Opini

Negara dalam Tawa: Belajar dari Gus Dur

Senin, 15 Juli 2019 | 14:00 WIB

Negara dalam Tawa: Belajar dari Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Oleh Fathoni Ahmad

Sekitar tahun 1970-an dan 1980-an, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) banyak menuangkan pemikiran dan gagasan lewat tulisan di media massa. Progresivitas pemikiran dan gerakannya menginspirasi sejumlah kalangan, baik dalam skala nasional maupun global.

Namun, perilaku santai tetap ditunjukkan oleh Gus Dur dalam momen-momen krusial menurut orang lain. Saat itu Gus Dur diundang menjadi salah satu narasumber untuk membincang Islam dan Negara, Islam dan Kebangsaan, serta Islam dan Demokrasi.

Gus Dur tampil dengan pemikiran dan gagasannya yang brilian, sebagaimana biasanya dalam setiap foum yang ia ikuti. Gus Dur mengurai satu per satu konsep yang pernah ada dan pernah dibicarakan oleh pemikir dan cendekiawan Muslim dunia.

Tak hanya menguraikan, Gus Dur juga menyampaikan kelebihan dan dan mengkritik kekurangan pemikiran mereka masing-masing. Tetapi, dari uraian tersebut, Gus Dur mengakhiri pemaparannya dengan kesimpulan yang cukup membingungkan para peserta seminar.

Saat itu, Matori Abdul Jalil yang mendampingi Gus Dur merasa resah dan gelisah. Dia khawatir Gus Dur diserang habis-habisan oleh para pakar yang hadir dan tidak bisa menjawabnya. Karuan saja ada yang bertanya tentang, bagaimana konsep negara dalam Islam. Kekhawatiran Matori betul-betul mencuat. Pertanyaan jelasnya: Apakah ada konsep atau sistem dan bentuk negara menurut Islam?

Dari pertanyaan tersebut Gus Dur menjawab dengan santai: “Itu yang belum saya rumuskan.” Hadirin terbahak. Tidak sedikit yang menilai bahwa jawaban Gus Dur luar biasa cerdas dan brilian, meski dengan cara jenaka.

Gus Dur ingin menegaskan bahwa Islam tidak mengatur formalisasi syariat ke dalam sistem negara. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk mendirikan negara Islam. Agama Islam cukup dijalankan dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang, tak terkecuali bidang politik pemerintahan. Islam hendaknya menjadi jiwa dalam praktik berbangsa dan bernegara, bukan menjadi dasar negara.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh yang paling diingat humor-humor cerdasnya, tentu saja selain jasanya yang luar biasa dan pemikirannya yang cemerlang. Membaca humor-humor Gus Dur tidak lain ialah bagaimana seseorang belajar menertawakan diri sendiri.

Di tengah persoalan yang banyak mendera bangsa, tidak sedikit yang mengatakan kenapa Gus Dur justru banyak melucu? Bagi sebagian orang, berhumor terkesan tidak serius, tetapi bagi Gus Dur humornya adalah keseriusannya. Sehingga persoalan serius kerap selesai dengan sendirinya lewat humor.

Seperti ketika Gus Dur dihadapkan dengan persoalan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengibarkan bintang kejora. Banyak yang mengecam bendera OPM tersebut. Namun, Gus Dur mengatakan kepada para ajudannya bahwa bendera-bendera tak ubahnya umbul-umbul. “Anggap saja itu umbul-umbul,” kata Gus Dur.

Saat menjabat sebagai Presiden, banyak juga yang menolak keputusan Gus Dur karena mengizinkan kegiatan Kongres Papua yang identik dengan gerakan-gerakan makar. Bagi Gus Dur, keinginan masyarakat Papua harus ditampung. Hal ini yang tidak banyak mendapat perhatian dari pemerintah.

Justru kegiatan tersebut bisa menjadi sarana atau wadah bagi pemerintah RI untuk menampung aspirasi masyarakat Papua, juga sebagai sarana memberikan penjelasan terhadap program-program pemerintah. Bagi masyarakat Papua, kehadiran negara penting. Sebab itu, langkah Gus Dur untuk mewujudkan kerinduan masyarakat Papua akan kehadiran negara.

Kilas humor-humor Gus Dur tak lekang di makan zaman karena sarat konteks. Bahkan masyarakat bisa belajar banyak dari humor-humornya. Misal ketika di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa terjadi konflik. Konflik ini seakan tak menemui titik ujung sehingga tidak sedikit menguras elemen-elemen yang ada di dalamnya.

Diceritakan oleh KH Maman Imanulhaq dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010), cucu KH Hasyim Asy’ari tersebut tetap memperlihatkan optimisme tinggi kepada para kadernya. Mereka menyadari bahwa setiap konflik menyimpan banyak pendewasaan terhadap diri seseorang.

Gus Dur memandang seluruh masalah dengan optimisme. Menurutnya, masalah itu dibagi menjadi tiga; ada yang bisa diselesaikan dengan cepat, ada yang bisa diselesaikan tetapi lambat, dan ada yang tidak bisa diselesaikan. Sebab itu, serahkan semuanya kepada Allah, tawakaltu ‘alallah.

Gus Dur pun menegaskan bahwa yang benar ialah penyelesaian masalah bukan pemecahan masalah. Karena kalau pemecahan, maka satu masalah bisa ‘pecah’ jadi beberapa masalah. Karenanya, kata Gus Dur, partai ini banyak dikatakan orang sebagai PKB, yaitu Partai Konflik Berkepanjangan.

Seketika, orang-orang di sekelilingnya tertawa mendengar plesetan kepanjangan tersebut. Mereka memang sedih mendengarnya, tetapi campur bahagia karena salah satu keistimewaan Gus Dur ialah mampu menertawakan kekurangannya sendiri.


Penulis adalah Redaktur NU Online