Opini

Pesantren Sufistik Kaum Lansia

Selasa, 25 Agustus 2020 | 23:30 WIB

Pesantren Sufistik Kaum Lansia

Secara psikologis, para lansia memang mengalami banyak problem. Ilmu psikologi memberi porsi khusus membahas tentang fase lansia. (Ilustrasi: NU Online)

Pagi hari (20/8) HP saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara Kyai Muhammad Labid Faidli. Senior alumni pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Beliau bilang ingin mengembangkan pesantren khusus lansia dan meminta saya bergabung. Terus terang, ini kali pertama saya mendengar. Dalam hati bertanya, wah ada ya pesantren khusus lansia?


Lalu saya simak apa yang beliau ungkapkan. Pesantren nanti, katanya, akan membuka kajian tasawuf secara khusus bagi orang-orang tua. Sebagian waktunya akan di-insert amalan tarekat. Mereka "para santri" tidak menginap layaknya pesantren klasik. Seminggu sekali mereka datang mengikuti kajian sufistik (tasawuf), sekaligus diajarkan amalan tarekat (jalan spiritual dengan amalan-amalan tertentu).


Selepas menerima telepon, saya merenung. Betul juga pak kyai Labid itu. Kenapa? Banyak lansia di negeri ini yang gundah gulana menjalani hari-hari tuanya. Ada kegalauan. Fisik makin melemah. Pikiran tambah pragmatis. Emosi cenderung sensitif. Sementara secara spiritual perlu input dan pengalaman lebih banyak. Saat yang sama, lansia membutuhkan kawan senasib yang "nyambung" untuk membangun PD yang terus menurun pasca pensiun.


Secara psikologis, para lansia memang mengalami banyak problem. Ilmu psikologi memberi porsi khusus membahas tentang fase lansia. Hal ini bisa dimaklumi sebagai bagian dari proses kehidupan. Menjadi tua adalah proses menuju titik akhir. Tidak ada yang abadi dalam dunia yang fana' ini.


Selepas pensiun sekitar 56 tahun ke atas, rata-rata lansia mengalami gangguan psikologis. Bagi bekas pejabat atau pekerja kantoran, misalnya, banyak yang mengidap "post power syndrome". Yaitu munculnya perasaan yang tidak bisa menerima perubahan berkaitan dengan hilangnya aktifitas, hilangnya kekuasaan, hilangnya harta, hilangnya kesempatan, dan sebagainya.


Beberapa masalah pada lansia bisa disebut, diantaranya: pertama, kesepian. "Menganggur" pasca sibuk bekerja akan menimbulkan "gap" psikologis antara yang senyatanya dan seharusnya. Saat masih bekerja merasa dibutuhkan orang banyak, namun pasca pensiun hidup dilakukan "sendiri". Tiada teman yang bisa diajak bicara untuk bertukar pikiran kecuali pasangan yang sudah sama-sama tua, sama-sama penuh dengan kelemahan.


Perasaan kesepian juga muncul karena berada jauh dengan anak-anak yang memiliki kesibukan masing-masing. Sepi dan jauh dari ikatan keluarga seakan-akan hidup terasing (teralienasi) menambah beban batin. Logika makin kurang tajam dan emosi makin sensitif terhadap orang lain. Bahkan banyak lansia menjadi mudah marah hanya karena hal-hal sepele.


Tentu tidak semua lansia mempunyai pengalaman sama. Ada lansia yang justru tetap memiliki aktifitas sosial yang tinggi. Bahkan kadang mereka lupa usianya setelah memasuki usia senja. Masa pensiun menjadi momen menjadi "diri sendiri". Energinya terpacu justru setelah pensiun. Dalam kasus ini lansia tidak merasa kesepian meski telah berhenti beraktifitas di tempat sebelumnya atau mungkin berada jauh dengan orang yang dicintainya.


Kedua, tekanan psikologis yang panjang akibat kehilangan orang yang dicintainya, khususnya pasangan dekat (suami/isteri). Banyak kasus lansia yang pada akhirnya tidak lama menyusul meninggal dunia karena terlalu berat ditinggal pasangan yang sangat dicintainya. Mereka menjadi stress, bahkan depresi berat akibat kesedihan mendalam dan panjang, sehingga memicu gangguan fisik dan mentalnya. 


Kedua, tekanan batin akibat permasalahan hidup yang terlalu lama, seperti kemiskinan, penyakit yang tak kunjung membaik, keturunan yang tidak bisa merawatnya, dan lain-lain yang dapat menyebabkan depresi. Dalam kasus tertentu menimbulkan kepikunan dan kehilangan orientasi hidup karena kecemasan yang berlebihan. Akibatnya, lansia seperti kehilangan keseimbangan. Orang bilang, lansia yang hidup segan, mati tak mau.


Ketiga, problem psikologis parafenia, yaitu gangguan psikologis semacam Skizofrenia yang berbentuk pada rasa curiga yang berlebihan. Hal ini terjadi pada lansia yang terisolasi atau menarik diri dari kehidupan sosial. Sebagian lansia memang secara ekstrem menarik diri dari kehidupan sosial karena berbagai masalah seperti yang disebutkan di atas. Akibat paling serius dari situasi ini adalah perasaan curiga berlebihan kepada orang lain. Apalagi terhadap orang yang tidak dikenal.


Berdasarkan uraian tersebut, keinginan Kiai Labid yang akan mengembangkan pesantren khusus lansia sangat penulis apresiasi. Kenapa? Karena pesantren akan memfasilitasi lansia dari sisi kebutuhan spiritual. Lansia sangat membutuhkan input dan pengalaman spiritual lebih banyak. Kondisi psikologis yang semakin labil karena faktor biologis dan sosial, diperlukan orang-orang yang peduli kepada mereka. Salah satu lembaga pendidikan yang cocok bagi mereka adalah pesantren sufistik yang didesain secara khusus.


Jika dibandingkan dengan lembaga panti jompo, tentu sangat berbeda. Pesantren sufistik sebagai kawah candradimuka keilmuan dan amalan spiritual lansia akan lebih kompatibel untuk menaikkan level spiritual mereka. Setidaknya ada tiga alasan besar kenapa pesantren sufistik penting buat lansia:


Pertama, pesantren sufistik akan memperlakukan lansia sebagai orang yang sangat terhormat. Pesantren akan menempatkan mereka sebagai aset generasi yang perlu didampingi untuk mengisi hari-hari tuanya. Hal ini sesuai dengan spirit Islam yang memandang lansia dengan pandangan yang sangat terhormat. Islam memperlakukan mereka dengan baik dan mengajarkan umatnya agar keberadaan lansia tidak dianggap sia-sia di tengah masyarakat.


Banyak pesan-pesan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya tentang hal ini, diantaranya: "hormatilah orang-orang yang lebih tua dari kalian, cintai dan kasihilah orang-orang yang lebih muda dari kalian. Dalam hadits lain juga disebutkan: "Bukan termasuk golongan kami mereka yang tidak menghormati orang-orang lanjut usia di antara kami" (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Pesan hadits yang kedua nampak sekali Nabi SAW begitu keras mengutuk orang-orang yang tidak mau berbuat baik kepada lansia.


Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat berpengalaman dalam pengajaran Islam rahmat. Di pesantren, para santri akan diajarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin. Pesantren melalui wisdom-nya akan membentuk jiwa beragama yang adem, mencerahkan, dan jauh dari pesan-pesan ekstremisme dan liberalisme, yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh kelompok lansia.


Sebagaimana teori perkembangan keimanan James Fowler, bahwa usia di atas 45 tahun seharusnya telah mencapai pada tingkatan iman universal. Melalui nilai-nilai universalisme Islam yang disuguhkan tasawuf, para santri lansia akan diajarkan tentang konsep-konsep substanstif bagaimana menemukan kesejatian diri dan menikmati hubungan intens dengan Allah. Apalagi pesantren dikenal sebagai pusat berkembangnya kelompok tarekat di tanah air.


Ketiga, para santri lansia di pesantren akan langsung "diajak" melakukan perjalanan spiritual secara khusus melalui ajaran tarekat yang mu'tabarah (diakui orisinalitasnya). Pengalaman spiritual melalui jalan spiritual (suluk) akan membawa para lansia menemukan hakikat diri yang mungkin tidak lama lagi akan menemui Rabb-nya.


Sebagaimana watak kebanyakan lansia yang cenderung mencari "kebahagiaan" dan "ketenangan" di sisa kehidupannya di dunia dengan memperbanyak amal ibadah dan kebaikan sosial lainnya. Melalui pesantren khusus, mereka akan dibimbing, diarahkan, dan diajak "berpetualang" secara spiritual yang bisa jadi tidak pernah atau sedikit dilakukan semasa muda.


Jadi, pesantren sufistik untuk kalangan lansia akan menyentuh aspek sosial, kemanusiaan, praktik ritual dan pengalaman spiritual terdalam yang sangat dibutuhkan oleh para lansia, khususnya mereka yang telah pensiun dari kerja atau aktifitas duniawi. Tentu sangat relevan gagasan pesantren sufistik di atas sehingga dapat menjadi "cahaya" kehidupan bagi orang lanjut usia agar tetap kembali segar, baik fisik maupun spiritual. Wallahu a'lam


 

Thobib Al-Asyhar, alumni pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak, dosen psikologi Islam pada program Kajian Timteng dan Islam, SKSG Universitas Indonesia