Pada Oktober ini, salah seorang pengurus dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur melapor kepada polisi tentang adanya oknum guru agama Islam yang memviralkan kebenciannya kepada anasir Nahdlatul Ulama. Hal tersebut terkait pembakaran bendera tauhid yang selalu dikibarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam setiap aksinya. Pihak kepolisian tidak menindaklanjuti proses litigasi, tapi mengajak NU dan HTI untuk duduk bersama dan berdiskusi isu terkait.
Nampaknya pihak kepolisian gamang menangani kasus isu agama dan tidak ingin berdebat dengan pihak terlapor sehingga justru sang pelopor dari unsur NU diminta untuk meladeni terlapor. Unik memang, polisi menjadi fasilitator debat terbuka dan mempertaruhkan nasib pelapor pada kemampuannya memenangkan perdebatan pada isu yang sebenarnya terkait langsung dengan Ormas yang telah dicabut badan hukumnya. Seandainya dalam perdebatan dimenangkan oleh pihak unsur Ormas bermasalah, tentu akan berimplikasi negatif terhadap keputusan hukum terkait.
Sikap polisi tersebut sebenarnya keluar dari delik aduan yang sebenarnya yaitu hate speech atau ujaran kebencian ke kontroversi perkara agama. Jika polisi berpegang pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 tentang kasus-kasus penyebaran kebencian berbasis SARA, maka tidak perlu ada kegamangan itu.
Tapi, berhubung polisi memandangnya sebagai isu agama, maka menempuh jalur mediasi yang tidak pada tempatnya. Ketidaktahuan polisi terhadap isu agama, bisa jadi merupakan pemicu langkah tersebut. Polisi seperti tidak punya pegangan hukum dalam hal isu agama dan ingin bebas dari masalah khilafiah dan multi tafsir perkara agama.
Belum lagi jika dikaitkan dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia bahwa bendera yang dibakar Banser bukanlah bendera HTI tapi bendera tauhid, maka hal itu semakin menguatkan posisi Ormas bermasalah itu. Dari sini polisi gagal fokus pada delik aduan dan terseret ke perkara kontroversial.
Pihak terlapor atau pengacara terlapor nampak mampu mengalihkan delik pengaduan ujaran kebencian ke perkara lain yang tidak mudah menemukan kata putus. Apalagi jika memang tidak ada lembaga otoritatif yang menjadi pegangan pihak berwenang.
Dalam agama Islam Ahlussunnah wal-Jamaah (Sunni) yang merupakan paham aliran mayoritas umat Islam di dunia, hal ini semakin kabur. Berbeda dengan aliran Syiah yang memiliki hirarki kepemimpinan dari tingkat dunia hingga negara, sehingga kontroversi bisa dikendalikan, aliran Sunni tidak demikian halnya.
Di tingkat dunia, Sunni tidak berpemimpin. Bisa jadi lembaga Islam terbesar di dunia adalah al-Azhar dengan pimpinan Shaikh al-Azhar, tapi ia tidak berwenang apa-apa tentang segala apa yang terjadi kecuali sebatas aset pendidikan dan ulama yang ada di bawahnya. Mufti Saudi, apalagi, dia meski berada dalam rumah besar Sunni tapi berfaham puritan yang justru berseteru dengan faham mayoritas di bawah payung yang sama. Dari sini Islam tidak memiliki pucuk pimpinan spiritual tertinggi.
Di tingkat nasional pun demikian halnya. Majelis Ulama Indonesia, menurut Sovia Hasanah bahwa merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka kedudukan fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Fatwa MUI tidak punya legalitas untuk memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam. Hal yang sama juga terjadi pada NU dan Ormas Islam lainnya di Indonesia bagi para anggotanya. Hal ini menunjukkan gamangnya posisi pemimpin Islam bagi pemeluknya khususnya di kalangan kaum Sunni yang tidak mengenal hirarki kepemimpinan agama.
Siapa yang berhak membawa nama Islam pun menjadi bebas dan liar. Tidak heran jika kemudian muncul banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam dan mengabaikan para ulama yang duduk di jajaran atas MUI dan Ormas lainnya.
Posisi fatwa MUI yang sebatas rekomendasi, tidak berlaku untuk perkara pernikahan, pewarisan dan perwakafan. Dalam hal ini berlaku kewajiban melaksanakan apa yang menjadi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang diterapkan dalam peradilan agama. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa peradilan agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan peradilan lainnya di Indonesia. Dengan demikian perkara yang masuk dalam peradilan agama akan menghasilkan keputusan yang bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
Menarik untuk dikaji di sini, mengapa fatwa MUI dan keputusan hakim agama berkonsekuensi hukum yang berbeda meski keduanya bersumber dari ijtihad ulama. Fatwa MUI bersifat rekomendasi yang tidak mengikat sementara untuk keputusan pengadilan agama mengikat. Jawabannya adalah bahwa wilayah MUI bukanlah wilayah peradilan (yudikatif) atau qada, tapi wilayah pertimbangan keagamaan. MUI adalah otoritas keagamaan tapi bukan otoritas hukum yang memiliki kata putus atas suatu perkara. Untuk menjadi sebuah pertimbangan keagamaan yang berkekuatan hukum, ia harus mengikuti prosedur legislasi (tasyri) terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk pada ranah implementasi yang menjadi wewenang yudikatif atau qada.
Orang barangkali bertanya, tapi yang ada dalam pengadilan agama hanya untuk ketiga perkara di atas, bagaimana dengan yang lain? Yang lainnya mengikuti peradilan umum yang keputusan hukumnya didasarkan pada Undang-undang yang menjadi kewenangan dewan legislatif yang beranggotakan wakil rakyat baik dari kalangan akademisi, profesional, teknokrat, pengusaha dan ulama. Di sini nampak adanya peran ulama dan para ahli dalam perundang-undangan yang menjadi acuan hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan.
Fatwa MUI yang tidak mengikat sejatinya bukanlah masalah otoritas ulama yang 'lemah' tapi masalah prosedur legislasi yang harus dilalui dan masalah pembagian wewenang yang dalam hal ini merupakan wewenang qada atau yudikatif.
Dalam kasus aduan unsur PCNU Probolinggo kepada kepolisian setempat yang kemudian mengajak NU dan HTI untuk duduk bersama menyelesaikan masalah, sebenarnya menyeret masalah hukum ke masalah agama yang justru tidak menghasilkan kata putus. Ia akan menghasilkan perdebatan pandangan keagamaan yang kontradiktif satu sama lain. Akan lebih tepat jika hal itu disikapi secara hukum dan fokus pada delik aduan. Perbedaan pandangan keagamaan antara kedua pihak yang berperkara, bukanlah urusan polisi untuk mencari titik temu antara keduanya. Sebab hal ini justru kontra produktif bagi penyelesaian masalah.
Pandangan ulama yang muncul dalam perdebatan antara kedua kubu paling banter hanya menghasilkan rekomendasi. Sementara pasal hukum yang bisa menjerat delik aduan bersifat mengikat, terus mengapa harus mengejar sesuatu yang abstrak sementara yang positif di depan mata.
Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.