Miskin Keteladanan Pejabat; Jangan Tunggu Rakyat Bertindak
NU Online · Sabtu, 20 September 2025 | 18:03 WIB
Muhamad Rosit
Kolomnis
Pejabat publik tidak hanya pemegang mandat politik, tetapi juga berperan sebagai teladan moral untuk rakyatnya. Apa yang mereka pakai, bagaimana bersikap hingga perilaku di tengah masyarakat akan selalu memperoleh perhatian dari rakyatnya.
Kita menyaksikan bagaimana perilaku para pejabat yang gemar memamerkan kemewahan di tengah rakyat yang kesusahan. Gaji dan tunjangan jabatan yang fantastis, puluhan bahkan ratusan kali lipat dengan pendapatan rakyat jelata. Lebih parahnya mereka bangga memamerkan barang branded dan mewah di ruang publik.
Akibatnya, rakyat merasa tidak ada keteladanan dari pejabat publik sehingga mereka melampiaskan kekecewaannya itu dengan melakukan aksi demonstrasi dan penjarahan di rumah pejabat publik yang dianggap miskin empati. Sekali lagi, ketika rakyat mengalami kesulitan hidup, sementara itu para pejabat malah menunjukkan simbol kemewahan, sehingga wajar muncul rasa kecewa, marah dan ketidakpercayaan pada pejabat publik.
Kekecewaan rakyat ini rupanya juga menjalar di negara Nepal, bahkan gelombang demonstrasi besar-besaran justru dipelopori oleh generasi Z yang pada akhirnya tidak hanya menggulingkan perdana Menteri KP Sharma Oli, tetapi juga merembet penjarahan massal di toko, bank, dan hotel. Kerusuhan ini menggambarkan ada jarak yang lebar antara para elite dengan rakyat jelata sehingga terjadi krisis kepercayaan tidak bisa dihindari lagi.
Sebagai pejabat publik yang semestinya memiliki empati kepada rakyatnya karena profesi ini sesungguhnya sangat mulia karena memiliki kewenangan untuk mengubah kebijakan publik yang berdampak terhadap kehidupan luas.
Sementara itu, menurut survei dari Ipsos Global Trusworthines Index 2024 menghasilkan profesi yang paling tidak dipercayai masyarakat politisi (45%), pejabat kabinet/ kementerian (41%), polisi (41%) influencer (25%), pengacara (24%), hakim (23%) eksekutif periklanan (18%), pemimpin bisnis (17%) dan jurnalis 15%).
Survei ini mengindikasikan terjadi defisit kepercayaan masyarakat pada profesi yang berhubungan dengan kekuasaan, hukum, dan opini publik. Profesi politisi menjadi sektor paling rentan terhadap krisis kepercayaan publik, sementara publik mengharapkan mereka bisa menjaga kebenaran dan independensi. Hasil survei ini bisa menjadi evaluasi bahwa integritas, akuntabilitas dan transparansi merupakan kunci dalam menciptakan kepercayaan publik.
Baca Juga
Badai Perlawanan Rakyat Pati
Oleh karena itu, situasi ini harus menjadi evaluasi terutama untuk perilaku dan sikap pejabat di ruang publik. Di sinilah asketisme relevan untuk para pejabat. Menjadi pejabat bukan untuk memperkaya diri sendiri atau golongannya, tetapi sesungguhnya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya secara adil dan merata. Karena Ketika menjadi pejabat negara, mereka memiliki kewenangan dan kebijakan strategis untuk mengubah situasi dan kondisi yang jauh lebih baik.
Miskin Keteladanan?
Banyak orang menilai bahwa bangsa ini sedang mengalami miskin keteladanan. Seolah tidak ada pejabat publik yang bisa diteladani oleh rakyatnya. Karena banyak pejabat lebih suka menonjolkan atau memamerkan kemewahan daripada menunjukkan kehidupan yang sederhana.
Ditambah lagi dengan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2024 yang diluncurkan pada tanggal 2025 oleh Transparancy International Indonesia (TII) menghasilkan skor yang masih memprihatinkan yakni di angka 37. Artinya Indonesia hingga kini masih dipersepsikan sebagai negara yang tingkat korupsinya buruk sekali.
Tentu wajar publik menginginkan keteladanan agar bisa menjadi contoh dalam bersikap, dan berperilaku dalam berbangsa dan bernegara. Lantas, apakah memang benar sama sekali tidak ada tokoh besar yang bisa diteladani oleh bangsa ini?
