Opini

Merehabilitasi Fondasi Dakwah?

Senin, 21 November 2005 | 03:52 WIB

Oleh: Nasrulloh Afandi*
 
Frekuensi aktivitas peradaban Islam bangsa Indonesia dasawarsa ini, aspek institusional sungguh spektakuler. Semakin kompleknya jaringan, media dan atau lembaga dakwah Islam yang bermunculan dengan nama berbeda-beda, dilengkapi kecanggihan berbagai fasilitasnya. Bahkan, ajarannya pun sering saling “bertabrakan“.
 
Uniknya, internal (pranata religius Islam Indonesia) semakin “loyo“ dan memprihatinkan, dengan fenomena semakin keroposnya implementasi atau amaliah agama dalam tatanan kehidupan Muslimin, horisontal (sesama umat beragama) dan vertikal (dengan yang Maha Esa). Kesalahan siapakah itu?
 
 “Virus Kronis“ Agama
 
Bebarengan semakin terpuruknya amaliah agama (Islam Indonesia). Harus disadari, banyaknya orang memproklamirkan diri katanya “pemikir ke-Islaman kontemporer“ --dengan berbagai kepentingannya(?)--, mengusung masing-masing ragam gerbong pemikirannya dengan hanya mengedepankan berbagai ide rasionalisme tanpa teladan amaliah yang berdasarkan otentitas Syariatul Islamiyah, pun realitas  “di lapangan ibadah“ jelas hanya dominan mengakibatkan  umat menjadi bingung untuk bisa kontinuitas (istiqomah) beribadah.
 
Paling “beruntungnya“, seiring derap globalisasi, liberalisme  dan “saudara-saudaranya“(pluralisme, sekularisme dan sejenisnya) hanya “dimanfaatkan“ sebagai payung kemaksiatan, vertikal dan horisontal, bagi Muslimin yang mayoritas kian deras “terpolusi“ imannya.
 
Tidak kalah maraknya, bermunculan para “ustadz/kiai bajakan“, dengan background jauh dari pendidikan dan kualitas ilmiah (agama). Hanya dengan bermodal busana (Muslim) dan kemahiran wicara belaka. Tentunya, pemahaman mereka terhadap agama asal “sekenanya“ saja. Uniknya, namanya pun sering mendadak dirubah atau ditambah, agar serasi untuk dirangkaikan dengan gelar ustadz/kiai.
 
Singkatnya, di negara yang katanya Muslim mayoritas (dalam kuantitas ini), cukup ngetrend agama kerap hanya dijadikan argumentasi pijakan konflik, dan alat kepentingan pribadi atau maksimalnya golongan tertentu saja. Di antaranya, agama lazim dijadikan “barter“ dengan sedikit popularitas, materi dan kekuasaan.
 
Inilah diantara “virus-virus kronis menularkan infeksi“ yang mengkroposi terhadap stabilitas dan otentitas Islam (Indonesia). Sangat eksentrik ! bukan ?
 
Totalitas Modal Dakwah
 
Dr. Maurice Bucaille, ilmuwan asan Prancis, dalam bukunya  “Le Bible le Coran et  La Science (1976)“, Ia berpendapat, bahwa dalam sejarah agama-agama di dunia, hakikatnya tidak ada satu pun agama yang mengalami kegagalan. Namun para pelaku dakwah masing-masing agama itulah sangat miskin energi untuk menjadi teladan bagi umat manusia yang jadi obyek utama agama yang dipromosikannya, sehingga mereka tidak maksimal bahkan banyak yang kandas dalam memperjuangkan misi dakwah (agama) nya. Dengan satu faktor tanpa teladan yang di lakukan dan disaksikan oleh publik.
 
Sangat tepat opini Thomas W. Arnold dalam bukunya “The Preaching of Islam (1896)“, seorang orientalis pun Ia mengkritik tajam. Jika kapabilitas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dalam berdakwah pada pribadinya terdapat uswatun hasanah (suri teladan), maka tentu hal itu pun berlaku bagi para pelaku dakwah Islam seterusnya.
 
Maka, jika Michael H. Hart, ahli falak (astronomi) dari Amerika, dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978)“, Ia memposisikan Nabi Muhammad dalam peringkat pertama. Karena Muhammad adalah satu-satunya manusia yang luar biasa keberhasilannya dalam proyek keagamaan dan pemerintahan.
 
Saya menganalisa, dalam perspektif  ilmu balaghoh (sastra Arab), hal yang diungkapkan oleh Hart itu, Ia hanya melihat sebuah natijah (hasil) atau bentuk kesuksesan dari perjuangan.
 
Tepatnya, Ia hanya melihat besarnya "kepulan asap" (kesuksesan). Sayangnya tanpa melihat sumber "kobaran api" (uswatun hasanah Nabi Muhammad<>