Opini

Perjuangan Pelajar Indonesia di Mesir dan Belanda

Selasa, 18 Agustus 2020 | 16:00 WIB

Perjuangan Pelajar Indonesia di Mesir dan Belanda

Para pelajar terdahulu telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Saatnya pelajar saat ini mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya melalui prestasi dan kegiatan-kegiatan positif lainnya demi tetap utuhnya dan majunya bangsa Indonesia.

Oleh: Syakir NF

Jauh sebelum merdeka, masyarakat Indonesia sudah berdiaspora ke berbagai negara, bahkan hingga ke Madagaskar. Masyarakat di sana juga mengakui bahwa leluhur mereka berasa dari Nusantara. Persebaran bangsa Nusantara semakin meluas, tidak saja di jalur Austronesia, tetapi juga hingga ke Timur Tengah, yakni Mesir pada abad ke-19 dan juga Belanda.


Sebagai makhluk sosial yang butuh akan kehadiran orang lain dengan memiliki tujuan yang sama, diaspora Indonesia di Negeri Kinanah akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan al-Jamiatul Khairiyyatul Jawiyah pada dasawarsa ketiga abad kedua puluh, tepatnya pada 14 September 1923 M. Zein Hasan (1980: 26) mencatat bahwa organisasi pertama berdiri itu di bawah pimpinan (alm) Janan Thaib.


Para pemuda Indonesia di Mesir pada tahun itu masih menggunakan Jawi, belum Indonesia. Kata yang pertama ini memang paling maklum dikenal oleh masyarakat di sana untuk merujuk negeri kepulauan yang berada di arah tenggara itu. Sebab, para ulama kerap menisbatkan namanya pada kata tersebut, al-Jawi, seperti Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi, Syekh Abdus Shomad al-Falimbani al-Jawi, dan lain sebagainya.


Zein menyebut bahwa pada saat itu nama Indonesia belum dikenal oleh orang dan nama Jawa meliputi seluruh Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaya, Siam, dan Filiphina. Nama Indonesia pada tahun itu semestinya sudah dikenal mengingat Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah berdiri sejak tahun 1914.


KH Abdul Wahab Hasbullah sudah menganggit syair dengan menyitir Indonesia negeriku pada dekade kedua abad dua puluh. Penulis menduga ada maksud lain dari penamaan organisasi tersebut. Pertama, kebangsaan bagi diaspora Indonesia di Mesir tidak saja dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote, tetapi juga meliputi bagian selatan dari Thailand dan Filiphina, juga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam yang notabene juga masih termasuk dalam definisi al-Jawi.


Organisasi ini juga berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Zein Hasan mencatat bahwa perhimpunan ini meskipun dalam surat izin berdirinya No. 323 hanya bagi kegiatan-kegiatan sosial, tetapi ia tidak pernah membatasi dirinya pada kegiatan itu saja.


Mereka tidak saja mulai tetapi juga ikut mendorong rakyat Indonesia untuk memenangkan beragam tuntutan, yakni dengan mereka menulis pada majalah-majalah mereka, seperti Seruan Al-Azhar, Pilihan Timur, Merdeka, dan Usaha Pemuda. Karena terlihat membangkitkan semangat perlawanan berlebih, maka Belanda dan Inggris sebagai negeri yang berkuasa pun melarang peredarannya di Indonesia.


Pada pemulaan tiga puluhan, organisasi yang semata-mata guna kegiatan politik lahir di Mesir dengan nama Perhimpunan Indonesia Raya di bawah pimpinan Prof Abdulkahar Muzakkir. Sebenarnya, nama Indonesia telah mulai dikenal di Timur Tengah pada pertengahan tahun dua puluhan. Hal itu terbukti dari nama Madrasah Indonesia yang didirikan Janan Thaib di Mekkah, sekembalinya dari melawat ke Eropa dan menetap di Tanah Suci itu.


Nama Al-Jamiatul Khairiyatul Jawiyah, sebagaimana disebut Zein, telah ditukar namanya menjadi Persatuan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) pada pertengahan tahun tiga puluhan.


Tahun 1926, Ketua Al-Jamiatul Khairiyatul Jawiyah Janan Thaib telah diutus ke Belanda untuk menemui Ketua Perhimpunan Indonesia Mohammad Hatta dalam rangka koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan diaspora para pelajar Indonesia sudah bersatu meski terbentang jarak ribuan kilometer dan tinggal jauh dari tanah air.


Di samping itu, Madrasah Indonesia di Mekkah juga telah banyak menolong mengembangkan rasa kesadaran berbangsa pada ribuan warga Indonesia-Malaya yang mulanya terpecah belah karena khilafiyah, suku, dan fitnah yang diembuskan oleh Belanda. Pada pertengahan tahun 1930-an mereka terikat dalam Persatuan Talabah Indonesia Malaya (Pertindom).


