Opini

Mengubah Keyakinan (Belief) Para Teroris: Sebuah Pendekatan Psikologi

Jumat, 8 Juli 2011 | 05:49 WIB

Oleh: Rihab Said Aqil, S.Psi. M. Ed*

Ancaman terorisme hingga saat ini masih saja terjadi dan menjadi 'beban berat' bagi Indonesia. Tak hanya bagi Indonesia, namun bagi umat manusia pada umumnya. Padahal sebenarnya wajah Islam, apalagi wajah Islam Indonesia sangat jauh dari radikalisme.

Perjuangan Walisongo dalam menebarkan Islam yang damai adalah wajah asli Islam Indonesia. Namun saat ini justru radikalisme yang tumbuh subur dan menggeser wajah Islam Indonesia.
 
Radikalisme sudah ada sejak dahulu dan akan terus ada. Yang mungkin dilakukan adalah menekan angka radikalisme. Untuk meminimalisir gerakan-gerakan radikal, pendekatan kepada teroris atau mantan teroris harus terus dilakukan.
<>
Pendekatan yang selama ini dilakukan dari kalangan ulama sudah tepat. Untuk memaksimalkan atau semakin menekan angka radikalisme, tidak ada salahnya menggunakan cara lain, yaitu psychological approach atau pendekatan psikologi.
 
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menerapkan teknik atau metode yang ada dalam teori psikologi untuk mengubah keyakinan yang mereka pegang selama ini. Ada beberapa elemen yang bisa kita perhatikan sebelum menerapkan psychological approach.
 
Ada tiga elemen dalam diri manusia yang saling mempengaruhi untuk munculnya suatu perilaku. Ketiga elemen itu adalah pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan aksi (acting).

Sebagai ilustrasi, jika kita perhatikan perilaku  para teroris salah satu faktornya adalah karena terdorong oleh cara berfikir dan perasaaan benci mereka (baca: teroris) terhadap orang kafir. Bagi mereka, orang kafir wajib dibunuh dan salah satu cara yang mereka gunakan adalah aksi terror bom.
 
Dalam dunia konseling dan psikoterapi, seorang konselor haruslah memiliki keahlian atau skill khusus. Untuk menangani pasien, seorang terapis atau konselor harus memiliki beberapa skill yaitu mendengarkan secara aktif (active listening) merasakan apa yang dirasakan (reflection feeling), hadir bersama pasien (attending behaviour) and menerima apa adanya pasien (unconditional regard). Apalagi, konselor tidak boleh serta merta memvonis pasien (judgemental). Skill inilah yang dianjurkan untuk menangani masalah pada perilaku para teroris bom.

Di dalam prosess konseling, tercapainya kesadaran atau insight sangatlah penting. Insight adalah pemahaman si pasien akan sebab dan akibat suatu masalah (pikirannya, perasaanya dan tindakannaya)  dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, kita perlu membantu para teroris tersadar akan dasar pola pikir mereka (belief) yang telah mempengaruhi perasaan dan aksi mereka. Keyakinan ini tertanam dalam alam bawah sadar yang terbentuk bisa dari dua faktor.

Yang pertama, faktor luar (ekstern) yang mungkin mereka dapatkan dari, para guru, bacaan-bacaan, pergaulan atau kemiskinan seperti yang disebut oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Yang kedua adalah faktor dari dalam diri (intern) seseorang yang dikenal dengan dunia interpretasi. Dimana interpretasi ini mengakibatkan reaksi tertentu terhadap suatu pristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Seperti yang pernah di kutip oleh filosof yunani, Epictetus: “What disturbs men's minds is not events but their judgments on events”; apa yang mengganggu pikiran seseorang bukanlah karena peristiwa-peristiwa tetapi pandangan mereka terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, ada yang lebih berbahaya lagi yaitu pengaruh dari bisikan setan dalam hati seseorang seperti yang sudah diterangkan jelas oleh tokoh umat muslim berpengaruh, Imam al Ghazali.
 
Menurut Imam al Ghazali, dalam hati manusia ada khathrah atau lintasan ide. Lintasan pikiran inilah yang mendorong segala kehendak atau keinginan untuk melakukan seseuatu. Misalnya dalam kasus teroris, lintasan ide untuk membunuh orang-orang kafir. Lintasan pikiran kemudian menjadi azam atau keinginan menggerakkan, lalu menjadi niat. Dari niat atau ketetapan hati barulah menjadi husul al-fi'il atau terjadinya aksi. Al Muhasibi menambahkan elemen tasawurat atau visualisasi atau penggambaran setelah adanya lintasan pikiran dan sebelum terjadinya keinginan (iradah). Berikut ini ilustrasinya:

1. Imam Ghazali;
Lintasan ide → azam → niat → aksi

2. Al-Muhasibi;
Lintasan ide → visualisasi → keinginan → aksi

Perlu diketahui, masih menurut Al Ghazali, ada dua sumber yang ada dalam lintasan pikiran yang mendorong keinginan hati. Yakni bisa datang dari malaikat yang disebut dengan ilham atau datang dari setan yang disebut dengan waswas. Tentunya dua hal tersebut satu menimbulkan perilaku baik dan lainnya tercela yang sudah jelas keduanya saling berlawanan.

Dalam ilustrasi teori islami tersebut, bisa diasosiasikan dengan teori psikologi barat. Alfred Adler, seorang psikolog indinividualis, menyatakan terjadinya mental disturbance atau gangguan mental pada seseorang disebabkan oleh false belief yang diyakininya.

Albert Ellis, juga seorang psikolog kognitif, memperkenalkan metode terapi yang fokus pada kognitif, emosi dan tingkah laku. Untuk mengilustrasikan metode ini, Ellis menciptakan format ABC bertujuan bagaimana keyakinan mereka telah menyebabkan emosi dan tingkah laku, berikut penjelasannya: 
A = activating event/ adanya pristiwa
B = belief about the situation/ kepercayaan tentang pristiwa
C= consequence/ akibat emosi dari keyakinan atau reaksi emosi terhadap keyakinan.

Dalam kasus teroris mari terapkan format tersebut sebagai contoh:
A = Amerika banyak membunuh orang-orang muslim.
B = Saya percaya bahwa semua orang Amerika jahat dan tidak layak hidup, aksi mereka harus dibalas.
C= Saya dendam pada Amerika.

Mari kita melihat Contoh lain sebagai berikut:
A= Guru saya menyeru jihad membunuh yahudi dan nasrani.
B = Saya percaya, bahwa guru tidak mungkin salah dan kita harus menjalankan apa yang di katakana oleh guru.
C= Saya benci orang-orang yahudi dan nasrani
Model ABC tersebut menunjukkan bahwa  A (peristiwa) tidak menyebabkan munculnya C (emosi reaksi), akan tetapi B (keyakinan) telah yang menyebabkan C (reaksi emosi).

Dari kedua teori psikologi islam dan barat yang di jelaskan di atas, adanya suatu pola pikir yang tercela atau tidak rasional atau salah ini tertanam dalam hati seseorang, yang akhirnya menjadi suatu keyakinan atau kepercayaan.

Untuk menghentikan aksi para teroris, kita bisa menggunakan psychological approach untuk menghindari cara atau memvonis/ menghakimi (judgmental). Karena, kita akan sulit mengubah perilaku mereka tanpa pendekatan halus yang penuh empati dan listening. Melalui diskusi, kita akan dapat menangkap cara berpikir mereka. Sementara untuk mengubah keyakinan mereka yang tidak rasional tersebut (irrational belief), kita harus memperdebatkan keyakinan mereka (disputing the irrational belief) dan bersama-sama mengkonstraksikan atau membangun keyakinan baru yang rasional (constructing the new rational belief one) untuk menggantikan kepercayaan lama.

Apalagi keyakinan mereka didasari oleh dalil-dalil dari al Quran. Selain memegang ayat, mereka juga pasti memiliki penafsiran sendiri atas ayat-ayat itu. Kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran yang menyebabkan tindakan-tindakan teror itu terjadi. Kita harus membuat mereka berpaling dari kesalahan penafsiran atas ayat-ayat yang selama ini mereka pegang dan mereka yakini. Caranya, dengan menghadirkan ulama yang mengerti tentang ayat al Quran yang siap memperdebatkan kepercayaan mereka, membantu mereka mengubah cara berfikir atau menafsirkan ayat-ayat Al-quran kepada jalan yang manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Para kiai, khususnya kiai-kiai NU tidak boleh berhenti menantang pikiran mereka baik di media, khutbah dll. Harus kita tanamkan kepada mereka bahwa tidak semua Kristen dan Yahudi jahat dan tidak seharusnya membenci yang tak bersalah.
 
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para kiai dan tokoh masyarakat harus sepenuhnya kita dukung dan didampingi dengan psychological approach. Semoga tulisan ringan ini bisa memberi inspirasi dan dorongan semangat untuk menyelamatkan saudara-saudara kita.

*Penulis adalah konselor dan aktifis LPBI NU