Daud A. Gerung
Kolomnis
Mengutip Benedict Anderson yang mengungkapkan bahwa bangsa (nation) merupakan suatu komunitas yang hanya ada dalam bayangan (imajined community). Hal itu diungkapkan demikian karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak mungkin tahu dan tak akan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Kenyataan besar sebuah bangsa merupakan suatu entitas budaya atau antropoligical in nature. Entitas budaya alamiah ini baru akan menjadi “komunitas politik” atau bangsa ketika ditiupkan “ruh” berupa bayangan tentang kebersamaan, solidaritas dan kesetiakawanan.
Dengan demikian, sebuah bangsa digerakkan oleh imajinasi, cita-cita dan bayang-bayang akan persamaan identitas. Dalam gerak bayang-bayang imajinatif itu, segala unsur kebudayaan yang masuk dalam kategorisasi persamaan, masuk dalam kualifikasi dan batas-batas kesamaan, selalu berusaha untuk disatukan. Dalam konteks Indonesia, kategorisasi atau batas-batas kesamaan ini awalnya dibangun berdasarkan kesamaan nasib dan sejarah, yaitu kolonialisme. Ketika imprealisme mulai menjajah di seluruh Nusantara, maka saat itulah para anak-anak bangsa merasa berada dalam satu sejarah dan satu nasib yang sama yakni nasib sebagai pihak yang terjajah. Kesamaan sejarah ini akhirnya menjadi unsur bangunan bayang-bayang citra sebagai komunitas politik Indonesia. Maka, seluruh daerah Indonesia yang masuk dalam daftar persamaan sejarah penjajahan ini dibayangkan sebagai bangsa Indonesia.
Belakangan ini, Indonesia tengah mengalami masalah kebangsaan yang serius. Komunitas politik yang awalnya sudah berhasil dibayangkan sebagai semangat kebangsaan Indonesia kini mulai pudar. Dalam kondisi yang demikian, Indonesia makin dihantam oleh kekuatan dari luar berupa globalisasi yang begitu dahsyat. Hal ini menjadikan rakyat Indonesia semakin tidak memiliki rumah kebangsaan sebagai tempat berteduh dan memilih komunitas-komunitas kecil berupa partai politik, organisasi massa ataupun bentuk-bentuk kolektivitas lainnya. Hal tersebut menujukkan bahwa Indonesia tengah mengalami fragmentarisme ke dalam bentuk-bentuk primordialisme dan komunalisme. Bentuk-bentuk komunalisme ini ada yang berlatar belakang suku, agama maupun budaya.
Dalam kondisi demikian, imajinasi kebangsaan Indonesia yang pernah menjadi rumah bersama, saat ini tengah runtuh. Dalam hal ini, mayoritas orang Indonesia lebih fanatik menjadi anggota komunitas, lebih bangga menjadi anggota suku dan lebih percaya diri menjadi anggota kelompok dari pada menjadi rakyat Indonesia. Akibatnya, Indonesia sekarang dilanda krisis toleransi, tenggang rasa yang lemah dan kekerasan antar-kelompok. Memang, sebagai bentuk kolektivitas politik yang terbayangkan (imagined political community), nama bangsa Indonesia bukanlah bentuk final yang sudah terpatok batas-batas kepastian. Indonesia sebagai kenyataan besar sebuah negara, yang batas wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, memang sudah menjadi dalam realitas, tetapi sebagai semangat, sebagai konsep, sebagai bangsa Indonesia, tampak terus berada dalam proses, masih berada dalam pergulatan yang terus-menerus dan idealisasi untuk mencapai target tertentu. Ia merupakan suatu proyeksi, baik dalam dimensi ruang dan waktu. Merujuk Martin Heidegger bahwa bangsa adalah proyek untuk dikerjakan, diolah, sehingga bangsa menjadi suatu mode of existence.
