak dari banyaknya konten hoaks di sosial media. Sekarang ini rata-rata konten hoaks tiga sampai empat setiap harinya,” kata Anita Wahid beberapa waktu lalu.
Hoaks juga bisa datang dalam berbagai bentuk informasi, bisa berbentuk tulisan, gambar dan video. Platform yang digunakan juga banyak; aplikasi chatting seperti kasus di atas, media sosial (facebook, twitter, instagram dan yang lain), channel youtube, hingga website.
Jika diperhatikan secara seksama, konten hoaks baik di website ataupun di platform chatting memiliki ciri yang bisa ditemukan secara kasat mata. Biasanya artikel hoaks di platform website tidak menyebutkan nama penulis, atau diunggah di website yang tidak memiliki susunan redaksi.
Konten hoaks yang tersebar melalui media sosial juga memiliki ciri khas; umumnya menggunakan kata yang bombastis, terutama di penjudulan; juga menggunakan huruf kapital dengan tanda seru yang berlebihan; ciri lain, konten ini meminta agar disebar kembali dengan iming-iming pahala dan dosa. Pembaca akan tergoda untuk membagikan karena takut atas ancaman dosa dan iming-iming pahala.
Namun begitu, tidak ada cara yang lebih baik untuk membuktikan kebenaran sebuah konten dari pada membandingkan informasi yang dikandung dengan platform atau media yang memiliki kredibilitas yang baik.
UU ITE Tidak Cukup
Sebenarnya, pemerintah bukan tidak melakukan langkah pemberantasan dan penegakan hukum. Melalui Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) pemerintah sudah banyak menjerat pelaku pembuat dan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian kasus Saracen dan MCI pada tahun lalu adalah buktinya. Namun sepertinya kerja pemberantasan masih kurang dan perlu ditingkatkan dengan cara yang lebih efisien.
Seorang praktisi hukum di Universitas Mathlaul Anwar Banten, Suhardi Somomoeljono, mengusulkan agar pemberantasan konten hoaks ini ditingkatkan kualitasnya. Caranya adalah dengan menciptakan aturan yang lebih canggih yakni pencegahan.
Secara lebih teknis ia mengusulkan adanya satu produk yang bisa melakukan pencegahan lebih dini yakni lahinya produk hukum tertentu yang disepakati antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam kapasitas masing-masing.“JIka legislasi nasional secara spesifik dan proporsional diarahkan untuk menanggulangi hoaks, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah pada ujaran kebencian dapat dibendung secara signifikan,” katanya.
Suhardi benar, sebab selama ini kelemahan UU ITE dan aturan lain yang berkaitan dengan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian masih bersifat reaksioner. Maka diperlukan sebuah penguatan aturan yang bersifat disreaksioner yang lebih bersifat preventif yang dapat mencegah hoaks dari ‘akarnya’. Sehingga produk ini berhasil dilahirkan, maka ‘perbuatan-perbuatan yang mengarah pada ujaran kebencian’ dapat dibendung sejak dini.
Jika itu dilakukan, maka Indonesia akan memiliki narasi besar tentang penanganan hoaks dan ujaran kebencian. Harapannya, di masa yang akan datang, kita tidak perlu lagi menghabiskan tenaga untuk saling mencaci di media sosial dan lebih fokus menatap masa depan.
Penulis adalah redaktur NU Online