Oleh Melly Nurul Fajriyah
Sebuah pernikahan merupakan Langkah awal. Ibaratnya baru memulai untuk mangarungi lautan yang penuh rintangan. Di mana harus ada kerja sama antara sepasang suami dan istri untuk menjalani tugas kehidupan dan mengatasi semua rintangan.
Agar perjalanan dalam mengarungi bahtera rumah tangga bisa tercapai dengan baik, maka salah satunya harus menjadi pemegang kemudi dan yang lain menjadi penumpangnya. Islam telah memilih seorang laki-laki untuk menjadi pemegang kemudi yang tepat. Berdasarkan ayat:
الرجال قوامون على النساءبمافضل الله بعضهم على بعض وبما انفقومن اموالهم
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (Q.S An-Nisa : 34)
Namun permasalahan beda gender dewasa ini tidak membuat satu sama lain berat sebelah, sehingga proporsional. Begitu pun dalam persoalan seorang istri yang ikut bekerja suaminya, padahal suami sudah diberi tanggung jawab mencari nafkah.
Sebagian suami mungkin mengizinkan istrinya keluar rumah untuk bekerja atau pun melakukan kepentingan yang lain. Namun sebagian yang lain tidak mengizinkan dengan berbagai alasan. Sedangkan masyarakat juga membutuhkan peran perempuan di ranah publik.
Bagaimanakah fikih menjawab permasalahan ini, mengingat zaman sudah modern mungkin saja peran publik seorang perempuan sebagai istri bisa dilakukan tanpa keluar rumah, misalkan melalui media sosial. Lalu apakah kemungkinan seperti itu dibenarkan dalam keilmuan fikih? Apakah termasuk menentang larangan suami?
Menurut pandangan fikih yaitu yang terdapat dalam kitab Al-Daurur Al-Bahiya kitab Fatawa Kuwait halaman 112 juz 9, diterangkan bahwa kodrat atau peran domestik seorang perempuan adalah melayani suami, mengurus rumah, mengasuh anak, dan membesarkan anak untuk menjadi generasi penerus yang baik.
Hal itu sebagai imbalan terhadap seorang suami karena telah mengayomi, mencukupi kebutuhan hidupnya dan membelanjakannya. Dan sebab hal itu juga seorang perempuan ketika ingin keluar rumah harus mendapatkan izin dari suami dan menaati apapun yang dikatakan suami, asalkan tidak menyimpang dari ajaran syariat Islam.
Selain itu, terdapat peran yang lainnya bagi seorang perempuan namun tidak bersifat kodrati, melainkan kedudukannya hanya sebagai peran pelengkap, yaitu peran publik. Adapun peran publik seorang perempuan yaitu berhubungan dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah selain urusan rumah tangga. Seperti bekerja, berbisnis, berkarya, atau yang lainnya. Peran publik bukan merupakan hal yang baru, bahkan dalam sejarah tercatat beberapa nama wanita tangguh dan sukses dalam perannya di ranah publik.
Ratu Bilqis yang berasal dari kerajaan Saba’. Ia merupakan ratu yang adil, pemberani, bijaksana, dan tegas dalam mengambil keputusan untuk kemajuan negerinya. Kemudian pada masa Rasulullah terekam juga jejak- jejak kegigihan para istri Rasulullah dalam menjalankan perannya di publik, yaitu sebagai pedagang, pengajar, pengrajin, dan ada juga para sahabat yang ikut jihad berperang di jalan Allah.
Lalu dalam sejarah Indonesia banyak sekali pahlawan perempuan yang diakui keberaniannya, yaitu Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, RA Kartini, perempuan-perempuan dari kalangan pesantren, dan masih banyak lagi. Bahkan perempuan pada masa sekarang ini juga banyak yang berperan di publik, misalnya ada yang menjadi politikus, petinju, pendakwah, pedagang, dan lainnya.
Peran domestik dan peran publik seorang wanita tidak bisa lepas dari tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Tidak semua suami mengizinkan istrinya untuk menjalankan peran publik walaupun peran domestiknya terselesaikan.
Bahkan tidak memungkiri kemungkinan bahwa suami tahu jika istrinya lebih dibutuhkan di publik namun suami tetap melarang istri berkecimpung di ranah publik. Mungkin ada berbagai alasan suami tidak mengizinkan hal tersebut, salah satunya khawatir munculnya marabahaya ataupun fitnah yang nantinya akan bermunculan.
Perlu dikaji dan dipahami kembali bahwa dalam permasalahan rumah tangga ini, di mana seorang suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab penuh atas istrinya. Namun bertanggung jawab disini bukan diartikan bahwa seorang suami mempunyai hak otoritas mutlak dan mendiskriminasi peranan terhadap istri mereka. Sebagaimana dalam penafsiran ayat 34 dalam Surat An-Nisa’ sebagaimana yang tertera di atas.
Dimana kata qowwamuna yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan untuk gelar kehormatan seorang pria sebagai pemimpin keluarga, melainkan sebagai bentuk beban kewajiban bagi seorang pria untuk memimpin, membimbing dan mendidik istrinya menuju jalan yang benar.
Terdapat dalam kitab Zuhrah Al-Tafasir oleh Imam Abu Zahrah:
قوله تعالى : (الرجال قوامون على النساء) فاءن المعنى ان الرجال ىقومون على شئون النساء بالحفظ والرعاية والكلاءة والحمابة
Maksud dari firman Allah “Laki-laki adalah pemimpin wanita”, yaitu seorang laki-laki bertanggung jawab mengatur urusan wanita dengan menjaga, melindungi, mengayomi, dan mempertahankannya.