Goenawan Muhammad mengungkapkan bahwa sebuah bangsa pada akhirnya memang sebuah upaya. Bangsa Indonesia adalah sebuah ikhtiar dari jutaan orang yang berbeda-beda yang mencoba hidup bersama dalam satu komunitas. Dalam proses perjalanannya menempuh cita-cita yang diikhtiarkan, dalam proses aktivitas pengolahan proyek menjadi mode of existence itu, seringkali Indonesia tersandung batu karang sehingga membuatnya jatuh bangun dan menyebabkan dirinya retak. Retaknya bangunan bangsa itu ditandai lunturnya semangat nasionalisme masing-masing penghuninya. Saatnya dibangun kembali! Karena itu, saatnya sekarang kita membangun kembali imajinasi kebangsaan Indonesia. Imajinasi kebangsaan kita yang saat ini terperangkap dalam kelompok-kelompok kecil, saatnya kita sambungkan dengan kelompok-kelompok lain menuju kesatuan yang holistik.
Kita harus sadar bahwa saatnya kita keluar dari komunitas-komunitas kecil yang sekarang kita anggap sebagai bangsa itu dan kemudian kita upayakan untuk menyatukan komunitas-komunitas itu kembali dengan ikatan nasionalisme. Nasionalisme yang sekarang mulai luntur harus kita kencangkan kembali untuk mengikat dan membangun semangat kebangsaan Indonesia. Untuk menghidupkan semangat nasionalisme ini, maka kita perlu merevitalisasi budaya multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam semangat ini, maka setiap unsur kebangsaan: suku, ras, agama, kelompok, partai politik dan sejenisnya, harus menekan emosi chauvinismenya atau semangat primordialismenya, dan rela “mewakafkan” semangat itu untuk membangun rumah kebangsaan Indonesia. Hal inilah yang dicontohkan para pendiri bangsa kita ketika pertama kali membangun rumah kebangsaan Indonesia melalui upacara Sumpah Pemuda 1928. Saat itu, masing-masing pihak saling berjabat tangan meminimalisasi semangat kedaerahannya demi terwujudnya cita-cita “imagined political community” yang kuat. Setiap subjek yang terlibat dalam pengerjaan proyek itu saling membuka diri dan menerima terhadap yang lain.
PMII sebagai Pilar Kebangsaan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi mahasiswa sebagai kepanjangan tangan dari ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Oleh sebab itu, baik NU maupun PMII memperjuangkan ideologi yang sama. PMII harus mampu mengimplementasikan ideologi Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) dalam rangka merawat NKRI serta menjawab tantangan kehidupan bernegara dan beragama yang begitu kompleks. Setidaknya, terdapat 4 tantangan utama: kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, gerakan radikalisme ataupun ekstrimisme, dan kesenjangan pemanfaatan dalil naqli maupun dalil `aqli.
Dalam menyikapi kemiskinan, PMII harus turut berperan aktif agar rakyat berdaya secara ekonomi dan belajar agar bisa hidup mandiri. Sebagai organisasi yang membawa misi Aswaja, PMII harus tetap mengawal peradaban bernegara dan beragama Islam di Indonesia. Upaya untuk menyejahterakan perekonomian masyarakat adalah bentuk lain dari keadilan yang patut dijunjung tinggi. Mengutip “Piagam Nahdlatut Tujjar” bahwa betapa kemiskinan di negeri ini harus dihadapi secara bersama-sama dan komitmen yang tinggi. Dan orang yang miskin terlebih dahulu harus diubah paradigmanya agar tidak selalu hendak menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Berikut petikan kalimat dalam “Piagam Nahdlatut Tujjar” yang menunjukkan hal itu: “Mereka melakukan sikap tajarrud (sikap mengisolir dan membebaskan diri dari mencari nafkah), sedangkan mereka belum mampu. Akibatnya sebagian besar mereka harus merendah-rendahkan diri minta bantuan orang kaya yang bodoh atau penguasa yang durhaka.”
