Opini

Pendekatan Ilmu Akuntansi untuk Ungkap Terorisme

Selasa, 29 Mei 2018 | 21:00 WIB

Pendekatan Ilmu Akuntansi untuk Ungkap Terorisme

ilustrasi: kabarnesia.com

Oleh M. Aras Prabowo 

Pengungkapan jaringan terorisme di Indonesia menjadi penting untuk memberantas tindak pidana tersebut. Sebab aksi mereka kian mengkhawatirkan. Bahkan telah banyak menimbulkan korban jiwa serta kerugian materil lainnya.

Misalnya aksi bom Bali I dan II, bom di kedutaan Australia, bom di Kampung Melayu, bom Thamrin, insiden Mako Brimob dan rentetan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Hampir semua kejadian menimbulkan korban jiwa, apalagi bom Bali I, korbannya hingga ratusan orang baik warga Indonesia asli maupun warga negara asing.

Semuanya itu membawa luka bagi bangsa ini hinga ke aspek psikologis apalagi korban selamat dan keluarga yang ditinggalkannya. 

Akibat dari bom Bali I, atas desakan olah berbagai pihak, termasuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk keras aksi peledakan bom di Bali yang menelan ratusan korban jiwa dan melukai ratusan lainnya. PBB juga mendesak semua anggotanya untuk membantu pemerintah Indonesia dalam upaya mencari dan mengadili pelaku, perancang, dan sponsor aksi tersebut. Pemerintah diminta untuk menerbitkan undang-undang khusus dalam mengungkap kejahatan luarbiasa tersebut.

Hal ini jugalah yang melatarbelakangi pembentukan densus 88 antiteror. Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti-Terrorism Act".

Atas kerja sama berbagai pihak, tim gabungan Polri mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah dikantongi petugas. Tak cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para tersangka. Mereka tidak tinggal bersama namun masih di Indonesia. Selanjutnya, salah satu tersangka kunci ditangkap yaitu, Amrozi bin Nurhasyim hingga rentetan penangkapan yang terlibat dalam aksi yang tidak berperikemanusiaan tersebut.

Selanjutnya penangkapan buronan teroris nomor satu di Indonesia dan Malaysia Dr. Azahari di Kota Batu, Jawa Timur. Namun. penangkapan gerbong teroris ini ternyata tidak menjadi akhir kasus terorisme di Indonesia. Masih saja terjadi bom-bom selanjutnya hingga kelompok terorisme di Indonesia berbaiat ke Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Kelompok ini berkeinginan mendirikan sebuah khilafah, sebuah negara yang dikuasai satu pemimpin keagamaan dan politik menurut hukum Islam atau syariah. Mereka mendapatkan dukungan warga Islam di dunia yang menyatakan kesetiaan kepada pemimpinnya, Ibrahim Awad Ibrahim Ali al-Badri al-Samarrai atau Abu Bakr al-Baghdadi.

Untuk memaksimalkan pencegahan terorisme, pemerintahan era SBY mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012. Sebelumnya cikal bakal lembaga ini adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) di bawah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui keputusan nomor 26/Menko/Polkam/11/2002.

BNPT dalam menjalankan tugasnya menggunakan metode soft approach. BNPT menekankan upaya yang integratif dan komprehensif, mengedepankan pendekatan persuasif dengan berbagai program yang menyentuh akar persoalan, yakni ideologi, sosial, ekonomi dan ketidakadilan.  Dalam pelaksanaan programnya, BNPT melibatkan seluruh komponen bangsa, baik pemerintah (K/L) maupun masyarakat.

Sedangkan Densus 88 mengedepankan metode hard approach yaitu dengan penggunaan kekuatan militer sebagai back up  kepolisian, ada upaya intelijen dan menggunakan institusi penegak hukum. Tapi masih saja ada nafas untuk kelompok terorisme di Indonesia. Ada indikasi bahwa masih ada beberapa sel-sel yang tertidur dari kelompok ini yang melakukan gerakan di bawah tanah. Artinya ke depan masih ada tanggung jawab yang besar terkait penanggulangan terorisme.

Sehingga harus ada alternatif dalam pencegahan terorisme selain kedua metode yang telah diterapkan dalam instansi Polri dan BNPT untuk membongkar jejaring bahkan pendanaannya. Salah satu yang ditawarkan oleh penulis yaitu metode dengan pendekatan ilmu akuntansi. Sebuah pendekatan yang berusaha menelusuri alur pendanaan kelompok terorisme. Kenapa ini penting?

Menurut hemat penulis bahwa pertama, setiap aksi terorisme pasti disokong dengan pendanaan yang besar, sebab aksi tersebut bukan gerakan biasa dan bisa dilakukan dengan dana seadanya. Kedua, aktor yang terlibat bukan hanya pelaku di lapangan saja, tapi yang memberikan dana juga bagian dari aktor atau pelaku.

Gerakannya mirip seperti militer bahkan cara kerjanya hampir sama dengan intelijen. Para mantan napi terorisme yang telah sadar seperti Sofyan Sauri membeberkan bahwa saat dia bergabung di organisasi tersebut dia dilatih seperti militer dan intelijen termasuk cara mengintai dan diintai.

Kesimpulannya bahwa untuk malakukan kerja-kerja seperti itu pastilah memerlukan dukungan dana yang maksimal. Penelusuran sember-sumber dana ini menjadi sangat penting untuk memutus mata rantai pendanaan terorisme. Penulis melihat dari sudut pandang ilmu akuntansi bahwa tanpa dana, terorisme tidak akan bernafas dan terbatas untuk melakukan aksi brutal serta aksi pengeboman besar-besaran.

Pendekatan ini memerlukan audit investigasi dan accounting forensic khususnya dalam menelusuri dokumen-dokumen yang memiliki kaitan dengan Laporan Keuangan (LK) organisasi ini. Seperti diketahui bersama bahwa kelompok tersebut terorganisir otomatis dalam strukturnya memiliki bagian khusus yang menangani LK. Bagian inilah yang menjadi pusat perhatian pencegahan terorisme dengan pendekatan ilmu akuntansi.

Pendekatan ini juga untuk memback up kerja sama yang telah dibangun oleh BNPT dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuat pemetaan risiko tindak pidana pendanaan terorisme terkait jaringan teroris domestik yang terafiliasi ISIS.


Penulis adalah asisten dosen akuntansi Universitas Nahdatul Ulama Indonesia