Begitu juga yang terdapat dalam Ma’allim Al-Tanzil oleh Imam Al-Baghawi
قوله تعالى : (الرجال قوامون على النساء) اي مسلطون على تاءديبهن والقوام والقيم بمعنى واحدواقوام ابلغ وهوالقائم بالمصالح والقدبير والتاءديب
Maksud dari firman Allah “Laki-laki adalah pemimpin wanita”, yaitu seorang laki-laki mempunyai hak untuk mendidik perempuan. Al-Qawwam dan al-Qayyim memiliki arti sama, namu al-qawwam mengandung makna lebih dalam, yaitu orang yang bertanggung jawab dengan kemaslahatan, mengatur dan mendidik perempuan.
Jadi sudah jelas bahwa seorang suami tidak berhak memaksakan kehendaknya dengan semena-mena terhadap istrinya, harus tetap mempertimbangkan mana yang lebih maslahat untuk istrinya. Begitu juga si istri juga harus menaati suami jika perintahnya tidak menyimpang dengan syariat. Intinya harus ada unsur saling menekan ego masing-masing agar tidak menimbulkan pertengkaran dalam sebuah hubungan rumah tangga.
Kemudian bagaimana jika si istri menginginkan hal lain padahal suami tidak mengizinkannya. Misalnya dalam permasalahan seorang istri yang keluar rumah untuk mengerjakan peran publik seperti bekerja dan yang lainnya.
Dalam keterangan Tafsir Ibnu Katsir halaman 482 juz 3 diterangkan bahwa prinsip dasarnya adalah bahwa wanita tinggal di rumah, dan ini tidak berarti bahwa dia tetap berada di dalam rumah dan tidak keluar sama sekali, karena syariat mengizinkannya keluar untuk memenuhi keperluannya. Jika ia merupakan seorang istri maka harus izin kepada suaminya. Adapun seorang suami juga tidak boleh zalim dalam menggunakan hak tersebut.
Namun disamping itu ada beberapa persyaratan ketika seorang perempuan tersebut keluar dari rumahnya, yaitu menggunakan pakaian islami, tidak memakai wewangian dan tidak memakai perhiasan apapun di wajahnya, pergi keluar untuk hal-hal penting, menjauhi tempat-tempat keramaian yang berpotensi menyebabkan kemadharatan, lebih baik ditemani, apalagi perempuan tersebut masih muda.
Dalam hal ini fiqih juga ikut membahasnya, salah satunya pada kitab Al-Daurur Al-Bahiya Kitab Fatawa Kuwait halaman 303 juz 10. Dalilnya yaitu:
اذاكان عمل الزوجة خاليا من المحظورات الشرعية وليس منافيا لمصلحة السرة فلا تعد ناشرا بالخروج اليه ولاتسقط بذلك حقوقها الشرعية كالمعاشرة الزوجية والنفقة والله اعلم
“Jika pekerjaan istri bebas dari larangan hukum, dan tidak bertentangan dengan kepentingan keluarga, maka dia tidak dianggap tidak patuh untuk pergi keluar padanya, dan dengan demikian tidak kehilangan hak-hak hukumnya seperti hidup bersama dalam perkawinan dan tunjangan”.
Dari berbagai argumen di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya seorang istri boleh melakukan perannya di ranah publik jika dirasa memang perannya sangat dibutuhkan masyarakat, walaupun suami tidak mengizinkannya. Selain itu harus menjalankan syarat-syarat sebagai mana yang tertera di atas. Dan perlu diingat kembali bahwa seorang suami juga tidak boleh mendiskriminasi seorang istri.
Adapun jika keluarnya istri menyebabkan perselisihan yang sampai menyebabkan pertengkaran hebat dengan suami maka lebih baik istri tidak memaksakan kehendaknya. Kemudian mengingat lagi pada era saat ini kita sudah masuk pada era modernisasi, dimana seorang istri tetap bisa mematuhi larangan dari suaminya dengan tidak berinteraksi langsung dengan publik, yaitu beralih menggunakan media sosial internet.
Sebagaimana yang diterangkan dalam Kitab Fatawa AL-Syabkah Al-Islamiyyah pada halaman 16227 juz 13 bahwa :
حكم عمل المراة في مجال الاعلام. السؤال : اعمل في ميدان الاعلام وبالضبط في التيلفزيون كمحررة اخبار فماحكم الشرع ؟
فالاصل في عمل المراءة الجواز اذا امنت الفتنة وكان العمل مباحا
Teks di atas menjelaskan “Hukum Perempuan Bekerja di Bidang Media”. Lalu ada pertanyaan bahwa ada seorang wanita yang bekerja di bidang media khususnya televisi, bagaimanakah hukumnya?. Nah pada dasarnya prinsip dalam bekerja wanita adalah boleh jika dia aman dari hasutan dan pekerjaan itu boleh (menurut syariat).
Menurut penulis hal tersebut menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan ini, karena istri tetap berada di dalam rumah. Dan keterlibatan istri di ranah publik melalui media sosial tidak menyebabkan bahaya-bahaya yang dikhawatirkan sebagaimana jika istri keluar rumah.
Penulis adalah Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda fii Ushul Fiqh
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua