Oleh M Haromain
Merupakan suatu fenomena kurang positif yang patut kita sesalkan pada akhir-akhir ini adalah kian gampangnya seseorang bersikap apriori dan latah baik ketika menerima, menggali pengetahuan atau informasi maupun ketika menyampaikan statemen dan opini; juga begitu mudahnya mereka memutlakkan atau menggeneralisir suatu stigma yang berkonotasi buruk tanpa membuat pengecualian.<> Parahnya tindakan naif semacam itu justru kerap dilakukan oleh orang yang tergolong terpelajar dan berpendidikan.
Penulis artikel ini tidak jarang menjumpai kalangan terpelajar Islam yang terjangkiti sikap apriori dan latah seperti itu. Salah satunya belum lama ini seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi Islam dalam akun Facebook nya menulis status yang kurang lebih begini, “Imam Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah harus bertanggung jawab atas nasib keterbelakangan peradaban dan stagnasi keilmuan yang melanda dunia Islam saat ini.” Ironisnya mahasiswa penulis status tersebut tidak mengajukan argumentasi satu kalimat pun yang mendasari kenapa dia membuat pernyataan tuduhan seperti dimaksud. Agak sedikit dimaklumi bila ia setidaknya memberikan beberapa alasan terlepas alasannya benar atau salah.
Di kali yang lain seorang aktivis salah satu organisasi pergerakan mahasiswa Islam menulis status pernyataan begini, “Bahwa pemikiran klasik itu adalah sikap stagnan juga rigid dan absurd untuk diimplementasikan bagi orang yang berakal.” Kalimat yang saya kutip tadi tak hanya tidak efektif secara gramatika, tapi juga keliru secara logika. Ia menggeneralisasi semua pemikiran klasik itu jelek, tanpa berusaha membuat pernyataan yang lebih spesifik dan khusus. Padahal pemikiran klasik begitu luas dan banyaknya. Pemikiran klasik yang mana dan pemikiranya siapa? Bagaimanapun produk pemikiran klasik Islam begitu beragam antara satu periode dengan periode abad lainnya.
Kerancauan-kerancauan berfikir seperti di atas sebenarnya bermuara pada krisis penguasaan ilmu logika atau mantik. Pernyataan dan pendapat tanpa menggunakan penalaran yang runtut sebagaimana yang dipelajari dari ilmu logika tak terasa kerap menghasilkan kesimpulan yang salah, karena memang di antara fungsi ilmu logika yaitu supaya menghindari dari membuat konklusi (natijah) yang meyimpang. Walau ilmu logika itu sangat penting sayangnya tak semua jurusan di perguruan tinggi diajarkan mata kuliah logika. Hanya jurusan dan fakultas tertentu saja seperti jurusan filsafat dan usuluddin yang terdapat mata kuliah logika. Maka dari itu seperti halnya di banyak pondok pesantren yang telah sekian lama mengajarkan ilmu mantiq di salah satu jenjang kelasnya, maka ilmu logika pun seyogianya juga menjadi mata kuliah wajib di semua jurusan dan fakultas. Tak cuma pada jurusan tertentu saja.
* Aktifis Forum Intelektual Santri NU Temanggung
Terpopuler
1
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
2
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
3
Kiai Ubaid Ingatkan Gusdurian untuk Pegang Teguh dan Perjuangkan Warisan Gus Dur
4
Pilkada Serentak 2024: Dinamika Polarisasi dan Tantangan Memilih Pemimpin Lokal
5
Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
6
Habib Husein Ja'far Sebut Gusdurian sebagai Anak Ideologis yang Jadi Amal Jariyah bagi Gus Dur
Terkini
Lihat Semua