Dari redaksi bahasa yang digunakan, tampaknya bangsa ini pernah hidup dalam kondisi perekonomian yang cukup mengenaskan. Tentu saat ini tidak separah seperti itu. Hanya saja, di beberapa tempat di perkotaan, tak jarang kita masih mendapati para pengemis yang tentu menyentuh sanubari. Ada yang tua sembari menggendong anaknya, dan tak sedikit yang masih anak-anak di bawah umur. Mereka menjalani kehidupan keras di kota berbalutkan kondisi perekonomian yang sangat lemah. Lantas, siapa yang patut disalahkan? Menilik persoalan tersebut, tak sepantasnya kita perpikir hitam putih, tidak mudah memberikan klaim kesalahan. Satu hal yang penting ialah mencarikan solusi alternatif guna memecahkan persoalan tersebut. Salah satunya ialah dengan melabuhkan nilai Aswaja An-Nahdliyah berupa keadilan (i`tidal). Konkretnya, pemerataan kesejahteraan di negeri ini mesti digalakkan. Sebab, dengan begitu, kemiskinan dapat diminimalisir sedemikian rupa. Dan ini tidak bakal berlangsung maksimal tanpa adanya komitmen tinggi dari pemerintah, pengusaha, warga Nahdliyin, dan masyarakat secara umum. Penyediaan lapangan kerja, misalnya. Ini masuk kategori i`tidal kalau merata dan tidak hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Adapun penegakan hukum yang lemah, ini tetap berkaitan dengan nilai i'tidal.
Di NKRI ini, penegakan hukum acapkali diidentikkan dengan pisau; posisi atas tumpul, sedangkan posisi pisau bawah tajam. Kalau analogi tersebut ditarik pada ranah hukum, dijumpai betapa mereka yang bermodal dan atau memegang kekuasaan sering “selamat” atau setidaknya mendapat sanksi ringan dibanding masyarakat kelas bawah, misalnya: pencuri ayam. Tanpa bermaksud membenarkan tindakan tersebut, tak jarang penegak hukum di negeri ini melakukan intimidasi dengan pemberian sanksi berat kepadanya. Berbeda dengan para koruptor yang sering berbelit dan bahkan “selamat” dari jeratan hukum atau mendapatkan keringanan.
Pada wilayah itu, di NKRI, pernah mencuat wacana hukuman mati bagi koruptor. Hukuman tersebut dinilai pantas mengingat koruptor adalah musuh terbesar bangsa ini. Mereka telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai agama dan warisan luhur para pendiri bangsa. Sehingga berakibat pada rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan dan pada akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa ini. Sungguh tindakan korupsi merupakan perbuatan keji dan berbahaya. Karena itulah, mereka sangat pantas dienyahkan dari kehidupan ini.
Menurut ajaran Islam, korupsi dapat dikategorikan dalam tindakan ghulul/penggelapan (QS Ali-Imran/3: 161), mengambil harta dengan cara yang batil (QS al-Baqarah/2: 188), seperti, suap (risywah), aklu alsuht atau mengambil harta orang lain dengan cara yang diharamkan (QS al-Maidah/5: 62). Landasan ini cukup kuat untuk menegaskan bahwa tindakan korupsi yang hingga kini mewabah di NKRI merupakan tindakan bejat dan harus disikapi secara tegas oleh para penegak hukum di negeri ini. PMII tentu akan terus angkat bicara dan memperjuangkan agar keadilan bagi pelanggar hukum diadili dan dihukum sesuai dengan undang-undang, tidak ada tebang pilih.
Sedangkan, tindakan radikalisme atau ekstrimisme tentu tak bisa ditoleransi. Mencegah kemungkaran dengan jalan mungkar adalah kesalahan tak termaafkan. Sebab, Rasulullah dan para sahabatnya telah memberikan gambaran jelas tentang hal itu. Berkenaan dengan ini, menarik disimak sebuah kisah di bawah ini:
“Saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Akhirnya beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengakui memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang dalam Al-Qu’an (QS. 49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Al-Qu’an (QS. 2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (QS. 24: 27). Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat.”
