Opini

Mudik, Spiritualitas Nusantara

Selasa, 4 Juni 2019 | 14:00 WIB

Mudik, Spiritualitas Nusantara

Ilustrasi: masyarakat menyiapkan perjalanan mudik dari Jakrta.

Oleh Cholis Rosyidatul Husnah

Keberagaman di bulan Ramadhan semakin kental, seiring semakin dekat ujung bulan Ramadhan. Ibarat perjalanan manusia sudah memasuki fase akhir di mana fase tersebut hanya tinggal beberapa langkah untuk mencapai pada finish. Maka perlu adanya persiapan untuk mengakhiri bulan penuh berkah ini, dengan beberapa tradisi dan keberagaman yang telah ada sejak zaman leluhur sehingganya sampai saat ini masih tetap harus dilestarikan.

Pemandangan yang tak akan hilang setiap menuju lebaran yakni tradisi mudik. Mudik adalah tradisi yang berlangsung lama pada kultur masyarakat Indonesia. Para pemudik yakni mereka yang hijrah ke daerah lain, kota lain, bahkan negara lain untuk bertemu dengan keluarga, saudara, kerabat dan sahabat.

Mudik secara hermeneutis artinya proses pengembalian diri pada kebeningan hati, kedamaian laku dan kepedulian terhadap persoalan kemiskinan. Mudik kadang disebut udik yang berarti yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Dengan ini, esensi dari mudik untuk mengembalikan jiwa bersama kondisi geografis tanah kelahiran. Karena tak dapat dipungkiri pemudik adalah mereka dari perkotaan ke desa tanah kelahiran dengan segudang pekerjaan untuk istirahat sejenak dari itu semua, termasuk para mahasiswa. 

Tradisi mudik, tidak cukup hanya dikaitkan dengan perayaan Idul Fitri, melainkan pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Ada tiga dimensi yang dapat ditilik dari tradisi mudik. Pertama, di dalam mudik terdapat dimensi spiritual-kultural. Mudik yang dalam arti Jawa muleh sidik (pulang sebentar) ini tradisi warisan nenek moyang. Dalam hal ini, mudik adalah momentum menjunjung tinggi kelahiran untuk ziarah ke makam para leluhur.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan yang hakiki kelak. Pun ikatan batin yang hidup dan yang mati tidak bisa terpisah hanya karena jasad telah tiada. Oleh karena itu, ziarah kubur dan mendoakan leluhur adalah sebuah kewajiban. Maka muncullah tradisi nyekar ketika sebelum Hari Raya saat pulang ke kampung halaman. Nilai spiritual yang terkandung dalam ziarah ini kemudian berdialektika dengan kuktur yang ada untuk selanjutnya muncul tradisi mudik.

Kemudian yang kedua dari dimensi psikologis. Pulang ke tanah kelahiran bagi para pemudik bukan hanya untuk merayakan hari besar Islam atau Lebaran bersama keluarga. Melainkan untuk menghilangkan penat dari aktivitas padat pekerjaan. Tak luput bagi mahasiswa, momen liburan kemudian bisa mudik bagian dari menghilangkan penat karena tugas dan kesibukan organisasi kampus.

Untuk menghilangkan kepenatan itu semua letak geografis tanah kelahiran serta hangatnya kumpul bersama keluarga merupakan salah satu solusinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres dan kepenatan.

Tidak berhenti pada aspek spiritual dan psikologis, mudik dilihat dari dimensi ketiga adalah sisi sosial. Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pidatonya menyatakan bahwa merayakan lebaran adalah bentuk ibadah sosial yang di dalamnya menyamai spirit nilai spiritual-vertikal. Manusia yang merayakan Idul Fitri harus kembali pada kefitrian jati diri kemanusiaannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan.

Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika diimbangi dengan nilai spiritual-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini. Mudik seyogianya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambung tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat dan sahabat. Sehingga, dapat terjalin kokoh dan kuat ukhuwah antarsesama. Tidak ada kelas strata sosial yang ada semua sama di hadapan Tuhan.

Hal ini sejalan dengan spirit lahirnya Islam. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturahim." (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557).

Hadits tersebut menjadi spirit bahwa Tuhan dalam hal ini sangat menghargai dan apresiasi terhadap kerukunan dan persatuan hamba-Nya. Nabi Muhammad sebagai promotor kemanusiaan terbaik dunia menganjurkan kepada umatnya untuk menyambung silaturahim. Bahkan, dalam hadits tersebut tidak disebutkan harus terhadap sesama orang Muslim saja. Artinya, menjalin silaturahim antarsesama manusia sangat dianjurkan.

Dengan demikian, sangat disayangkan apabila mudik hanya sebagai momentum pamer kesuksesan antarsesama, gaya hidup hedonis, dan hanya menghamburkan uang saja. Sehingga berakibat pada persoalan mudik dikaitkan dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, percaloan dan ketidaknyamanan transportasi. Sebab pada hakikatnya, terdapat esensi nilai yang begitu dahsyat dibalik tradisi mudik pada tiap tahunnya.

Wallahu a'lam.

Penulis adalah Kader Putri PMII Rayon Syariah IAIN Jember.