Rasa nasionalisme itu kian tumbuh manakala para pelajar Indonesia di Kairo, Mesir semakin tidak percaya akan ide Pan-Islamisme. Hal tersebut, menurut Ricklefs (1996: 286), diperkuat oleh gagalnya konferensi-konferensi kekhalifahan yang diselenggarakan di Kairo dan Mekkah pada Mei dan Juni 1926.


Iljas Jacub (1902) dan Muchtar Lutfi (1901), tokoh dari Minangkabau kembali ke kampungnya masing-masing pada tahun 1929 dan 1931 dan mengusung Islam dan Kebangsaan sebagai slogan atas organisasi Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang mereka ambil alih kepemimpinannya.


Pergerakan demikian tentu melahirkan hal positif yang sangat membantu mempercepat kemerdekaan Indonesia dari jajahan. Setidaknya, Zein Hasan (1980) mencatat tiga hal penting yang diperoleh dari perjuangan para pemuda diaspora Indonesia di Timur Tengah dan Belanda, yakni (1) dikenalnya pergerakan kemerdekaan dan aspirasi nasional Indonesia di Timur Tengah, (2) meratanya kesadaran nasional di kalangan mereka, dan (3) terwujudnya persatuan nasional yang tadinya terpecah-pecah, terutama di Saudi Arabia, oleh kedaerahan dan soal-soal khilafiah.


Tak ayal, pemerintah Mesir sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Suranta Abd. Rahman (2007: 155) mencatat setidaknya ada dua hal penting diplomasi Indonesia di Mesir.


Pertama, kedudukan Mesir begitu dominan dalam kebijakan politik negara-negara Arab karena menjadi basis dan pemegang kendali Liga Arab. Kedua, dengan menganalisis dukungan Mesir terhadap kemerdekaan RI menjadi sarana yang tepat untuk memahami sejarah hubungan Indonesia-Mesir yang telah terbentuk sejak sebelum proklamasi kemerdekaan.


Sementara itu, sebagaimana telah disebuntukan di atas bahwa pelajar Nusantara di Belanda juga melakukan pergerakan. Pemuda kelahiran Minangkabau tahun 1902 yang tengah belajar di Leiden menjadi salah satu motornya, yakni Mohammad Hatta. Staven Drakeley (2005: 54-55) mencatat bahwa Hatta di sana belajar untuk menjadi seorang pengacara dan ahli ekonomi yang juga turut serta aktif dalam politik. Dia juga menjadi pemimpin inti pada Persatuan Hindia di Belanda.


Organisasi tersebut lahir pada tahun 1908 yang dibidani oleh antara lain Sutan Kasayangan dan R.M. Noto Suroto. Nama organisasi berubah menjadi Indonesische Vereniging (Perhimpunan Indonesia) sejak tahun 1922. Namun, Hatta (2016) dalam otobiografinya mencatat bahwa nama tersebut diganti sepenuhnya dengan bahasa Indonesia, Perhimpunan Indonesia, pada 8 Februari 1925.


Ricklefs (1994: 279) mencatat bahwa organisasi ini semakin terlibat banyak pada dunia perpolitikan. Perhimpunan Indonesia bergerak menjalin kerja sama dengan perkumpulan dan tokoh-tokoh pemuda dari negara jajahan di Asia dan Afrika yang juga memiliki cita-cita yang sama dengan Indonesia.


Selain Hatta, pemuda yang tampil dalam organisasi tersebut antara lain adalah Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo. Dengan belajar di Negeri Kincir Angin itulah, jelas Ricklefs, mereka semakin terpelajar dengan pandangan yang luas dan tidak romantis tentang dunia luar. Kelak merekalah yang memimpin jalannya laju negara Indonesia selepas merdeka.


Para pejuang Indonesia di Belanda itu berjuang dengan menerapkan dua strategi, yakni perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Maksud perlawanan pasif adalah berdiam diri menolak berbicara dengan pihak Belanda. Sementara perlawanan aktif di bawah tanah ini dilakukan guna menggagalkan usaha Belanda mengumpulkan warga Indonesia di luar negeri guna sama-sama membebaskan Indonesia dari pendudukan Jepang, atas dasar pidato atau janji Ratu Wilhelmina tahun 1942 dan memengertikan dunia Arab khususnya dan dunia internasional pada umum bahwa perjuangan bangsa Indonesia semenjak puluhan tahun itu adalah buat membebaskan bumi Indonesia dari penjajahan Belanda.


Para pelajar terdahulu telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Saatnya pelajar saat ini mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya melalui prestasi dan kegiatan-kegiatan positif lainnya demi tetap utuhnya dan majunya bangsa Indonesia.


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)