Sayyidina Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah kemungkaran yang dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun, berhubung cara nahi munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Dari sini terdapat sejarah bernafaskan nilai tawassuth, tidak ekstrem dalam bertindak. Mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak mungkar. Berkenaan dengan itu, NKRI merupakan negara sah yang dilengkapi dengan seperangkat kekuasaan guna mencegah kemungkaran. Dalam hal ini, seperti ditegaskan ulama Indonesia KH. Ali Mustafa Yaqub yang mengutip pernyataan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, dalam urusan mencegah kemungkaran, rakyat hanya boleh melakukan 2 hal saja: memberitahukan tentang kemungkaran itu dan memberikan nasihat. Atas dasar itu, tindakan radikalisme atau ekstrimisme tidak dapat dibernarkan ketika berbuat kekerasan atas nama memberantas kemungkaran. Itu wewenang pemerintah NKRI.
Selanjutnya, lahirnya komunitas yang cenderung liberal melahirkan kesenjangan dalam penyeimbangan terhadap penggunaan dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits). Pengagungan rasio daripada Al-Qur’an dan Hadits tentu mengarah pada kelalaian diri dalam menjaga nilai tasamuh. Terlepas dari kelebihannya, kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL) tampaknya kurang begitu mencerahkan terhadap ketenangan hidup bernegara dan beragama Islam di bumi pertiwi ini. Sungguhpun demikian, JIL masih mendingan dibanding gerakan Wahabi yang bercirkan sikap eksklusif dan hobi membenarkan diri serta mengabaikan paham keberagamaan lainnya. Dikatakan mendingan, dalam batas tertentu, karena gerakan JIL lebih menitiktekankan pada pemikiran bebas tanpa terhanyut pada tindak kekerasan dengan memaksa orang lain mengikuti pemikirannya.
Para aras itu, gerakan Wahabi sangat berbahaya. Hemat saya, sekte inilah yang menjadi cikal bakal dan penyebab utama mencuatnya sikap keberagamaan yang keras di dunia maupun di NKRI ini. Ia mengabaikan dan bahkan antipati terhadap paham Aswaja An-Nahdliyah. Dengan manajemen organisasi yang luar biasa, kaum Wahabi tersebut mampu bergerak dan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh NKRI. Mereka nyaris selalu leluasa menyusup ke berbagai organisasi keagamaan dan kemahasiswaan di NKRI. Bahkan, dalam pemerintahan NKRI pun, mereka juga masuk tanpa ada rintangan kuat yang menghalanginya. Parahnya, organisasi terbesar di Indonesia semacam NU juga mereka susupi. Ditengarai bahwa kaum Wahabi yang berpaham garis keras telah menyusup ke dalam NU melalui masjid-masjid, majelis-majelis taklim, dan pondok-pondok pesantren yang menjadi basis warga NU. Untuk hal itu, NU kini bergerak mendirikan Pimpinan Anak Ranting Nahdlatul Ulama (PARNU) yang bertugas merawat masjid, menjadikan masjid sebagai kegiatan sentral dalam pemberdayaan warga NU.
Penguatan manajemen organisasi yang baik dalam tubuh NU menjadi kunci utama sehingga NU tetap mampu membumikan nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah. Merawat NKRI melalu nilai-nilai Aswaja tidak cukup sampai di situ. Pemanfaatan media informasi penting pula diperhatikan. Dalam batas tertentu, NU telah menyadari hal itu. Selain menerbitkan media cetak seperti Ar-Risalah, Aula, dan semacamnya, NU juga memanfaatkan internet dengan menghadirkan NU Online sejak 2003 lalu. Darinya kemudian lahir slogan “Teknologi sebagai Tradisi”. PMII juga harus memperkuat manajemen organisasi kemahasiswaan di kampus-kampus dan mengembangkan tradisi menulis agar di media cetak maupun media online, sebagai contoh di media sosial.
Daud A. Gerung, aktivis PMII; alumnus Pesantren Ciganjur, Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua