Berbagai pandangan untuk tidak mengkhawatirkan kehadiran Covid-19 varian Omicron memang sangat baik untuk menenangkan. Namun, tak jarang orang terbuai sehingga lepas kendali.
Muhammad Syakir NF
Penulis
Penulis pernah sepekan mendekam di balik pintu kamar di Hotel Grand Tiga Mustika, Balikpapan, Kalimantan Timur setelah dinyatakan positif usai tes PCR pada akhir Januari lalu. Harapan untuk dapat menyaksikan langsung para kiai dikukuhkan sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan ulama dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu runtuh begitu saja. Saya hanya mampu menyaksikannya dari layar laptop.
Tentu bukan sekadar menyaksikan. Sedianya, saya harus meliput peristiwa itu dengan sebaik mungkin. Sayang seribu sayang, saya hanya mampu menyelesaikan satu tulisan mengenai pengukuhannya saja. Sakit kepala akibat Covid-19 varian Omicron itu tidak bisa ditahan saat menulis sambutan Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar yang berbicara dengan tegas mengenai supremasi Syuriah. Saya tidak mampu melanjutkan dan memilih menyerahkan separuh tulisan yang sedikit lagi matang itu kepada rekan yang lain untuk segera dirampungkan.
Memang, badan sedang kurang bersahabat sejak sepekan sebelumnya. Malam sebelum pengukuhan itu, seseorang menyerahkan ponselnya. Di seberang sana, suara tenang terdengar berusaha untuk berbicara dengan bahasa sehalus mungkin.
"Sampean sebaiknya menghindar dari keramaian. Tinggal di kamar saja."
Kalau sudah demikian, tentu tidak ada hal lain berkaitan dengan ucapan tersebut, selain tentang Covid-19. Gejala-gejala yang dirasakan memang sama betul. Namun, tes antigen yang saya jalani sehari sebelum keberangkatan menunjukkan hasil negatif.
Ada harapan itu prank, macam di konten-konten Youtube itu karena saya merasa hasil tes sebelumnya negatif. Sayangnya tidak. Ponsel kembali diserahkan.
Malam itu kamar milik pribadi yang semula bertiga. Dinas Kesehatan setempat mengirim pesan melalui pesan Whatsapp malam itu juga berisi anjuran pindah ke hotel yang saya tempati. Paginya, Dinas Kesehatan kabupaten yang tertera di KTP pun menghubungi. Seolah tak ingin kehilangan dan ketinggalan segala sesuatunya.
"Tenang. Santai saja."
"Tak usah dibawa pusing. Gak bahaya."
Berbagai pandangan untuk tidak mengkhawatirkan kehadiran Covid-19 varian Omicron memang sangat baik untuk menenangkan. Namun, tak jarang orang terbuai sehingga lepas kendali. Alih-alih waspada, justru santai-santai yang ada. Saking banyaknya narasi yang bermunculan akan keringanan dari varian ini sampai-sampai yang dirasakan justru menyepelekannya. Hal ini yang perlu dikhawatirkan.
Omicron, kata Presiden Joko Widodo dalam videonya yang ditayangkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden (4/2/2022), tidak perlu ditindaklanjuti sampai ke rumah sakit. Gejalanya yang lebih ringan dari varian-varian sebelumnya tidak mengkhawatirkan kesehatan. Fatalitasnya yang rendah pun membawa anggapan enteng. Namun faktanya, sudah cukup banyak orang meninggal akibatnya. Kalau pun kehilangan nyawa mereka diakibatkan oleh penyakit bawaan masing-masing, tetapi Omicron memperburuk itu semua.
Sebelum dinyatakan positif, saya masih mampu untuk berjalan mengikuti agenda yang sudah dijadwalkan panitia. Saya masih sempat mengunjungi titik nol IKN dan mengabadikan diri di sana dengan mengambil foto serta video usai melakukan liputan. Saya juga menikmati perjalanan naik turun jalanan Balikpapan yang asyik. Sebab, saya sudah terbiasa tancap gas ke daerah pegunungan, tempat saya tinggal di daerah Kuningan, Jawa Barat.
Sakit kepala masih saja bersarang sejak seminggu berselang. Flu masih ada meskipun sedikit. Syukur, badan lemas dan ngilu sudah tidak begitu terasa. Namun, gejala itu masih belum dapat mengembalikan diri saya seutuhnya. Sampai sini saja, kepala sudah semakin memberat. Apalagi pas bangun tidur atau hendak berdiri, mata akan sedikit kabur karena kepala yang amat berat. Pusingnya berbeda dari pusing yang biasa dirasakan.
Dari pengalaman ringkas ini, sebetulnya saya ingin mengingatkan diri sendiri dan pembaca untuk tetap berhati-hati dan menjaga diri. Penyakit tetaplah penyakit yang memiliki daya untuk membuat rasa sakit dalam tubuh kita. Jika Covid-19 menjangkiti tentu akan sangat menghambat segala pekerjaan dan aktivitas yang kita jalani, apapun itu.
Pada 6 Februari 2022 lalu, sudah tembus 36 ribu orang lebih terkonfirmasi positif dan mungkin akan terus memuncak hingga akhir Februari mendatang menurut beberapa prediksi. Beberapa rekanan saya yang semula negatif juga kini terkonfirmasi positif. Mereka harus mengistirahatkan diri di dalam kamarnya masing-masing untuk membuat sedikit perdamaian dengan si Omicron.
Untuk itu, langkah paling awal adalah mengenali setiap gejala virus ini. Setelahnya, jika terasa ada gejala yang sama, kita perlu tes untuk memastikan kondisi. Jika pun tak ada biaya karena kemahalan tes PCR yang mencapai ratusan ribu itu, kita bisa memilih antigen yang seharga puluhan ribu.
Kalau pun hal tersebut masih belum terjangkau, setidaknya kita bisa memilih untuk berdiam diri di rumah. Dan kalau pun itu masih belum bisa dilakukan karena aktivitas yang padat, pastikan kita selalu menggunakan masker dengan baik, mencuci tangan sesering mungkin, dan menjaga jarak dengan orang lain. Itu selemah-lemahnya cara dalam menghadapi Covid-19 ini.
Sementara pemerintah juga harus bertindak untuk membatasi pergerakan masyarakat. Pendidikan yang harus dikembalikan ke mode daring, pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah bisa diterapkan, hingga pembatasan perhubungan luar negeri. Semua itu perlu diterapkan dengan penuh pengawasan mengingat gelombang ketiga ini telah ada di depan mata. (Syakir NF)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua