Pesantren: Instrumen Sinergi antara Ilmu, Islam, dan Indonesia
Selasa, 16 Februari 2016 | 12:34 WIB
Oleh Suwendi
Keberadaan pondok pesantren
menempati posisi strategis terutama dalam konteks pengembangan keilmuan,
keislaman, dan keindonesiaan. Ilmu, Islam, dan Indonesia dalam beberapa
diskursus terkadang dipahami secara diametral, sehingga sulit ditemukan titik
temu antara ketiganya. Ilmu yang oleh sebagian cendekiawan dikategorikan
sebagai sesuatu yang ”bebas nilai”, sehingga memadukan antara ilmu dan Islam
yang oleh sebagian pemikir disebut proses islamisasi ilmu (islamization of
knowledge) menghadapi kendala yang cukup serius, baik pada tingkat ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya. Demikian juga mengembangkan Islam yang
berkarakter keindonesiaan oleh sebagian kelompok ditanggapi secara
resistensial.
Sebagian masyarakat mengidentikkan Islam dengan dunia Timur, khususnya Arab.
Islam adalah Arab, dan Arab adalah Islam. Bahkan, seringkali memperadukkan dan
tidak membedakan antara: mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Dianggapnya
semua budaya Arab adalah ajaran Islam, dan ajaran Islam adalah semua yang
berasal dari Arab. Hal ini mengakibatkan Islam dianggapnya hanya milik Arab. Di
sisi lain, kita tidak memiliki keyakinan untuk mengatakan bahwa Indonesia juga
adalah Islam. Di Arab ada Islam, di Indonesia juga ada Islam. Di sinilah
tantangan yang sangat serius bagi dunia pesantren untuk mencari formulasi integrasi
”Ilmu, Islam, dan Indonesia” baik pada tingkat pengembangan akademik,
kurikuler, maupun desain kelembagaan yang jelas.
Sejumlah cendekiawan muslim Indonesia sesungguhnya telah banyak melahirkan
ide-ide pembaharuan dalam Islam-Indonesia. Abdurrahman Wahid dengan gagasan
”Pribumisasi Islam”, Nurcholish Madjid dengan ide merelasikan antara ”Islam dan
Modernitas”, Quraish Shihab dengan gagasan ”Membumikan Islam”,
atau “Islam Aktual” milik Jalaluddin Rahmat, merupakan ijtihad yang luar biasa dalam merumuskan
Islam yang ”kekinian” dan ”kedisinian”. Islam yang mampu menjawab problem
kekinian dan modernitas serta Islam yang fungsional dan aktual diterapkan di
sini, di Indonesia.
Problematika masa dulu dengan masa kini tentu berbeda dan jauh lebih komplek.
Demikian juga tantangan di belahan dunia sana jauh berbeda dengan tantangan
yang dihadapi negara ini. Oleh karenanya, transformasi keislaman dari Islam-potensial
menjadi Islam-aktual begitu penting. Islam
tidak hanya di langit, tetapi ada juga di bumi. Islam tidak hanya sebagai
ajaran agung, tetapi juga ajaran yang mampu menyelesaikan persoalan
kemanusiaan.
Dalam konteks itu, pesantren dituntut agar mampu melahirkan sejumlah pemikir,
pembaharu, dan mujtahid yang melahirkan gagasan-gagasan besar, ide-ide
transformatif yang mampu menempatkan Islam sebagai pemecah problematika
kemanusiaan. Untuk itu, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pondok pesantren ke
depan.
Pertama, jadikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam nasional dan dunia yang berkarakter
keindonesiaan. Ciri khas budaya dan tradisi keislaman dengan meneguhkan tradisi
lokalitasnya perlu direvitalisasi dengan tetap terbuka atas wacana pembaharuan dan
pemikiran yang kontributif bagi pengembangan pendidikan. Pesantren didorong
untuk menjadi wadah dialektika pemikiran, keilmuan, dan kebangsaan dengan tetap
teguh atas kekhasan yang dimiliki pesantren. Oleh karenanya, revitalisasi atas
budaya dan kearifan lokal patut untuk dijunjung tinggi.
Kedua, jadikan pesantren
sebagai media yang mampu membentengi dari pemikiran
dan gerakan radikalisasi agama. Ancaman radikalisasi agama sangat kuat dan
nyata, dan itu tidak bisa dibiarkan. Radikaliasi keagamaan harus hadapi dengan
mengembangkan pemikiran dan gerakan keislaman yang rahmatan lil’alamin, pemikiran dan gerakan keislaman yang damai, yang menjunjung tinggi
demokrasi, hak asasi manusia, multikultural, dan semangat kemanusiaan, dengan
tanpa meninggalkan identitas dirinya sebagai makhluk Tuhan yang harus selalu
beribadah kepada-Nya. Cara dan metode dakwah dan keagamaan yang dikembangkan
oleh Walisongo patut diberikan ruang yang cukup. Dakwah yang dimaksud adalah
dakwah yang menenteramkan dan menyejukkan umat, bukan dakwah yang mencaci maki
atau menghegemoni pemahaman keagamaan. Umat Islam Indonesia membutuhkan dan
mendambakan lulusan pesantren yang mampu menyatukan dan meneguhkan kebersamaan,
bukan menyalahkan dan menyudutkan.
Ketiga, dengan bertambahnya
varian-varian layanan pendidikan di lingkungan pesantren, bukan berarti lalai
atau meninggalkan kajian dan konsentrasi keilmuan yang justru menjadi identitas
lembaga pesantren. Hal ini patut menjadi perhatian, pasalnya belakangan mulai
terjadi fenomena dengan mengakomodasi sejumlah layanan pendidikan itu menjadikan kajian keagamaan (tafaquh fiddin) yang awalnya menjadi ciri dari pesantren malah justru semakin tertinggal. Ketika pesantren mengakomodasi layanan pendidikan
formal, semisal sekolah dan madrasah, justru kajian kitab kuning semakin
berkurang. Oleh karena itu, merevitasilasi pesantren yang hanya
menyelenggarakan kajian kitab kuning
mutlak dilakukan.
Keempat, pondok pesantren
didorong untuk memiliki jaringan kerjasama (networking) yang luas, baik
dalam pengembangan akademik, perpustakaan, sarana prasarana, maupun akses
pemanfaatan lulusan. Kerjasama tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga
terhadap sejumlah lembaga berskala regional dan dunia. Kreativitas dan
pemikiran out of the box juga diperlukan demi pengembangan pesantren yang lebih baik.
Tentu saja, di samping beberapa langkah di atas, masih banyak pemikiran dan
upaya lain yang patut dirumuskan untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga
yang khas keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan.
Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Dosen STAINU Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
6
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
Terkini
Lihat Semua