Oleh Ahmad Syifa
Saat ini seluruh dunia sibuk dengan usaha untuk menangani penyebaran Corona Virus Disease-19 atau lebih dikenal dengan nama Covid-19. Beberapa negara melakukan kebijakan lockdown seperti yang terjadi di Tiongkok, Italia, Malaysia, Argentina, Lebanon, dan lainnya. Ada juga yang mengampanyekan social distancing seperti yang dilakukan oleh negara kita.
Memang semua usaha itu harus dilakukan, karena tingkat penyebaran Covid-19 ini tergolong sangat cepat karena virus ini sudah menyebar ke tidak kurang dari 193 negara (jumlah yang sama dengan semua negara anggota PBB). Pada 24 Maret 2020, menurut worldometers.info, jumlah orang yang terjangkiti telah mencapai 381.443 orang dan 16.550 orang di antaranya meninggal hanya dalam waktu empat bulan. Jumlah tersebut kemungkinan masih akan terus bertambah.
Di Indonesia, dalam waktu tiga minggu sejak kasus pertama diumumkan yaitu tanggal 2 Maret 2019, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 579 orang, 49 orang di antaranya meninggal atau setara dengan 8,5 persen dari kasus yang positif terinfeksi virus ini. Rasio jumlah orang yang meninggal dan jumlah yang terinfeksi ini jauh di atas rasio rata-rata dunia yang hanya 4,3 persen dan menjadi yang tertinggi di dunia. Rasio ini bisa bermakna dua. Data ini menunjukkan tingkat risiko dari Covid-19 tergolong paling tinggi di Indonesia atau bisa bermakna pemerintah belum berhasil mengungkap seluruh orang yang terinfeksi virus ini.
Di Tiongkok, jumlah orang yang terinfeksi virus ini sudah mulai berkurang secara signifikan. Bahkan tingkat penambahan pasien baru selama hampir satu minggu terakhir ini dari penduduk lokal Tiongkok sudah mendekati nol. Artinya, sudah tidak ada penambahan pasien baru yang terinfeksi virus ini dari orang lokal Tiongkok. Penambahan hanya terjadi dari imported case, yaitu dari pelancong luar negeri yang masuk ke Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok sudah 'menang' melawan virus ini.
Kemenangan ini menurut penulis disebabkan oleh patuhnya warga Tiongkok atas imbauan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Tiongkok untuk berdiam diri di rumah selama masa lockdown diberlakukan. Hal ini terbukti dari penurunan pasien yang terjangkit Covid-19 ini dua minggu setelah lockdown diberlakukan. Meskipun Wali Kota Wuhan (kota asal virus ini muncul untuk pertama kali, dan tempat penulis menimba ilmu saat ini) sendiri mengatakan bahwa kebijakan lockdown seharusnya dilakukan lebih awal dari tanggal 23 Januari untuk mencegah penyebaran virus ini secara masif.
Di Tiongkok, sebagian besar kampus mewajibkan mahasiswanya untuk tinggal di asrama yang terdapat dalam kampus. Hal ini persis seperti konsep pesantren yang ada di Indonesia. Mahasiswa internasional menempati asrama yang dimiliki oleh kampus yang terdapat di dalam lingkungan universitas. Ketika wabah Covid-19 ini melanda semua asrama mengeluarkan aturan (protokol Kesehatan) yang sangat ketat kepada penghuni dan lebih-lebih kepada pendatang. Aturan ini ditujukan untuk memproteksi penghuni asrama agar tidak terjangkit virus Corona.
Hasilnya sampai hari ini di beberapa asrama kampus (terutama asrama international) di Wuhan belum ada laporan mahasiswa atau staf universitas yang terjangkit virus Corona. Ini menunjukkan bahwa aturan yang diberlakukan pihak asrama yang meminta penghuni asrama untuk berdiam di kamar masing-masing dan mencegah orang luar untuk masuk ke asrama telah berhasil memproteksi penghuni asrama dari penyebaran Covid-19 ini.
Beberapa aturan yang diberlakukan adalah, Pertama, mengontrol lalu lintas keluar masuk kampus baik itu orang ataupun barang. Hanya satu pintu yang dibuka untuk keluar masuk kampus dan dijaga ketat. Penerapannya adalah: Orang luar dilarang keras masuk ke dalam lingkungan kampus dengan alasan apa pun, kecuali petugas kesahatan dan kurir yang membawa bahan makanan pokok; Mahasiswa, dosen, pegawai, staf universitas yang akan masuk ke kampus (setelah liburan) harus di karantina selama 14 hari dulu sebelum masuk lingkungan kampus; Barang-barang yang akan masuk lingkungan kampus juga diseleksi secara ketat.
Kedua, menginformasikan kepada seluruh penghuni asrama tempat pembelian barang-barang konsumsi dan melarang keras membeli barang dari selain tempat yang direkomendasikan.
Ketiga, memerintahkan kepada setiap penghuni asrama untuk melaporkan kondisi kesehatan terutama suhu badan setiap hari kepada staf asrama, dan merelokasi penghuni asrama yang memiliki suhu badan di atas 37,3 derajat.
Keempat, menutup seluruh tempat-tempat umum dan melarang seluruh kegiatan yang bersifat membuat kumpulan massa lebih dari tiga orang. Kelima, Menyemprotkan disinfektan di area publik dan seluruh asrama.
Keenam, mengimbau secara gradual kepada mahasiswa untuk selalu hidup sehat dengan mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan dan minuman, memakai masker secara benar, menjaga ventilasi kamar secara baik, makan, minum, istirahat dan olah raga yang cukup.
Untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona, kebijakan lockdown merupakan kebijakan terbaik yang bisa dilakukan sebagaimana terbukti di Wuhan. Kebijakan ini sangat tepat dilakukan di lingkungan pesantren karena pesantren memang memiliki ciri khas lockdown dari lingkungan luar. Artinya, jika aturan (protokol kesehatan dan bisa disesuaikan dengan lingkungan pesantren) di atas diberlakukan secara disiplin dan benar, khususnya yang menyangkut dengan lalu lintas orang yang keluar masuk pesantren, dengan membatasi (jika memungkinkan, melarang sementara) pertemuan dengan tamu dan penjengukan orang tua santri, maka lingkungan pesantren merupakan tempat yang paling aman dari penyebaran virus Corona. Namun sebaliknya, jika di pesantren masih setengah- setengah menerapkan aturannya dengan masih mengizinkan tamu dan wali santri untuk menjenguk, maka pesantren akan sama dengan tempat lain bahkan bisa lebih beresiko.
Sebentar lagi seluruh pesantren akan meliburkan para santrinya, mungkin bisa dipertimbangkan untuk menunda waktu liburan para santri sampai waktu outbreak Covid-19 ini selesai. Jikapun harus pulang maka harus dibuatkan protokol penjemputan yang bisa mengurangi kontak langsung antara lingkungan pesantren dan lingkungan luar supaya risiko dari luar pesantren tidak masuk ke lingkungan pesantren.
Selain upaya lahiriah tersebut, kita harus tetap berdoa supaya lingkungan kita bisa terhindar dari penyebaran virus ini.
Penulis adalah bendahara PCINU Tiongkok, mahasiswa PhD di Huazhong University of Science and Technology (HUST) Wuhan.