Pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru (Orba), kekuatan politik bangsa Indonesia berubah total. Kekuatan politik yang awalnya sangat sentralistik, menggumpal dan terpusat hanya pada satu pos, yakni rezim Orba. Seiring datangnya reformasi, gumpalan kekuasaan itu pecah dan menyebar hampir di setiap elemen bangsa. Kekuasaan akhirnya terdiaspora, centang-perentang di mana-mana; ia ada di partai politik, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, birokrat dan elemen-elemen bangsa yang lain.
Desentralisasi kekuasaan tersebut sebenarnya berkah tersendiri, asalkan dikelola dengan baik. Karena itu merupakan indikasi positif untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sipil (civil society) sebagai prasyarat tegaknya demokrasi. Sebab, tanpa eksisnya kedaulatan rakyat, maka demokrasi hanya sekedar fantasi. Selama 32 tahun, demokrasi telah dipecundangi rezim otoriter. Hak-hak rakyat banyak dipangkas, pikiran kritis dikebiri, pers dibungkam, kebebasan berpendapat dipasung, aktivitas berorganisasi diawasi dan seterusnya.<>
Dalam kondisi semacam itu, rakyat benar-benar lemah tak berdaya di hadapan otoritarianisme negara. Akibatnya, negara bukan lagi menjadi pengayom dan pelindung bagi rakyatnya, melainkan berubah menjadi berhala yang menindas. Maka, runtuhnya kekuasaan Orba merupakan babak baru bangsa Indonesia untuk membangun kehidupan politik atas dasar kekuasaan rakyat.
Namun, persoalannya adalah, ketika kekuasaan tersebut terdiaspora sedemikian rupa, ternyata kita belum mampu mengkonvergensikan menjadi satu kekuatan nasional. Kekuasaan yang centang-perenang sekarang ini masih berserakan di mana-mana dan belum menjadi satu kekuatan yang sinergis dalam kerangka kebangsaan Indonesia. Akibatnya, masing-masing pihak sering menjadikan kekuasaanya hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Sehingga kepentingan nasional yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru tersingkirkan dan kalah dengan kepentingan kelompok atau individu. Bahkan, tak jarang, demi mewujudkan ambisi pribadinya, satu kelompok yang mempunyai kekuasaan lebih besar sering menggencet kelompok minoritas yang kekuasaanya jauh lebih kecil.
Tirani mayoritas tersebut tercermin, misalnya, dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penghentian segala kegiatan keagamaan Jemaat Ahamdiyah Indonesia. Meski SKB itu hanya sebatas peringatan, namun ini merupakan indikasi menguatnya tirani mayoritas. Sebab, SKB yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, itu hanya merepresentasikan aspirasi sepihak dari kelompok-kelompok mayoritas, yakni Front Pembela Islam (FPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejenisnya. Maka, SKB itu merupakan simbol arogansi mayoritas atas minoritas. Sebab, pemerintah mengeluarkan SKB tersebut atas desakan kelompok-kelompok mayoritas yang bertentangan dengan Ahmadiyah.
Fenomena di atas merupakan preseden buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara kita. Kalau ini dibiarkan, Indonesia akan berubah menjadi negara rimba, bahwa pihak yang kuatlah yang menang. Negara tidak lagi bertumpu pada hukum, tetapi pada kekuasaan belaka, yakni, kekuasaan kelompok mayoritas.
Dalam kondisi semacam itu, maka negara tidak bisa lagi menjadi pengayom bagi seluruh elemen bangsa, tetapi hanya melindungi kelompok-kelompok kuat. Standar kebijakan tidak lagi mencerminkan aspirasi seluruh warga negara, tetapi hanya merepresentasikan aspirasi warga negara yang kuat. Implikasi lebih jauh, prinsip-prinsip demokrasi yang lebih mengutamakan kebebasan dan egalitarianisme menjadi tergusur dan tergantikan oleh sistem politik aristokrasi dan oligarki yang despotik dan otoriter.
Perlunya rekonstruksi dan penyatuan kembali
Kekuasaan politik yang tersebar dan centang-perenang tersebut, sekarang harus diupayakan untuk disatukan kembali untuk menjadi satu kekuatan yang utuh dan holistik. Kekuasaan yang terdekonstruksi sekarang ini harus segera direkonstruksi. Masing-masing komponen bangsa harus sadar dan merefleksikan kembali tujuan dibangunnya negeri ini. Negeri ini didirikan bukan untuk kepentingan satu kelompok, suku, agama, golongan atau partai politik, tetapi, sebagaimana yang tercatat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk melindungi segenap bangsa. Ini artinya, Indonesia sangat mengecam adanya sistem atau kebijakan politik yang diskriminatif dan sektarian.
Selain itu, yang namanya negara, pada hakikatnya adalah kontrak sosial. Masing-masing individu mempunyai hak untuk hidup, terlepas apa suku dan agama orang tersebut. Dalam kontrak sosial, masing-masing individu dituntut tidak lagi mementingkan egonya, suku atau kelompoknya, melainkan lebih mementingkan kepentingan seluruh masyarakat secara nasional. Dalam kontrak sosial, menurut John Locke (2002), hak yang diserahkan individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi kepada seluruh komunitas. Atas dasar ini, maka masing-masing pihak dan kelompok, suku, agama dan elemen masyarakat yang lain, baik yang mayoritas maupun minoritas harus menyerahkan kekuasaan yang mereka miliki itu untuk kepentingan nasional. Kalau masing-masing kelompok masih egois dengan kekuasaanya masing-masing maka tidak mungkin lahir yang namanya negara.
Untuk mencapai sinergisitas kekuasaan tersebut, maka supremasi hukum harus ditegakkan. Praktik-praktik politik dan sisitem kebijakan negara tidak lagi didasarkan atas kekuasaan kelompok melainkan harus bertumpu atas hukum yang bisa menaungi dan mengayomi seluruh kelompok. Dalam kerangka politik ini, negara harus bisa menjamin kehidupan masing-masing kelompok yang berbeda.
Begitu juga, negara tidak bisa memaksakan sebuah kelompok untuk tunduk terhadap kelompok lain. Sebagaimana diungkapkan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa setiap kelompok yang berbeda harus diposisikan sama di hadapan hukum. Atas dasar ini pula, negara tidak bisa menilai kelompok lain dengan perspektif kelompok tertentu. Tetapi, negara harus benar-benar menjadi wasit yang adil di antara kelompok tanpa pandang bulu. Karena semua kelompok tersebut sama-sama menjadi penopang eksisnya negara.
Maka, demi tegaknya kekuatan nasional bangsa Indonesia, kekuatan-kekuatan politik yang sekarang sedang dalam keadaan terpecah harus menyatukan diri dalam bingkai Indonesia. Selama keterpecahan kekuasaan ini masih berlanjut, maka Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi rumah bersama, melainkan hanya menjadi wilayah kekuasaan para mafia.
Penulis adalah Pegiat dorum diskusi filsafat “Linkaran ‘06”, Yogyakarta
Terpopuler
1
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
2
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
3
Kiai Ubaid Ingatkan Gusdurian untuk Pegang Teguh dan Perjuangkan Warisan Gus Dur
4
Pilkada Serentak 2024: Dinamika Polarisasi dan Tantangan Memilih Pemimpin Lokal
5
Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
6
Habib Husein Ja'far Sebut Gusdurian sebagai Anak Ideologis yang Jadi Amal Jariyah bagi Gus Dur
Terkini
Lihat Semua