Empat tahun sudah Kiai Sahal meninggalkan kita semua. Almaghfurlah wafat pada tanggal 24 Januari 2014 pada usia 77 tahun. Kiai Sahal merupakan sosok kiai yang unik, tidak ada duanya, dan komplet. Ia seorang kiai yang ahli dalam bidang fikih dan ushul fiqh, seorang pemikir juga praktisi, seorang pengembang juga pioner dan seorang organisatoris. Namun dari semua itu satu hal yang paling melekat dalam diri Kiai Sahal adalah seorang Pengusung Fiqh Sosial.
Menurut Kiai Sahal, seorang kiai bukanlah orang yang hanya selalu mengajar santrinya, ngaji kitab kuning dan beribadah (mahdhah) kepada Allah dengan kuantitas yang banyak, namun seorang kiai juga memilki tanggung jawab kepada masyarakatnya dan harus peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Permasalahan kemiskinan yang mendera masyarakatnya inilah yang membawa Kiai Sahal untuk mengembangkan fikih yang mampu menjadi pemecah permasalahan (problem solver). Karena selama ini fikih dipahami hanya sebatas oposisi biner; hitam-putih, halal-haram, dan boleh-dilarang. Maka dari itu Kiai Sahal mencoba menarik fikih agar mampu menjawab tantangan zaman. Dalam buku Belajar dari Kiai Sahal Ulil Abshar Abdallah mengatakan bahwa mungkin Kiai Sahal adalah satu-satunya kiai NU yang tersisa saat ini yang paling mendalam penguasaannya dalam fikih.
Selain Kiai Ali Yafie, Kiai Sahal adalah kiai yang selalu mengembangkan fikih sosial. Tahun 2003 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam pidatonya beliau menyampaikan konsep-konsep fikih sosial, yaitu konstekstualisasi teks-teks fikih, beralih dari cara bermazhab secara qauli ke manhaji (metodologi), verifikasi mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’), menjadikan fikih sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif negara dan pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya. Kelima poin ini menjadi pilar fikih sosial Kiai Sahal.
Di dalam sambutan pada peluncuran Pesantren Takhassus fi Ushulil Fiqhi dan Seminar Bedah Kitab Al-Bayanul Mulamma’, Gus Rozin, Putra Kiai Sahal, mengatakan bahwa gagasan, ide, dan pemikiran Kiai Sahal tidak akan mampu kalau hanya ditanggung oleh satu orang atau satu lembaga semata. Karena gagasan Kiai Sahal tidak hanya fikih tapi juga ushul fikih, bidang pendidikan, bidang ekonomi, bidang kesehatan, dan pengembangan masyarakat.
Mengaplikasikan Gagasan
Kiai Sahal sangat produktif. Ia menuangkan gagasannya di buku-buku yang beliau tulis. Ada 14 buku yang telah beliau tulis: 10 yang berbahasa Arab dan 4 yang berbahasa Indonesia dengan magnum opusnya yaitu kitab Thariqatul Hushul ‘ala Ghayatil Wushul.
Selain menuangkan gagasannya di buku, ada beberapa lembaga–baik yang didirikan maupun yang dipimpinnya- yang menjadi ladang pengembangan gagasan-gagasan Kiai Sahal di antaranya Fikih Sosial Institute, pusat studi yang berada di bawah naungan Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) yang mengembangkan kajian-kajian fikih sosial. Dasar pendirian Fikih Sosial Institut adalah pemikiran Kiai Sahal, yaitu upaya menjawab persoalan-persoalan kehidupan bangsa dengan nuansa fikih.
Adapun visi dari institusi ini adalah menjadi pusat studi dalam pengembangan nilai-nilai fikih sosial agar menjadi referensi beragama yang inklusif, moderat, transformatif, dan up to date. Banyak program yang diagendakan oleh Fikih Sosial Institute seperti workshop riset, kajian, diskusi bulanan, penerbitan jurnal hingga konferensi fikih baik nasional maupun internasional.
Dalam bidang ushul fikih didirikanlah Pesantren Takhassus fi Ushulil Fiqhi yang diinisiasi oleh Pondok Maslakul Huda, pondok Kiai Sahal. Pesantren ini khusus mengkaji dan concern dalam bidang ushul fikih. Ushul fikih adalah kajian bidang keilmuan yang membahas bagaiamana suatu produk hukum itu dihasilkan. Kalau fikih merupakan produk, maka ushul fikih adalah cara bagaimana menghasilkan produk tersebut. Didirikannya pesantren tersebut diharapkan dapat mencetak santri-santri yang memiliki pemahaman yang dalam tentang ushul fikih. Pesantren Takhassus fi Ushulil Fiqhi merupakan lembaga yang mengemban pemikiran ushul fikih Kiai Sahal.
Gagasan pendidikan Kiai Sahal juga dikembangkan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen, Pati. Kiai Sahal memimpin madrasah ini lebih dari 30 tahun. Di PIM ini Kiai Sahal menerapkan gagasan-gagasannya yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan kurikulum. Dalam masa kepemimpinannya, almarhum berhasil menjaga independensi dan konsistensi PIM yang mengusung jargon Mempersiapkan Insan yang Shalih dan Akram.
Tidak hanya itu, pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah salah satu gagasan Kiai Sahal. Dua lembaga itu didirikan sebagai wujud kepeduliannya terhadap permasalahan yang mendera masyarakat pada saat itu. Rumah sakit didirikan agar masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan layak, sedangkan BPR didirikan untuk memberi modal usaha pada masyarakat tingkat bawah.
“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan kebaikan dan karya”. Meski telah meninggalkan kita semua, Kiai Sahal akan selalu hidup dengan gagasan-gagasannya di tengah-tengah kita. Kini itu semua menjadi tugas kita untuk meneruskan dan mengembangkan gagasan-gagasan yang telah diusung Kiai Sahal tersebut. Wallahu a‘lam bis shawab.
*) Muchlishon Rochmat, alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua