Opini

Mengusulkan Kiai Abbas Buntet, ‘Macan’ dari Cirebon sebagai Pahlawan Nasional

Sabtu, 10 November 2018 | 04:20 WIB

Mengusulkan Kiai Abbas Buntet, ‘Macan’ dari Cirebon sebagai Pahlawan Nasional

Kiai Abbas dari Buntet Pesantren Cirebon

Oleh Mustolih Siradj

Setiap 10 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari Pahlawan. Mengapa hari pahlawan harus diperingati? Tanpa cucuran keringat, darah dan air mata yang mereka tumpahkan mustahil bangsa Indonesia bisa merdeka dari penjajah.  

10 November dipilih sebagai Hari Pahlawan diambil dari peristiwa heroik di Surabaya, 10 November 1945. Tanggal itu sebagai penanda peristiwa peperangan dahsyat yang menjadi perhatian dunia internasional antara pejuang kemerdekaan dengan tentara sekutu. Ulama, santri, rakyat, tantara dan semua elemen bersatu angkat senjata.

Ada beberapa aktor penting yang tercatat dalam sejarah atas meletusnya peristiwa itu, antara lain Bung Tomo. Pemuda hebat Surabaya yang mengobarkan semangat patriotisme melalui pidatonya yang berkobar-kobar di radio yang ditutup dengan pekik takbir yang memiliki magnet menggerakkan perlawanan. Mereka yang mendengar pidato Bung Tomo langsung bergegas angkat senjata melawan penjajah, siap mati di medan perang. 

Energi Bung Tomo  menggelorakan pekik takbir dan semangat perlawanan diperoleh setelah mendapatkan restu dari ulama kharismatik Kiai Hasyim Asya’ri, Rais Akbar Nahdlatul Ulama. yang sebelumnya telah mengumumkan fatwa jihad melawan penjajah (resolusi jihad) dan menggelorakan jargon perjuangan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). 

Sudah menjadi tradisi dan gaya khas ulama-ulama NU yang tawadhu’, meski KH Hasyim Asy’ari memegang penuh otoritas dan komando perjuangan tetapi Kiai Hasyim Asy’ari tidak mau buru-buru meletupkan perang. Bala tentara rakyat waktu itu diminta Kiai Hasyim menahan diri sampai hadir  ‘Macan dari Cirebon’.  

Siapa “Macan dari Cirebon’? Sosok yang dimaksud adalah Kiai Abbas dari Buntet Pesantren Cirebon, pemimpin pesantren tua yang berdiri sejak abad 17. Kiai Abbas adalah ulama yang tidak hanya dikenal dengan keluasan pengetahuan agamanya, tetapi juga dikenal memiliki ilmu kanuragan/bela diri tingkat tinggi dan ilmu supranatural yang mumpuni. Kiai Abbas juga terlibat dalam penyusunan Resolusi Jihad.

Sesampainya Kiai Abbas di Surabaya, beliau memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa. Setelah itu, para pemuda dan rakyat tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang. 

Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara Belanda menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun tidak sedikit juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing. 

Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa. 

Beliau menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda.

Suaranya tampak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga Belanda kewalahan dan mereka pun mundur. Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara.

Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya. Tetapi sekali lagi, pesawat-pesawat itu mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi. 

Cerita tentang kiprah perjuangan dan kesaktian Kiai Abbas adalah kisah nyata yang diamini masyarakat/publik secara luas,  atau jika meminjam istilah dalam terminologi Mustalahu Al-Hadis derajatnya Mutawatir, sehingga sulit dibantah. Kiai Abbas wafat pada 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, dan dimakamkan di pemakaman Buntet Pesantren. 

Kiai Abbas pernah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Mahfudh at-Termasi di Mekkah. Beliau juga memiliki banyak murid yang menjadi ulama dan intelektual salah satu murid langsung beliau adalah Prof Ibrahim Hossen, ulama dan akademisi ahli fiqih perbandingan (ayah kandung Prof Nadirsyah Hossen). 

Jika menilik kiprah dan peran Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan NKRI sesungguhnya beliau sudah sangat layak menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional. 

Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. 

Secara substansi (materiil) Kiai Abbas sudah memenuhi kriteria sebagai Pahlawan Nasional, yang perlu ditempuh selanjutnya adalah langkah-langkah formal-prosedural ke birokrasi hingga bisa diresmikan oleh Presiden sebagai kepala negara memberikan pengakuan resmi Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional. 


Penulis adalah Advokat, Dosen Fakultas Syariah dan Hukun UIN Jakarta