Pertanyaan itu ada benarnya tapi juga kurang tepat. Bangsa ini pernah memiliki tokoh besar yang banyak memberikan keteladanan pada rakyatnya. Paling tidak ada tiga tokoh besar yang harus kita teladani, memilih kehidupan yang asketis meskipun memiliki jabatan tinggi.
Banyak kisah keteladanan pejabat publik yang bisa menjadi contoh. Misalnya Mohammad Natsir. Ia meskipun menjabat sebagai Menteri Penerangan, saat berangkat ke kantornya dengan mengayun sepeda. Ia bahkan menggunakan pakaian dengan tambalan karena sudah terlalu lama dipakainya. Mohammad Hatta, Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, juga menunjukkan keteladanan serupa.
Suatu malam, Hatta melihat iklan sepatu Bally di sebuah koran dan kemudian ia ingin memilikinya. Namun sepatu impiannya itu hingga akhir hayatnya tidak pernah terbeli, bahkan saat ia menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Kemudian kita bisa mendapatkan keteladanan dari seorang Agus Salim, yang sepanjang hidupnya selalu mengontrak dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, bahkan atap rumahnya bocor sehingga ember-ember harus ditata untuk menampung air hujan.
Kisah keteladanan para tokoh bangsa masa itu menunjukkan bahwa jabatan tidak membuat para pendiri bangsa ini silau kepada dunia dan kemewahan. Mereka tentu sadar bahwa kekuasaan itu adalah amanah, yang harus dioptimalkan untuk kepentingan rakyatnya.
Jadi jika pejabat publik atau rakyat jelata merasa tidak ada keteladanan yang baik dari para pejabat bangsa ini, bisa dipastikan mereka belum mengenal sepenuhnya para founding fathers bangsa Indonesia.
Mengapa Perlu Asketis?
Paling tidak, ada beberapa alasan mengapa seorang pejabat perlu bersikap asketis, hidup sederhana dan menjauhi kemewahan yang berlebihan. Pertama, situasi rakyat tengah mengalami kesulitan ekonomi.
Di tengah kondisi global yang kurang baik secara ekonomi yang dibuktikan dengan harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan, pengangguran dimana-mana, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, maka semestinya pejabat publik memiliki empati dan memilih hidup sederhana, agar bisa merasakan apa yang dialami rakyatnya.
Tentu sikap asketis tidak dijadikan sebuah dramaturgi yang kerapkali ada perbedaan panggung depan dan panggung belakang, melainkan wujud empati dan solidaritas bahwa pejabat publik tidak berjarak dengan rakyatnya.
Kedua, dijadikan untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik. Asketisme merupakan cara untuk membuktikan bahwa seorang pejabat publik bersungguh-sungguh memprioritaskan rakyatnya, bukan karena keuntungan diri sendiri dan golongannya. Melalui kesederhanaan, mereka menjadi teladan moral yang akan memperkokoh legitimasi dan memperkuat kepercayaan publik.
Ketiga, asketisme bisa mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Memilih hidup asketis akan berkorelasi dengan hidup yang jujur, sederhana dan menghindari kemewahan. Perilaku korupsi kerap kali juga dipicu oleh gaya hidup mewah dan konsumtif, sehingga dengan memiliki hidup sederhana maka pejabat publik menahan diri dari potensi mencari keuntungan pribadi dan golongan.
Dengan demikian, memilih hidup asketis tidak hanya menjadi sikap pribadi saja, tetapi juga bagian dari etika dalam membangun pemerintahan yang bersih. Pejabat publik yang mampu menjadi keteladanan dengan hidup sederhana, pasti akan lebih mengutamakan pelayanan kepada publik. Sikap ini juga bisa menumbuhkan budaya organisasi yang sehat dalam pemerintahannya. Pada akhirnya asketisme bisa menjadi benteng moral untuk meningkatkan pemerintahan yang berintegritas.
Seorang pejabat memilih kehidupan asketis tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat sulit karena di tengah lingkungan dan budaya hedonisme dengan berbagai fasilitas yang menyertainya. Tapi hal itu dilakukan bukan lain karena amanah rakyat dan bertujuan untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, bukan untuk individu atau golongan tertentu. Jalan asketisme adalah jalan pejabat publik dalam memperkuat legitimasi dan mengutamakan tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Muhamad Rosit, Dosen Komunikasi Politik FIKOM Universitas Pancasila
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua